Begitu menginjakan kaki di dalam gedung serbaguna yang kini disulap menjadi ruangan pesta menyenangkan, aku seperti kembali ke masa lalu. Wajah-wajah familiar masih sangat kukenal meski sudah belasan tahun berlalu. Mereka adalah teman-teman sekelasku yang sedang asyik berkumpul dan berbincang.
Kami berjalan perlahan dan bergabung di sana. Wajah-wajah itu terlihat antusias ketika menyambutku dan Arunika.
"Binar!" sapa Aresta, pria yang dulu kukenal bertubuh kurus kerempeng. Dia kini menjelma menjadi pria kekar yang berwibawa.
"Oh, my God, Binar, Arunika!" Ada juga Rissa, wanita yang sejak masih sekolah memiliki kecantikan tak tertandingi. Penampilannya malam ini terlihat sangat anggun dan mahal.
Beberapa teman yang tak bisa kusebut satu persatu pun turut menyapa. Kami saling berpelukan dan menanyakan kabar satu sama lain.
"Apa kegiatanmu sekarang, Bi? Kamu tidak membawa calon suami?" tanya Wanda, wanita berhijab yang kini sedang hamil lima bulan.
Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku masih jomlo," jawabku tersenyum, tanpa memberi jawaban lain. Sejak dulu Wanda memang dikenal sangat penasaran dengan kehidupan orang lain. Dulu dia bahkan sering ditegur oleh kakak kelas karena sering membicarakan mereka. Namun, dibalik sifatnya tersebut, Wanda merupakan teman yang baik dan mau diajak susah.
Wanda meringis. Tampaknya dia mengerti bahwa aku tak ingin membahas kehidupan pribadiku lebih jauh.
Kami pun melanjutkan obrolan lain dengan pembahasan yang lebih umum, seperti kenangan-kenangan masa sekolah dulu, dari mulai yang memalukan, lucu, bahkan sampai yang romantis.
"Hei, jangan ingatkan aku tentang itu!" teriak Kelvin, sang mantan ketua kelas yang kini berprofesi sebagai co-pilot. Wajahnya terlihat sedikit memerah ketika kami membahas bagaimana usaha Kelvin mengejar Cindy, anak kelas lain. Mereka jadian di bawah guyuran hujan, saat Kelvin menyatakan cintanya di lapangan bola dengan kondisi tanah becek.
Kami kembali tertawa keras, sama sekali tidak memerdulikan protes yang dilakukan Kelvin.
"Hei, ingat tidak, kalau kita juga punya satu pasangan fenomenal!" seru Kelvin tiba-tiba. Matanya sontak melirik ke arahku yang langsung berhenti tertawa.
Arah pandang teman-temanku pun otomatis mengikuti Kelvin, termasuk Arunika. Mereka tersenyum menggoda.
"Kenapa melihat ke arahku?" tanyaku pura-pura tak mengerti, padahal aku tahu benar apa yang mereka maksud.
Senyum beberapa orang di antaranya semakin melebar.
"Aih, kamu tidak mungkin semudah itu melupakan dia, kan?" tanya Kelvin. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya pada teman-teman sekelas. "Kalian ingat, kan? Ingat, kan?" katanya bersemangat.
Teman-temanku yang berada di sana serempak menganggukkan kepala.
"Tentu saja ingat! Terlebih pada adegan ikonik saat Binar sedang mengikat sepatunya di bawah rintik hujan dan Mada datang membantunya!" jawab Vanya, salah seorang temanku yang tiba-tiba sangat bersemangat.
Bagaimana tidak, sebab dia lah yang dulu sering merelakan kursinya untuk diduduki oleh pria itu.
Mendengar hal tersebut, wajahku memerah seketika. Potongan-potongan ingatan masa lalu sontak memenuhi pikiranku.
Ya, alasan terbesar mengapa aku begitu bersemangat hadir di tempat ini tak lain adalah untuk melihat sosok seseorang yang aku rindukan. Seseorang yang dulu pernah mengisi kekosongan hatiku. Bersamanya, kulewati masa-masa SMA ini dengan penuh sukacita.
"Ada lagi, ada lagi! Saat kita sedang di lapangan basket dan menunggu giliran praktek! Earphone, earphone!" Begitu mendengar Vanya menyebut kata terakhirnya, sorak sorai penuh godaan pun refleks terdengar.
Tentu saja aku masih mengingat jelas tentang itu. Tentang dia yang tiba-tiba menyematkan salah satu earphone ke telingaku saat sedang duduk di bangku tribun seorang diri. Berdua, kami mendengarkan beberapa lagu romantis sembari menunggu giliran untuk dipanggil.
