Seperti yang pernah aku janjikan sebelumnya kepada Mada, hari ini tepat dua hari setelah pertamuan kami, aku bertemu pergi menyambangi Mada di studio miliknya.
Studio foto milik Mada merupakan gedung berlantai tiga yang terletak di pusat ibu kota dan berdiri tepat di kawasan strategis. Interiornya pun cukup mewah dan elegan,
Aku sempat tak memercayai bahwa Mada kini benar-benar sukses membangun impiannya dulu.
Begitu masuk ke dalam, aku disambut oleh dua resepsionis cantik.
"Saya ada janji dengan Madaharsa hari ini," ucapku pada mereka.
"Dengan siapa, Kakak?" tanya salah seorang resepsionis sembari mengangkat gagang telepon. Mungkin sedang bersiap menghubungi bos mereka.
"Binar." Jawabku singkat.
Saat mendengar namaku disebut, resepsionis tersebut meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya semula dan langsung mengantarku ke lantai tiga.
Studio Mada cukup ramai ketika aku melewati dua lantai sebelumnya. Bahkan, di salah satu ruangan sepertinya terdapat seorang pesohor atau orang penting, sebab dua orang bodyguard terlihat berjaga di depan pintu ruangan tersebut.
Tak lama, aku dan si resepsionis tiba di lantai tiga. Lantai ini jauh lebih sepi dan hening. Mungkin karena ini adalah ruangan sang pemilik studio.
Si resepsionis segera mengetuk pintu berwarna coklat tersebut dua kali, sembari berkata bahwa tamu yang ia tunggu sudah datang.
Mendengar pernyataan sang resepsionis, aku sontak mengangkat kedua alis tinggi-tinggi. Mada ternyata sedang menunggu kedatanganku. Hal itu tentu saja membuatku tersipu malu sekaligus senang.
"Masuk saja!" Kudengar, Mada berteriak dari dalam.
"Silakan masuk, Kak," ucap si resepsionis yang baru kuketahui dari nametag yang dikenakannya, bernama Imelda.
"Terima kasih," ucapku pada Imelda.
"Sama-sama. Saya permisi dulu." Dengan penuh kesopanan Imelda lantas meninggalkanku sendirian di sana.
Aku kemudian mendekati pintu ruangan Mada dan membukanya perlahan. Kulihat, dia sedang sibuk mengutak-atik kamera miliknya dengan mimik wajah serius.
"Emm, apa aku mengganggu?" tanyaku tak enak hati. Melihatnya sibuk, aku jadi merasa kedatangan ini kurang tepat waktu.
Mada sontak mengalihkan pandangannya dan bergulir ke arahku. "Tidak, tidak!" Dia meletakkan kamera tersebut dan menghampiri diriku.
"Apa kamu sudah menunggu lama?" tanya Mada lembut. Hari ini dia terlihat sangat tampan dengan kaca mata minus yang dikenakannya. Meski hanya dibalut kemeja dan celana jeans belel, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi ketampanan pria itu.
Aku benar-benar terpana.
"Sejak kapan kamu memakai kaca mata?" tanyaku tiba-tiba begitu mengingat, bahwa Mada bukanlah pria berkaca mata dulu.
"Sudah tiga tahun." Jawab Mada tersenyum.
"Sudah lama juga. Kemarin kamu tidak memakainya, kan?" Aku membuka lagi.
"Ya, di hari-hari tertentu aku memang memakai kontak lensa."
Mendengar jawaban Mada, aku mengangguk-anggukkan kepalanya. Mada pun mempersilakanku untuk duduk di sofa dan menanyakan minuman apa yang ingin aku minum.
"Air putih saja," jawabku.
Mada segera mengambilkan gelas dan sebotol air putih dingin dari kulkas mini miliknya dan meletakkan kedua benda itu tepat di hadapanku.
"Terima kasih," ucapku tulus.
"Sama-sama." Mada membalas senyumku. "Ahh, apa kamu tidak keberatan menunggu sebentar lagi? Kita akan memakai ruangan di lantai dua," ujar Mada kemudian.
