Binar menjalani hari-harinya dengan tabah di rumah sakit. Gadis itu dengan telaten mengikuti serangkaian pemeriksaan dan mengobatan yang dilakukan di rumah sakit, dari mulai kemoterapi (pengobatan dengan menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel kanker), terapi imun (pemberian obat untuk meningkatkan sistem imun tubuh dan membantu tubuh melawan sel kanker), terapi target (penggunaan obat-obatan untuk menghambat produksi protein yang digunakan sel kanker untuk berkembang), hingga radioterapi (prosedur untuk menghancurkan dan menghentikan pertumbuhan sel kanker dengan menggunakan sinar radiasi berkekuatan tinggi).
Untuk transplantasi sendiri, selagi menunggu kondisi Binar cukup baik, ia masih harus menunggu pendonor yang cocok, sebab ayah dan ibunya tidak memenuhi syarat untuk melakukan transplantasi sumsum tulang, sedangkan sang kakak yang mungkin saja memenuhi syarat untuk menjadi pendonor, telah ditolak mentah-mentah oleh Binar.
Ia dengan tegas menyatakan tidak ingin menerima pendonor dari keluarganya, entah apa pun alasannya. Mereka bahkan sempat berdebat sengit sebelum akhirnya mengalah karena kondisi Binar semakin menurun.
"Sudah siap, Nak?" tanya Artanti lirih. Keduanya kini sedang berada di ruang perawatan Binar. Sang ibu memegang sebuah alat cukur rambut, sementara Binar duduk menghadap kaca besarnya yang sengaja Endra belikan tadi pagi.
Binar dengan penuh kesadaran meminta Artanti untuk mencukur habis rambutnya agar tidak bersedih setiap kali menemukan helaian demi helaian rambut yang rontok. Lagi pula, rambutnya kini sufah setipis itu, jadi lebih baik bila sepenuhnya dihilangkan.
"Sudah Bu," jawab Binar. Dengan penuh ketabahan matanya fokus menatap pantulan cermin.
Artanti tersenyum tipis. Wanita itu berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
Helaian demi helaian rambut Binar pun jatuh ke pangkuannya. Binar mengambil helaian rambutnya tersebut dengan penuh kelapangan. Agaknya ia sudah menerima dengan ikhlas bila penampilannya saat ini tidak lagi semenarik dulu.
Terang saja, sebab tidak ada lagi mahkota indah yang menghiasi kepala Binar. Berat badan gadis itu pun semakin menurun. Wajahnya kini tak jauh berbeda dengan kapas putih, pucat dan tidak sesegar dulu.
Binar benar-benar ikhlas. Perkara sembuh atau tidak, ia sudah memasrahkan diri pada sang pencipta. Toh, Binar tidak memiliki keinginan lagi, sebab semua keinginannya telah terselesaikan.
Tidak sampai lima menit, Artanti pun selesai mencukur habis seluruh rambut Binar. Ia kemudian membantu sang putri membersihkan diri dan berganti pakaian.
"Taraaa!" pekik Artanti yang baru saja membeli wik baru dengan rambut sebahu.
Binar tertawa kecil. Itu adalah wik yang sempat ia minta pada sang ibu beberapa hari lalu.
Artanti dengan telaten memakainkan wik tersebut ke kepala sang putri tercinta. Kini tidak ada lagi perasaan mengganjal saat memakai wik, sebab rambut aslinya yang semula menjadi penghalang, sudah tidak ada lagi.
"Cantiknya anak ibu," ucap Artanti dengan mata basah. Dipeluknya tubuh sang putri dari belakang sembari sesekali mencium surai baru Binar.
Binar tersenyum sambil menggumamkan kata terima kasih berkali-kali. Ia sangat bersyukur memiliki ibu sekuat beliau yang masih mau merawatnya dengan setulus hati.
...**********...
Bisik-bisik kembali terdengar di kalangan karyawan Mada, ketika mendapati Mada sekali lagi membentak salah seorang asistennya yang salah mengatur jadwal.