"Hei, kenapa sekarang aku yang jadi sasaran!" seruku protes. Kelvin tertawa bahagia. Jelas dia sengaja membahasku agar kami bisa melupakan tentang dirinya.
Baru saja aku hendak membuka suara untuk membalas Kelvin, tiba-tiba saja pria yang sejak tadi dibicarakan tersebut muncul.
Pria bertubuh tinggi menjulang yang memang sejak tadi kunantikan kehadirannya.
"Bro Mada!" Kelvin berdiri dari kursinya untuk menyambut kedatangan Madaharsa.
Ya, pria itu adalah mantan kekasihku semasa SMA, Madaharsa. Namanya yang unik tentu saja membuatku tak mudah lupa.
Mada yang baru saja datang langsung membalas pelukan Kelvin. Dia lalu menyapa semua yang ada di sana, termasuk diriku.
Aku membalas sapaannya ramah. Di mataku, Mada masih terlihat sama meski garis wajahnya kini semakin dewasa. Gaya berpakaiannya pun sama, santai tetapi rapi. Yang aku ingat, Mada tidak suka berpakaian formal. Itulah mengapa penampilannya saat ini terbilang paling santai di antara para alumni yang datang.
Kendati demikian, aura menenangkan dan wibawa yang dimiliki Mada tak pernah hilang.
"Kami baru saja membicarakanmu dan Binar, Mada," ujar Vanya sembari mempersilakan Mada duduk tepat di sebelahku.
Aku terkejut, tetapi mencoba terlihat biasa-biasa saja.
Mendengar perkataan Vanya, Mada tersenyum. "Soal apa?" tanyanya.
"Banyak!" jawab Kelvin asal. Aku tahu, Kelvin hanya ingin melihat reaksi Mada jika mendengar hal itu.
Mada terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahku. "Sorry, aku datang terlambat, jadi tidak bisa membantumu membalas ejekan mereka," kata pria itu dengan nada lembut.
Jantungku sontak bergemuruh mendengar suaranya. Suara yang dulu selalu aku rindukan setiap malam, dan berharap pagi cepat datang hanya untuk mendengarnya kembali.
"Sayang sekali." Hanya itu lah kalimat yang bisa aku lontarkan sebagai balasan. Mada terlihat tersenyum lalu kembali mengalihkan pandangannya pada yang lain.
Beruntung, berkat kedatangannya, pembahasan kami pun menguap seketika. Mereka asyik membicarakan hal lain seperti pekerjaan.
Aku sama sekali tidak terkejut ketika Mada menceritakan pencapaiannya sebagai fotografer profesional, sebab itu lah salah satu impian Mada sejak dulu. Kini impian tersebut mampu dia raih.
Berbekal usaha dan kerja keras, Mada kini membangun sebuah studio foto dengan skala menengah. Dia bahkan menawarkan potongan harga pada kami jika ingin memakai jasanya.
Begitu mendengar kata diskon, para wanita merasa antusias. "Kebetulan aku ingin melakukan foto keluarga nanti!" ujar Sulis, yang sejak tadi lebih banyak diam karena sibuk mengutak-atik ponselnya.
Mada langsung memberikan kartu namanya ke Sulis dan juga teman-temannya di sana, termasuk aku.
"Hubungi aku jika kau membutuhkannya," ujar Mada.
Aku tersenyum simpul dan mengangguk. Aku tatap kartu nama tersebut lekat-lekat, sebelum akhirnya kusimpan dengan baik di tas kecil milikku.
Sesaat kemudian, suara pengumuman pun terdengar dari atas panggung. Jeni dan Okantara didapuk sebagai pembawa acara. Mereka berdua adalah mantan ketua dan wakil ketua OSIS dulu.
Mereka berdua terdengar meminta maaf, karena keterlambatan acara yang seharusnya dimulai sejak dua puluh menit lalu.
"Tanpa berlama-lama lagi, kita mulai acara reuni SMA Pelita Nusantara, angkatan ke-15 ini!" teriak sang ketua OSIS yang langsung disambut dengan tepuk tangan meriah.
Kami semua sangat bergembira mengikuti acara, termasuk diriku. Namun, bukan pada jalannya acara semata, melainkan Mada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
abdan syakura
aaaaa Babang Mada...
Mana Card Name nya untukku?🤭
2023-06-03
0
👋🏻 emak chimon 🐣
wkwkwkkkk, aku juga pasti bakalan antusias sih kalo denger kata diskon 🤑🤑
2023-04-27
0