Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi acara reuni kami masih berlangsung dengan penuh keramaian dan kebahagiaan. Tawa dan canda riang terdengar di sepanjang acara ini.
Aku fokus memandang ke depan panggung guna menyaksikan teman-temanku berdansa di sana. Mereka terlihat asik menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik dengan semangat.
Sementara aku memilih tetap duduk di kursi dan menunggu. Berkali-kali mereka memang mengajakku untuk ikut bergabung bersama. Namun, aku menolaknya dengan lembut.
"Aku tidak bisa berdansa. Bersenang-senang lah, aku akan menunggu di sini." Hanya itu sepenggal kalimat yang aku ucapkan pada mereka sebagai jawaban. Beruntung, teman-temanku mengerti dan tidak memaksa.
Mataku kemudian mengamati sekeliling aula ini. Dari sekian banyak siswa dan siswi angkatanku yang ada, sembilan puluh persennya menyempatkan waktu untuk datang. Tentu saja, sebab ini merupakan acara yang kami tunggu-tunggu setelah dua belaa tahun berlalu sejak kelulusan kami dulu.
Aku kembali menyeruput segelas limun, sembari sesekali tertawa melihat kekonyolan Edi, teman sekelasku yang baru sepuluh menit datang dan langsung bergabung di pesta. Tampaknya dia baru saja pulang dari dinas jika dilihat dari seragam loreng yang dikenakannya. Edi, sang siswa yang terbilang nakal dan gemar membolos sekolah, kini menjelma menjadi pria gagah dan bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Seujujurnya aku iri melihat kesuksesan teman-teman seangkatanku. Beberapa orang yang bahkan sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya, kini turut menempuh kesuksesan dalam karir mau pun keluar. Sementara aku ... terpaksa harus berdiam diri bersama kedua orang tuaku di rumah. Meski terkadang membuatku sedikit bersedih tetapi itu lah satu-satunya pilihan yang aku punya.
"Kamu tidak ikut bergabung?"
Aku yang tengah sibuk memikirkan berbagai macam hal, tiba-tiba dikejutkan dengan sosok Mada yang ikut duduk di kursi sebelahku. Pria itu rupanya tidak ikut berdansa bersama di depan dan lebih memilih mengobrol dengan teman-teman lainnya.
"Kamu sendiri tidak ikut berdansa?" tanyaku dengan nada biasa. Aku berusaha agar tidak terlihat gugup di hadapannya.
"Aku tidak pandai berdansa dan tidak ingin berdansa. Kamu?" tanyanya kemudian sembari menatap mataku penuh keakraban. Kendati tatapannya tak lagi sama seperti saat kita masih memiliki hubungan manis, tetapi tetap saja kelembutan itu masih ada di sana.
"Aku juga." Jawabku singkat diiringi tawa kecil.
Kami berdua terdiam setelahnya. Mada tampak sedang memikirkan sesuatu, sedangkan aku sibuk mengontrol degup jantungku.
Siapa sangka rasa itu masih tetap bersemayam dalam jiwaku, padahal kami sudah lama tidak bertemu. Berada di dekat Mada benar-benar mengulik kembali segala kenangan yang pernah tercipta.
Aku ingin menanyakan semuanya, minimal tentang ingatan akan kebersamaan kami dulu. Namun, aku cukup tahu diri untuk tidak berlaku layaknya seorang gadis kurang ajar yang masih mengharapkan cinta dari sang mantan pacar.
Mada memang pria pertama dan satu-satunya yang belum bisa kulupakan. Apa lagi, perpisahan kami nyaris tidak dibumbui konflik serius, sebab kami memutuskan berpisah baik-baik setelah Mada diterima di salah satu perguruan tinggi terkenal yang ada di luar kota.
"Aku pikir, kamu akan tinggal permanen di luar kota?" tanpa kusangka, sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku.
Aku terkesiap begitu menyadarinya. "Maaf, aku mungkin sedikit lancang."
Bukannya menatapku aneh karena sok mengakrabkan diri, Mada malah tertawa kecil. "Aku langsung pindah ke sini begitu lulus kuliah dan fokus membangun cita-citaku," jawab pria itu lembut.
Aku menganggukkan kepala. "Aku turut bangga, Mada. Sejak dulu kamu begitu menyukai fotografi dan sejenisnya ...."
" ... dan kamu lah yang selalu menjadi korban objek gratisku." Mada menambahkan satu kalimat yang membuat pipiku merah.
Dia ternyata masih mengingat hal tersebut. "Aku bukan korban, tapi sukarelawan," ujarku membenarkan.
Mada tersenyum simpul. Kami kembali diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum pria itu secara tiba-tiba berkata, "lain kali mau tidak menjadi sukarelawanku lagi?" katanya menawarkan.
Aku termangu menatapnya. Percik-percik kebahagiaan mulai muncul memenuhi relung hati. "Boleh." Jawabku dengan nada yang aku usahakan biasa.
"Kalau begitu, boleh aku minta nomor teleponmu?" tanya Mada kembali. Aku pun mengangguk dan menyebutkan beberapa angka nomorku.
"Ahh, kau masih memakai nomor yang sama rupanya. Kalau ponselku sempat hilang, jadi aku mengganti nomor lamaku," ujar Mada.
"Kau masih mengingat nomor teleponku?" tanyaku.
"Ya." Jawab Mada.
Lalu, kenapa tidak mencoba menghubungiku? Aku hanya bisa menanyakan hal ini dalam hati.
"Aku sebenarnya ingin menghubungimu, tapi aku takut akan mengganggu. Lagi pula, rasanya canggung sekali." Secara mengejutkan, Mada tiba-tiba mengutarakan kalimat yang sangat berkesinambungan dengan pertanyaanku dalam hati tadi.
Apa ini? Apakah Mada bisa membaca pikiranku? Dia benar-benar membuatku tercengang.
"Tidak apa-apa." Jawabku. Kami pun mulai mengobrol ringan soal kegiatan masing-masing, sebelum akhirnya teman-teman kami kembali bergabung.
Acara reuni pun sukses berjalan. Tepat pukul setengah sebelas malam kami semua membubarkan diri.
"Jangan lupa untuk tetap saling berkomunikasi ya, guys!" teriak Kevin kepada kami semua. Dia memang berencana mengadakan reuni kembali khusus kelas kami saja.
Satu persatu mulai berpamitan pergi. Kini hanya tinggal aku, Arunika, dan Mada.
"Ayo, Bi, pulang bersamaku saja," ajak Arunika sekali lagi.
"Ayahku sebentar lagi sampai, kok! Kamu pulang saja duluan." Aku menolak halus ajakan pulang bersama Arunika.
"Kau yakin?" tanya Arunika meyakinkan.
Aku mengangguk mantap.
"Baiklah kalau begitu, aku duluan ya, Bi, Mada!" Arunika kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kamu tidak pulang? Apa dijemput juga?" tanyaku pada Mada yang masih berdiri di sebelahku. Apa dia tidak membawa kendaraan dan sedang menunggu jemputan, sama sepertiku.
"Aku akan menemanimu di sini sampai ayahmu tiba."
Mendnegar jawaban Mada, aku cukup tersanjung. Namun, aku juga merasa tak enak hati karena hari sudah semakin malam.
"Tidak perlu Mada, sebentar lagi ayahku pasti sampai," ucapku meyakinkan.
"Ayahmu sudah membalas pesanmu?" tanya Mada.
Aku menggelengkan kepala. "Mungkin karena ayah sedang di jalan."
"Sepertinya tidak begitu. Dari pada terus menunggu lebih baik kita pulang bersama. Bagaimana?"
Mendapat ajakan demikian tentu saja aku bimbang. Ayah memang belum membalas pesanku, tapi bisa saja karena ayah sedang berada di jalan, walau sebenarnya beliau tak pernah sekali pun mengabaikan pesan dariku.
"Hari sudah semakin larut dan aku tak mungkin meninggalkanmu sendirian."Mada sekali lagi membuka suaranya.
Aku terdiam sejenak, lalu berusaha menghubungi ponsel ayah kembali. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban. Ke mana sebenarnya ayah? Mengapa beliau tidak menepati janjinya untuk datang menjemputku.
Alhasil, dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku pun mengiyakan ajakan Mada. "Baiklah. Maaf merepotkanmu,"ucap gadis itu.
Mada tersenyum kecil lalu memintaku untuk berjalan mengikutinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments