Bab 6. Tawaran Tiga Puluh Hari.

Saat ini aku dan Mada berada di salah satu restoran cepat saji yang memiliki jarak tak jauh dari rumahku. Pria itu memaksa menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Namun, dalam perjalanan pulang, dia menyempatkan diri untuk mengajakku makan siang bersama terlebih dahulu.

Aku sontak membeku ketika Mada ternyata membawakan makanan berupa menu favoritku sejak sekolah dulu. Aku kira dia sudah melupakan hal kecil itu, atau memang hanya kebetulan semata.

"Kamu masih menyukai ini, kan?" tanya pria itu padaku.

Aku terkesiap, sebab ternyata dia memilihkan makanan tersebut bukan karena kebetulan semata saja, melainkan karena masih mengingatnya dengan jelas. "Aku tidak menyangka, kamu masih mengingat apa kesukaanku."

Mada tersenyum. "Tentu saja aku masih mengingat hal-hal kecil tentangmu, khususnya tentang kita berdua."

Mendengar perkataan Mada, aku sontak terdiam. Kenangan kami memang terlalu indah untuk dilupakan. Namun, sebagai mantan sepasang kekasih, bukankah membahas masa lalu merupakan hal yang sangat sensitif bagi kami. Mungkin tidak bagiku, tetapi pastinya bagi Mada.

"Memangnya apa yang kamu ingat tentang kita?" Aku sengaja memancing pembicaraan karena ingin mengetahui apa yang sedang dipikirkan Mada saat ini.

"Banyak hal. Kamu?"

Aku mengerutkan kening, tatkala Mada malah melempar pertanyaan kembali kepadaku.

"Sama sepertimu," jawabku sekenanya yang malah membuat kecanggungan di antara kami terlihat sedikit jelas.

Kami berdua pun memilih untuk diam dan sibuk dengan makanan masing-masing, sebelum akhirnya Mada kembali membuka suara. "Bi, bolehkah aku menanyakan satu hal padamu?"

Aku mengangguk. "Apa?"

"Apa yang kamu pikirkan tentang kita saat ini?" tanyanya dengan raut wajah serius yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku termangu mendengar pertanyaan Mada. Pria itu tampak menanti jawaban yang keluar dari mulutku ini. Tatapannya kini seolah mengeborku dalam-dalam, hingga menembus relung hatiku.

Aku terkoyak. Jantungku berdegup sangat keras.

"Jujur saja aku senang bisa kembali bertemu denganmu, Mada. Bisa melihat wajahmu lagi, membuatku seperti meniti kembali jejak-jejak masa sekolah yang pernah kita lalui bersama." Aku mencoba menjawab dengan jujur meski tidak sepenuhnya.

Biarlah Mada berpikir, aku adalah mantan kekasih yang belum bisa bangkit dari kenangan masa lalu kami. Toh, aku hanya ingin mengutarakan sesuatu agar tidak menyesal dikemudian hari. Terserah bila setelah ini Mada tak lagi mau menemuiku.

Akan tetapi, jauh di dalam lubuk hati, aku berharap bisa kembali menapaki kisah cinta kami yang sempat padam selama dua belas tahun, sebab hingga detik ini aku masih memiliki perasaan padanya.

Mada hendak membuka suaranya kembali. Namun, aku memotong perkataannya seketika.

Entah setan dari mana yang menguasai diriku, tiba-tiba aku melontarkan sebuah ajakan konyol paling memalukan seumur hidupku. Yaitu tentang bagaimana kami kembali menapaki kenangan masa indah semasa pacaran dulu.

"Tak lama, hanya tiga puluh hari saja." Bukannya meminta maaf karena telah berlaku lancang, aku malah mengajukan waktu pada Mada.

Mada benar-benar terdiam. Dia hanya bisa termangu sembari menatap wajahku dengan raut terkejut, sebelum akhirnya dapat menguasai diri.

"Boleh." Jawabnya seraya mematri senyum.

Jantungku sontak bergemuruh. Tak kusangka, dia menerima tawaran aneh itu. Aku jadi salah tingkah sendiri, apa lagi ketika Mada dengan sengaja menyentuh ujung jari tanganku yang tergeletak di atas meja.

Syukurlah dia juga tidak repot-repot menanyakan alasanku soal waktu yang baru saja aku usulkan. Mungkin dia hanya mengira kalau aku hanya menyebut asal.

"Kapan kamu ingin memulainya?" tanya Mada lembut.

