Bab 17. Perasaan Kecewa.

Artanti tidak mengerti apa yang terjadi pada sang putri bungsu. Semula ia terlihat sangat bersemangat dengan acara makan malamnya bersama Mada, tetapi kemudian gadis itu tampak tidak ingin melihat pria itu.

Apa lagi Binar terus saja menangis di sepanjang perjalanan ini. Suaranya yang tersedu-sedu membuat Artanti khawatir dan segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"Sayang, Binar! Ada apa? Apa yang telah terjadi pada kalian berdua? Apa Mada menyakitimu?" panggil Artanti seraya memegang kedua bahu putrinya.

Binar menggelengkan kepalanya. "Aku lah yang menyakitinya Bu, aku!" ungkap Binar dengan suara serak.

"Kenapa Sayang? Memangnya apa yang kamu perbuat Nak?" Artanti berusaha menenangkan Binar agar tidak menangis. Namun, hal tersebut terasa sia-sia sebab Binar terus saja menangis.

Khawatir akan berdampak dengan kesehatannya, Artanti pun memeluk tubuh Binar sampai gadis itu benar-benar tenang dan tidak lagi menangis.

Beruntung apa yang ia lakukan membuahkan hasil. Binar berhasil menghentikan tangisnya dan menenangkan diri. Melihat hal tersebut Artanti perlahan-lahan dan sangat hati-hati mengajukan pertanyaan.

"Kalau begitu, bisa kamu ceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya, Sayang?"

Binar menatap wajah sang ibu dengan raut memelas. "Cincin berlian itu, Ibu yang memberitahu Mada, kan?"

Mendengar pertanyaan yang diajukan sang putri, Artanti terkejut. Jangan-jangan hal ini ada hubungannya dengan cincin tersebut.

"Iya, Nak. Ibu pikir itu hanya sekadar perkataan basa-basi karena kebetulan kami sedang membicarakan berbagai banyak hal, jadi ibu dengan lugas menceritakan soal cincin berlian itu pada Mada."

Setelah mendapat jawaban dari ibunya, Binar kembalu menangis sesenggukkan. Wajahnya bahkan terlihat sangat pucat.

"Mada membelikannya untukku Bu, dan aku dengan tegas menolaknya!"

Mata Artanti terbelalak lebar. Wanita itu terlihat sangat syok atas apa yang baru saja didengarnya.

Sambil ikut menangis, ia segera memeluk tubuh Binar dan mengucapkan kata maaf berkali-kali. Artanti pikir pertanyaan itu bukan lah pertanyaan penting. terlebih Mada menanyakannya dengan nada biasa seolah mereka hanya berbincang-bincang ringan saja.

Artanti tidak menyangka bahwa itu akan menjadi bagian dari rencana Mada di hari terakhir kencan mereka.

"Aku bahkan sampai harus mengatakan hal menyakitkan untuk berbohong, Bu! Aku jahat, aku telah menyakiti hatinya!" Binar menangis meraung-raung di mobil.

Artanti mengeratkan pelukannya. "Sayang, maafkan Ibu, Nak, maaf!" Wanita itu turut menangis tersedu-sedu. Sedetik kemudian tangis Binar mendadak hilang, diiringi lunglainya tubuh gadis itu.

Artanti panik. Beliau berteriak memanggil nama Binar yang rupanya tidak sadarkan diri.

...**********...

Tangis Artanti terhenti ketika melihat kedua mata putri bungsunya terbuka. Wanita yang sejak tadi menyalahkan dirinya tersebut, kontan menghampiri Binar yang kini terdengar memanggil-manggil namanya.

"Binar," panggil Artanti dengan mata basah. Endra, sang suami, turut menghampiri ranjang Binar.

"Bu, maafkan aku!" Tangan Binar terulur ke depan, meminta sang ibu untuk meraihnya.

Artanti dengan cepat meraih tangan Binar dan memeluk tubuhnya seerat mungkin. "Ibu lah yang seharusnya meminta maaf, Sayang. Maafkan Ibu," ucap Artanti parau.

Binar menggelengkan kepala. Tak seharusnya ia merasa kecewa dan marah, padahal sang ibu tidak salah apa-apa.

"Terima kasih, Bu. Berjanjilah tidak akan meninggalkan aku sendirian di sini. Aku ingin terus bersama ibu dan ayah sampai waktunya tiba," ujar Binar. Gadis itu juga memeluk tubuh ayahnya.

