Bab 11. Perpustakaan.

Tak ada yang lebih menyenangkan bagiku saat ini, selain bisa bersama dengan pria yang telah lama memenuhi ruang hatiku selama belasan tahun ini.

Semua cerita tentangnya —termasuk tentang kami berdua—, ku ukir manis di satu sudut bagian tersendiri dalam hatiku.

Madaharsa. Namanya masih sering ku sebut dalam tiap untaian do'a-ku. Kehadirannya bahkan masih mampu membuat debaran-debaran menyenangkan di jantungku. Gemuruh itu masih ada, kendati perpisahan akhirnya menjadi jalan terakhir yang sempat aku sesali. Namun, kini justru aku merasa sangat bersyukur.

Ya, aku bersyukur akan perpisahan dua belas tahun yang lalu ... dan akan ku pastikan perpisahan tiga puluh hari ini akan berakhir dengan sama baiknya nanti.

Kami benar-benar menyelami tiap-tiap memori indah di tempat ini. Dari mulai makan siang di halam sekolah, mengunjungi lapangan basket indoor, lalu masuk ke dalam kelas kami dulu.

Aku masih mengingat jelas di mana tempat duduk milikku, begitu pula Mada. Kami masing-masing menghampiri tempat tersebut dan duduk di sana.

Mejaku dan Meja Mada hanya terpisah satu meja saja, yaitu meja Arunika. Namun, terkadang Mada suka berpindah-pindah tempat. Satu hari dia bisa pindah ke belakangku dan besok dia bisa pindah duduk tepat di depanku.

"Mada, kamu masih ingat kejadian lucu waktu duduk di belakangku?" Aku mulai membuka suara.

Mada tampak menggali ingatannya sejenak, sebelum kemudian tertawa kecil. "Astaga, hal memalukan itu masih kamu ingat?" katanya.

Aku ikut tertawa sambil mengangguk. Bagaimana aku bisa lupa kejadian itu. Sebab, kejadian itu lah satu-satunya hal yang mampu melunturkan sisi keren seorang Mada.

Jadi, waktu itu aku tidak sengaja berbuat gaduh dengan menjatuhkan seluruh isi tempat pensil pada jam pelajaran Pak Ando, guru killer kami. Merasa terganggu dengan kegaduhanku, beliau tanpa tedeng aling-aling melempar penghapus papan tulis ke arahku.

Beruntung bagiku, disaat yang tepat kepalaku tertunduk karena hendak memuunguti barang-barang tercecer di lantai. Namun, tidak dengan Mada. Dia yang sedang fokus menulis mau tidak mau menjadi sasaran penghapus papan tulis tersebut.

Suara gelak tawa menggelegar memenuhi kelas begitu melihat wajah Mada penuh dengan kapur putih. Maklum saja, sekolah kami dulu masih memakai papan kapur, belum se-modern sekarang.

Mengingat hal tersebut, aku pun tergelak kembali sembari sesekali meminta maaf. Sementara Mada hanya bisa pasrah dan malah ikut tertawa. Disaat yang bersamaan dia mengeluarkan kameranya dan ...

"Hei, aku sedang tertawa, Mada! Pasti mulutku lebar sekali!" seruku sembari bangkit dari kursi untuk menghampiri Mada.

Aku lihat Mada mengangkat bahunya seolah sedang mengejek, lalu kembali membidikku dan mengambil beberapa gambar lagi yang tentu saja dengan pose tidak karuan.

Aku kembali mengajukan protes dan meminta dia menghapusnya, tetapi Mada menolak.

"Ih, aku pasti jelek sekali, Mada!" Aku mengeluarkan jurus rengekan ala seorang gadis manja nan menggelikan. Aku tidak peduli Mada akan menganggap diriku apa, yang penting foto itu bisa terhapus.

Akan tetapi, bukannya menghapus dia malah menarikku keluar dari kelas. "Aku akan menebusnya!"

"Menebus apa?" tanyaku kebingungan.

Mada tidak menjawab. Kami hanya terus berjalan dan menaiki tangga menuju rooftop sekolah.

Semasa sekolah dulu, rooftop adalah tempat yang paling jarang aku kunjungi karena terlalu jauh dari kelas. Lagi pula kebanyakan yang bertandang ke sana adalah murid pria, termasuk Mada dan Kevin.

"Mau apa kita ke sini?" Sesampainya di atas, aku kembali mengajukan pertanyaan.