Aku terdiam pura-pura berpikir, padahal aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Otakku penuh dengan berbagai macam hal soal Mada.

"Minggu depan saja, saat kita bertemu kembali." Mada kembali membuka suaranya, saat menyadari bahwa aku tak kunjung menjawab.

Perlahan aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Mada menautkan tangan kami, pertanda bahwa kami benar-benar akan melakukan napak tilas dua belas tahun silam.

Setelah menghabiskan makan siang, aku dan Mada melanjutkan perjalanan kami kembali. Tak sampai satu jam kami sampai di rumahku.

Aku menawarkan Mada untuk mampir sejenak, tetapi Mada menolak dengan halus karena masih harus mengurus pekerjaannya.

"Lain kali aku pasti mampir ke rumah," ucap Mada.

Aku menganggukkan kepala dan tetap berada di sana sampai Mada pergi.

"Binar, siapa itu?" Suara ibu tiba-tiba terdengar. Beliau rupanya keluar dari dalam rumah karena melihat kedatanganku bersama seseorang.

"Itu Mada, Bu," jawabku tersipu.

Mendengar nama Mada disebut, ibu sontak tersenyum lebar penuh godaan. Ya, baik ayah dan ibu memang mengetahui soal pria bernama Mada. Di masa lalu, Mada bahkan sering berinteraksi dengan mereka jika sedang ke rumah.

Ibu dan ayah memang sempat menyayangkan hubungan kami yang harus kandas, padahal tidak memiliki konflik berarti. Namun, mereka menghormati keputusan kami.

Seperti anak gadis yang baru saja mendengat cerita dari sahabatnya, ibu segera menggandengaku ke dalam rumah sembari menggoda. Beliau sibuk mengajukan berbagai pertanyaan mengenai waktu yang kami habiskan tadi.

Bukannya kesal, justru aku malah semakin malu. Perlakuan ibu persis seperti aku masih berusia belasan tahun saja. Maklum, setelah putus dengan Mada, aku memang tak pernah berhubungan dengan siapa pun.

Lebih tepatnya tidak bisa. Sesuatu hal membuatku menekankan diri untuk tidak berlaku seperti manusia normal pada umumnya. Namun, tampaknya keteguhan hatiku untuk tidak berhubungan dengan lawan jenis sepertinya harus lunak, ketika kembali bertemu dengan pria yang sama, yaitu Mada.

"Bu," ucapku sembari menghentikan langkah kami yang hendak menaiki tangga.

"Kenapa Sayang?" tanya ibu yang langsung memandangiku dengan raut penasaran.

"Aku mengajak Mada untuk mengenang kembali masa-masa SMA kami dalam tiga puluh hari ke depan."

Mendengar perkataanku, ibu terdiam. Wajahnya yang semula terlihat sangat senang kini berubah sendu. Tidak perlu cenayang untuk tahu arti tiga puluh hari tersebut. Ibu tentu saja sangat mengetahui apa maksudnya, dan beliau memilih untuk tidak membahas soal itu.

Alhasil, kami kembali melanjutkan langkah menuju kamarku di lantai dua dalam suasana yang hening.

Setelah berbincang sebentar di kamar, ibu mempersilakan aku untuk beristirahat sejenak, sementara beliau turun ke dapur untuk mengambilkan aku minum. "Tunggulah sebentar."

Aku mengangguk dan memilih berganti pakaian.

Tak sampai lima menit kemudian, ibu kembali ke kamar sembari membawa nampan berisi segelas air dan beberapa butir obat.

Aku menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Bu," ucapku.

"Sama-sama Sayang. Katakan kalau kamu butuh sesuatu ya?"

Aku mencium pipi ibu lama sekali lalu memeluk erat tubuhnya. Beliau pun membalas perlakuanku sebelum berjalan pergi menuju pintu kamar.

"Bu," panggilku tiba-tiba.

Ibu menghentikan langkahnya dan menatapku penuh arti. "Iya, Sayang."

"Biarkan aku menjadi gadis normal selama tiga puluh hari ini ya, Bu? Setelah itu aku berjanji tidak akan menundanya lagi. Aku akan menuruti apa pun pilihan ayah dan ibu." Seulas senyum manis terpatri di wajahku untuk wanita hebat yang telah banyak memberiku kekuatan ini.

Sorot mata itu sedikit bergetar. Namun, beliau berusaha menjawabnya dengan nada biasa. "Tentu saja Sayang."

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

Hmmm byk yg tersirat....🤔

2023-06-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!