"Padahal aku belum memutuskan ingin melakukan apa di sini." Tawa kecil meluncur dari mulutku seketika.
Mada ikut tertawa. "Tidak apa-apa. Biarkan aku yang menentukan kau harus apa di sini," katanya.
Aku menurut saja. Kami pun mengobrol ringan seputaran karir dan kehidupan masing-masing, sampai akhirnya aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan pada pria itu.
"Mada, kenapa kamu masih melajang, padahal karirmu sudah cukup baik sekarang?"
Mada terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaanku, yang membuat aku jadi sedikit khawatir karena takut telah menyinggung perasaannya.
"Aku terlalu sibuk mengembangkan karir. Mungkin aku akan mulai memikirkannya nanti," jawab Mada kemudian. Di mataku, dia terlihat sangat berhati-hati dalam menjawab.
"Oh begitu. Maaf jika pertanyaanku sedikit sensitif," kataku dengan nada penuh penyesalan.
Mada menggeleng. "Tidak masalah. Kamu sendiri bagaimana? Kenapa sampai saat ini masih melajang, padahal wanita biasanya sudah membangun biduk rumah tangga di usia segini?" Kini giliran pria itu yang mengajukan pertanyaan padaku.
Pertanyaan yang sebenarnya sangat sulit untuk aku jawab.
Aku membeku di tempat selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan penuh canda. "Tak ada yang mampu mengambil alih posisimu, setelah kamu tinggalkan, Mada."
Mada mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Melihat itu aku pura-pura tertawa keras dan mengatakan bahwa itu hanya candaanku saja.
"Kamu benar-benar membuatku terkejut!" serunya. Wajah pria itu kembali rileks setelah menegang beberapa saat.
Jujur saja aku malah kecewa dan berharap dia mengatakan hal-hal yang membuat hatiku berbunga-bunga. Namun, seperti yang dia katakan, tampaknya karir menjadi fokus utama untuk saat ini.
Tanpa terasa sudah satu jam sudah kami berbincang di ruang kerja Mada. Pria itu pun akhirnya mengajakku ke lantai dua yang kini sudah terlihat sepi.
Mada mengajak aku masuk ke dalam satu ruang studio foto di sana. Anehnya dia menolak bantuan beberapa karyawan dan menyuruh mereka untuk membiarkan kami berdua.
Aku lagi-lagi tersipu.
"Mau apa kita di sini?" tanyaku, karena sejujurnya aku tidak tahu harus melakukan apa. Maklum saja, aku memang tidak pernah melakukan foto di studio.
"Tentu saja untuk berfoto." Tawa kecil meluncur dari bibir Mada.
Wajahku memerah malu, karena merasa konyol dengan pertanyaan yang aku ajukan sendiri. Kami pun akhirnya mulai melakukan sesi foto sesuai arahannya.
Dari sejak terakhir kali kami bersama, aku lihat Mada jauh semakin mahir memainkan kamera di tangannya. Pria itu dengan mudah mengambil berbagai macam gaya yang aku praktekan sesuai arahan Mada.
Setelah puas berfoto, aku memilih beberapa yang pantas untuk dicetak.
Aku pun pamit pulang karena sudah berjanji pada ayah dan ibu untuk tidak pergi terlalu lama.
"Nanti aku akan menghubungimu jika foto-foto ini sudah dicetak," ucap Mada.
Aku menganggukkan kepala. "Lalu, berapa yang harus aku bayar?" tanyaku pada Mada.
Mada sontak mengerutkan keningnya. "Aku yang mengundangmu kemari, jadi kamu tidak perlu memikirkan itu," jawabnya lugas.
"Hei, tidak bisa seperti itu, dong! Aku sudah banyak menyita waktumu hari ini, tapi kamu malah memberikanku pelayanan gratis!" seruku dengan wajah terkejut.
Mada menampilkan senyum tipisnya yang menawan. "Anggap saja ini traktiran dariku, dan aku akan melakukan hal lain lagi ...."
"Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Anni Zakiyani
sampe sini msh bnyk misteri
2023-05-03
0