"Lihatlah view-nya! Aku ingin mengambil fotomu di sini."

Spontan aku mengikuti arah pandang Mada. Sedetik kemudian mataku termanjakan dengan pemandangan indah dari kota ini. Meski hari sedang cerah, tetapi tetap saja tak mampu mengalahkan keindahan pemandangan ini.

Sudah bisa ditebak, kan, dalam sekejap kekesalan yang tadi meluap dalam diriku ini hilang seketika. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menuruti perkataan Mada yang tengah mengaturku sedemikian rupa.

Hasilnya sungguh memuaskan. Mada benar-benar seorang fotografer profesional.

"Kalau begitu kamu bisa hapus fotoku yang tadi," ucapku kemudian.

Mada menggeleng. "Aku tidak ingin menyimpan foto-fotomu yang bagus saja. Nanti akan aku cetak semua bersama dengan foto di studio waktu itu," katanya.

Aku memdengkus kesal dan hanya bisa pasrah. Ku harap, dia tidak akan sudi menunjukkan aibku itu ke mana-mana.

"Hari sudah sore ... kita pulang?" tanya Mada.

"Ayo!" jawabku seraya melangkah duluan menuju pintu rooftop. Namun, Mada dengan sigap menggenggam tanganku erat.

Entah disadari atau tidak, Mada mengajakku jalan melewati ruang demi ruang kelas dengan sangat lambat. Sesekali dia bahkan mengajakku berhenti untuk menunjukkan apa saja yang dilihatnya.

Aku tentu saja menikmati betul perlakuan Mada. Dia seolah-olah tahu bahwa aku masih ingin bersamanya lebih lama lagi.

...**********...

"Kalian sudah selesai menjelajahi tempat ini?" Pak Samsul, security sekaligus kenalan ayah, datang menghampiri kami yang baru saja keluar dari gedung sekolah.

"Sudah, Pak! Ternyata bangunan sekolah ini sama sekali tidak berubah ya? Yang berubah hanya kursi-kursi dan meja saja." Aku lah yang lebih dulu membuka suara.

"Benar! Namun, rencananya kami akan membangun perpustakaan modern tepat di sebelah ruang komputer. Kalian nanti bisa datang lagi kemari," ujar Pak Samsul memberitahu.

"Pantas saja tempat itu diberi pembatas. Kami kebetulan sempat melewatinya," sahutku.

"Memangnya kapan perpustakaan modern itu selesai dibangun, Pak?" Kali ini Mada yang mengajukan pertanyaan.

"Mungkin sekitar empat atau lima bulan lagi."

Mendengar jawaban beliau, aku mendadak bungkam. Empat atau lima bulan adalah waktu yang sangat lama. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada diriku esok hari. Sementara itu, ku lihat Mada tampak baik-baik saja. Dia malah dengan santai mengajakku untuk kembali ke sini.

"Boleh saja. Pasti menyenangkan memiliki perpustakaan yang bisa saja menarik banyak perhatian warga."

Kami pun berbincang sejenak selama lebih dari lima menit, sebelum akhirnya berpamitan kepada Pak Samsul untuk pulang.

Aku memutuskan menunggu Mada di depan gerbang sekolah, sementara Mada mengambil sepeda motornya sambil membawa keranjang piknikku agar langsung diletakkan di motor.

Aku kembali tertawa kecil saat melihat motor matic jadul milik Mada muncul dan berhenti di hadapanku. Tak lupa Mada juga menyerahkan helm bogo lucu untuk aku pakai.

"Tidak berat, kan?" tanya Mada yang sedang menahan tawanya karena helm yang aku pakai sedikit kebesaran.

"Tidak, kok!" sahut aku tanpa memedulikan ejekan Mada. Aku lebih memilih fokus memeluk tubuh Mada dari belakang.

Wangi parfum Mada yang hingga kini masih kuingat, segera menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku. Wangi yang benar-benar membuatku merasa nyaman dan aman.

"Pelan-pelan saja ya? aku ingin menikmati tiap jengkal jalan yang kita lalui," bisikku pada Mada.

Mada menganggukkan kepala lalu mulai menjalankan motor matic-nya tersebut.

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

aaaaaaa sebentar lg pasti mewek gk karuan Aqu nih....
aishhhh Kenangan Terindah....🥰👍

2023-06-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!