Akhir-akhir ini Mada memang terlihat sangat berbeda dari biasanya. Ia yang dikenal sebagai pria pendiam yang baik hati, kini berubah menjadi sosok yang sangat tempramen.
Mada kini mudah sekali marah dalam hal apa pun. Ia bahkan pernah membuat salah seorang karyawan wanita yang sedang magang, menangis karena ulahnya hingga memutuskan untuk keluar dari sana. Tak hanya itu saja, Mada juga pernah hampir berkelahi dengan seorang calon konsumen mereka yang bersikap kurang ajar, padahal biasanya ia selalu bersabar menghadapi mereka.
Semua sikap baru Mada membuat mereka semua bingung sekaligus kesal. Entah apa yang tengah dihadapi Mada, tetapi seharusnya ia tidak membawanya ke tempat kerja.
...**********...
Mada menyandarkan punggungnya di kursi sembari memijit dahinya yang terasa pening.
"Kau seharusnya tidak bersikap demikian, Bro," ucap Pangestu, teman sekaligus partner kerja Mada. Mereka baru saja menandatangani kontrak kerjasama untuk proyek iklan yang akan dikerjakan dalam dua bulan ke depan.
Mada tidak menghiraukan perkataan Pangestu. Ia memilih memejamkan matanya seolah sedang tidur.
Pangestu mendengkus. Ia duduk di sebelah Mada dan menepuk pundaknya. "Katakan, apa yang sebenarnya kau alami, hingga para karyawanmu mengadukan berbagai macam hal padaku?"
Mendengar itu, Mada sontak membuka matanya. "Mereka mengadukan apa?" tanyanya dingin.
Pangestu tertawa sedikit keras. "Memangnya kau mau apa? Memarahi mereka? Jangan coba-coba Mada! Mereka tulus bekerja denganmu, dan setahu mereka, kau adalah bos paling baik hati yang mereka kenal."
Mada bungkam.
"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidupmu, tapi aku minta kau bisa sedikit bersikap profesional dengan tidak membawa-bawa masalah pribadi ke dalam lingkungan kerja. Ingat, kita ini atasan sekaligus penopang. Bila kita goyah maka karyawan tidak akan memercayai kita lagi. Jika kau masih terus bersikap seperti ini niscaya dalam satu bulan ke depan kau akan kehilangan seluruh karyawanmu, Mada."
Mendengar nasihat Pangestu, Mada menghela napasnya. Ia sadar sikapnya pada mereka memang sangat keterlaluan. Maklum saja, bayang-bayang soal Binar tidak pernah luput sedikit pun dari kepala Mada.
Gadis itu terus saja melekat kuat diingatannya.
Kendati demikian, Mada tidak memiliki keberanian untuk mendatangi rumah Mada. Ia takut, Binar yang akan keluar dan mengusirnya.
Mada benar-benar dilanda frustrasi. Ia ingin melupakan Binar, tetapi sulit sekali dilakukan.
"Mada!"
Lamunan pria itu sontak buyar, ketika Pangestu menepuknya keras.
"Pulang lah. Jernihkan pikiranmu selama beberapa hari ini. Jangan datang ke kantor bila kau masih bersikap demikian!" titah pria itu.
Mada mencengkeram kuat rambunya, sebelum kemudian bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan ruangan.
Sepeninggal Mada, Pangestu bangkit dari kursi dan menghampiri meja pria itu. Keningnya mengerut ketika mendapati salah satu bingkai foto berisi potret seorang gadis cantik yang tengah mengenakan gaun cantik.
Gadis itu tampak tidak menyadari bahwa Mada telah mengambil fotonya.
"Jangan-jangan gadis ini yang membuat perangai Mada berubah menjadi sosok mengerikan selama beberapa hari terakhir?"
"Ah, aku tidak peduli! Itu bukan urusanku!" ujar Pangestu seraya mengangkat kedua bahunya lalu meletakkan kembali foto tersebut di tempat semula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments