Bab 13. Kebaikan Keluarga Madaharsa.

Aku yang semula mengkhawatirkan reaksi Mama Wilhelmina (beliau tak ingin kalah dengan ibu yang tidak ingin dipanggil tante), kini dapat bernapas lega setelah mengenalnya lebih dalam hari ini.

Kami berdua dalam sekejap mampu mengakrabkan diri. Terlebih saat Mama Wilhelmina mengajakku untuk membuat kue bersama. Beruntung aku memiliki basic dalam dunia baking karena sering membantu ibu membuat kue. Singkat cerita, aku mampu membaur dan membawa diri pada keluarga Mada.

Satu hal yang membuatku cukup memahami sifat Mada adalah, karena pria itu benar-benar merupakan cerminan dari Mama Wilhelmina. Keebaikan dan kehangatan Mada pun menurun dari beliau.

"Bagaimana Binar?" tanya Mama Wilhelmina dengan wajah berseri-seri. Beliau tampak tidak sabar menungguku memberikan penilaian atas kue yang kami buat bersama.

Tidak! Beliau lah yang lebih banyak berkontribusi sedangkan aku hanya sedikit membantu.

"Bagaimana?" Mada yang duduk tepat di depanku turut menanyakan hal yang sama. Kendati wajahnya tidak seantusias Mama Wilhelmina, tetapi ia juga ikut menunggu.

Kue yang Mama Wilhelmina adalah cookies coklat pada umumnya. Namun, dengan sedikit sentuhan dan modifikasi pada bahan-bahannya membuat kue kering ini memiliki rasa yang sedikit berbeda.

"Enaaaak sekaliiiii!" Dua kalimat segera meluncur dari mulutku begitu kue itu berhasil tertelan sepenuhnya.

Mendengar jawabanku, Mama Wilhelmina memekik kegirangan. Beliau bilang padaku, bahwa itu adalah kali pertama ia menggunakan resep baru tersebut. Kendati sudah mencatatnya sejak lama, tetapi baru kali ini ia menggunakannya.

"Papanya Mada cukup pemilih soal kudapan, jadi Mama tidak berani membuat ini. Beruntung kamu datang, Binar ... ahh, tapi jangan menganggap dirimu sebagai kelinci percobaan ya, karena Mama tidak pernah berpikir demikian!" Mama Wilhelmina buru-buru menambahkan kalimat terakhirnya agar aku tidak salah paham.

Aku tertawa kecil. "Jadi kelinci percobaan untuk masakan Mama yang enak ini, aku tidak keberatan." Setelah berkata demikian, Mama Wilhelmina membuat jantungku nyaris copot oleh pelukan hangat beliau.

Aku benar-benar terharu dan merasa samgat dihargai.

Setelah puas menghabiskan waktu dengan Mama Wilhelmina, beliau pun memberikan kami kesempatan untuk berkencan. Alih-alih berkencan di luar, aku memutuskan untuk berkencan di taman belakang rumah Mada saja. Kebetulan ia memiliki taman yang sangat indah. Bahkan terdapat rumah pohon sewaktu Mada masih kanak-kanak, yang hingga sekarang masih terjaga dengan baik.

Mada mengajakku menaiki rumah pohon tersebut dan duduk tepat di pelatarannya yang langsung menghadap ke langit.

"Kalau saja aku tahu, kamu memiliki tempat yang bagus di sini, pasti aku akan selalu datang ke rumahmu," ucapku dengan nada jenaka.

Mada tersenyum tipis. "Kamu boleh datang kapan saja," jawabnya.

Aku mengalihkan pandangan ke langit guna menatap matahari yang mulai pergi dari peraduannya.

"Sore yang indah," celetukku ketika melihat hamparan warna jingga menghiasi langit. Mataku terkagum melihat warna tersebut, sembari mengucap syukur pada sang maha kuasa karena aku masih diberi kesempatan untuk melihatnya.

"Kamu sedang apa?" Pertanyaan Mada sontak membuat lamunanku buyar.

Aku terkesiap. "Ah, tidak! Aku hanya sedang berdoa agar hari esok bisa kulalui dengan baik seperti hari-hari biasanya," jawabku asal.

Mada mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sepertinya hari yang kamu lewati cukup baik," ujarnya.

"Maksudmu?" tanyaku yang tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Mada.

"Ya, aku bisa melihat dengan jelas, kamu hidup dengan penuh kebahagiaan."

Mendengar itu, aku bungkam seketika. Wajahku yang semula terlihat santai kini sedikit gugup. Namun, sebisa mungkin aku tidak memperlihatkannya pada Mada.

"Dari mana kamu bisa menilainya?" tanyaku penasaran.

Mada yang semula duduk di sebelahku menghadap hamparan langit, kini beralih sepenuhnya pada diriku. "Dari wajahmu yang diliputi keceriaan. Sejak pertama kali kita bertemu, aku tahu kamu sangat bahagia. Aku lega melihat hal itu sebenarnya, sebab itu bisa mengurangi perasaan bersalahku di masa lalu."

Mendengar pengakuan Mada membuat dadaku mulai berdenyut nyeri. Andai saja ia tahu apa yang telah kulalui selama tahun-tahun kebelakang ini, Mada pasti akan menarik kembali semua perkataannya. Namun, aku memilih tetap tersenyum dan tidak memperlihatkan raut mencurigakan.

"Tentu saja aku bahagia. Meski awalnya sulit tapi aku bisa melewatinya dengan baik."Sebaris senyum tulus terlepas dari bibirku.

Mada menggenggam tanganku dan meletakkannya di pangkuan. "Aku harap, apa yang kita lalui saat ini bisa mengobati semua luka masa lalu, Bi," ucap Mada.

Aku terdiam lalu mengangguk pelan. Walau tidak menyetujui perkataannya, tapi aku berusaha untuk tidak membantah. Entah apa alasannya, aku hanya tidak menyukai perkataan itu.

...**********...

Aku tiba di rumah pukul delapan malam karena Mama Wilhelmina mengajakku untuk makan malam bersama terlebih dahulu di sana. Saat itu lah aku berkenalan dengan ayah Mada, Jimmy. Jika dilihat dari luar, Om Jimmy seperti memiliki pribadi yang dingin dan kurang bersahabat. Namun, setelah melewati beberapa saat berbincang dengan beliau, aku dapat melihat kehangatan yang terpancar dari tiap gerak-gerik dan tutut katanya.

"Dor!" Teriakan seseorang bersamaan dengan sentuhan tangannya di bahu sontak membuatku terperanjat kaget. Aku nyaris saja terjungkal ke belakang, sebelum akhirnya tangan seseorang dengan cepat menahan tubuhku.

"Kak Genta!" jeritku kegirangan setelah mendapati sesosok pria yang kini sedang aku rindukan, muncul tiba-tiba. Ia adalah Genta, kakak satu-satunya, sekaligus anak pertama keluarga ini.

"Kau benar-benar mengagetkanku, Kak!" pekik aku seraya memeluk erat tubuh besar milik Kak Genta.

"Aku juga merindukanmu," ucap Genta santai.

"Cih!" Aku lantas memukul punggung kakakku hingga membuat ia menjerit kesakitan.

Mendengar itu aku kembali memukulnya karena tahu jeritan itu hanya lah pura-pura belaka.

Setelah puas meluapkan kerinduan kami masing-masing, aku pun mengajak Kak Genta masuk ke dalam kamar untuk berbincang. Sepertinya ia juga tahu soal kencan tiga puluh hari yang aku lakukan, sebab kini ia sibuk menggodaku.

"Jadi, bagaimana acara kencannya?" tanya Kak Genta dengan mimik wajah penuh rasa ingin tahu.

"Rahasia!" jawabku singkat.

"Aih, pelit sekali! Aku, kan, ingin tahu ceritanya. Apa lagi kudengar, pria itu adalah mantan pacarmu semasa SMA."

Aku memajukan bibir beberapa milimeter. "Tidak bagaimana-bagaimana, kok!" jawabku.

"Tidak ada perkembangan sama sekali, seperti tiba-tiba kencan dengan batas waktu inj berubah menjadi kencan sesungguhnya?" Kak Genta kembali mengajukan pertanyaan yang kini malah membuat hatiku bersedih.

"Kakak tahu, aku tidak mungkin bisa seperti itu," ujarku lirih.

Melihat reaksiku, Kak Genta sontak merangkul. "Jangan bersedih, wajahmu sama sekali tidak cocok berdampingan dengan air mata!"

"Kakak yang membuatku begini, tahu!" seruku dengan suara bergetar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!