Endra dan Artanti mengangguk. "Ayah dan ibu tidak akan ke mana-mana. Sekarang, kamu cukup fokus pada pengobatanmu saja ya, Nak," ujar Endra.

Binar menganggukkan kepala. Dalam hati ia pun meyakinkan diri untuk melupakan kejadian malam itu bersama Mada. Ia tak ingin mengingat tiap hal pahit yang terjadi agar perasaan sedih tidak bersarang di hatinya.

...**********...

"Mada, kamu sudah pulang?" Wilhelmina bergegas menghampiri putra bungsunya yang baru saja tiba di rumah. Namun, bukannya mendapati wajah berseri Mada, ia justru mendapati raut kesedihan yang tertera di sana.

"Mada, ada apa?" tanya Wilhelmina. Ia mengikuti langkah gontai Mada menuju kamar pribadinya.

Saat itu lah, mata Wilhelmina tanpa sengaja menangkap sebuah benda kecil berwarna merah yang tergenggam di tangan sang putra tunggal. Meski sekilas, Wilhelmina bisa tahu bahwa benda kecil tersebut merupakan kotak cincin.

Rupanya Mada menyiapkan cincin untuk Binar, dan mungkin saja Binar menolak pernyataan cinta Mada.

Kalau memang demikian, Wilhelmina cukup terkejut, sebab sepenglihatan dirinya, mereka berdua masih memiliki perasaan yang sama. Jadi Binar seharusnya tidak memiliki alasan untuk menolak bisa Mada.

Wilhelmina menahan pintu kamar Mada dan ikut masuk ke dalam. Dengan penuh kehati-hatian ia meminta Mada untuk menceritakan semuanya.

Wilhelmina tahu, Mada bukan anak yang pandai bercerita, terlebih ia merupakan anak laki-laki. Namun, ada kalanya Wilhelmina menginginkan keterbukaan Mada.

"Pria terkadang juga butuh tempat untuk bicara, Nak, dan Mama akan senantiasa menjadi tempat berkeluh kesahmu," ucap Wilhelmina.

Mada mengembuskan napasnya sejenak. "Aku kira Binar memiliki perasaan yang sama, Ma. Kami melewati tiga puluh hari ini dengan baik dan aku dengan percaya diri mengira perasaan Binar akan kembali bangkit, seperti yang aku rasakan."

"Binar pasti memiliki alasan Nak, dan ia pasti mengatakannya padamu. Mama tahu sekali Binar memiliki perasaan yang sama denganmu, itu semua jelas terlihat di mata Mama," ucap Wilhelmina.

"Dari mana Mama bisa seyakin itu?" tanya Mada.

"Karena kami sama-sama wanita, dan sesama wanita pasti bisa saling mengetahui."

Mada terdiam. "Binar memang mengatakan alasannya. Namun, aku rasa itu bukan alasan yang patut dipermasalahkan."

Wilhelmina tersenyum tipis. "Bagimu mungkin iya, tetapi tidak bagi wanita yang memiliki kepekaan hati lebih dari pada pria, Nak."

Mada bungkam. Ia tak tahu harus menanggapi perkataan sang ibu seperti apa lagi, yang jelas untuk saat ini kekecewaan benar-benar menggumpal dalam dadanya.

Mada tak yakin apakah bisa melupakan kejadian malam ini atau tidak?

Melihat sang putra tak lagi membuka suaranya, Wilhelmina memutuskan untuk pergi meninggalkan kamar. "Tidurlah. Jangan pikirkan apa pun dan jangan membenci Binar, Sayang. Mama yakin kalian pasti akan bertemu lagi, meski tidak sekarang."

Mada hanya menatap kepergian sang ibu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang sembari memandangi langit-langit kamar.

Di sana Mada masih bisa melihat bayangan Binar yang sangat cantik.

"Kenapa Bi? Ke mana kamu akan pergi?" gumam Mada lirih. Harus kah ia mencari tahu soal kepergian Binar melalui kedua orang tua gadis itu?

Bisa saja, tetapi sepertinya tidak untuk saat ini karena kekecewaan Mada masih terekam jelas di hatinya.

Mada mengangkat kotak cincin tersebut tinggi-tinggi dan memandanginya selama beberapa saat, sebelum kemudian menyimpannya di laci nakas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!