Bab 9. Kencan Pertama.

"Bi, kamu melamun?" Aku tersentak kaget kala Mada tiba-tiba menyentuh ujung lengan pakaianku. Pria itu ternyata sedang menatapku dengan pandangan penuh tanya.

"Ahh, m maaf," ucapku malu-malu. Rupanya sejak tadi aku sibuk melamun demi menikmati ingatan masa lalu yang tiba-tiba saja hadir mengusik. Bagaimana tidak, karena hari ini adalah kencan pertama kami sejak dua belas tahun yang lalu.

Aku yang masih memiliki perasaan pada Mada sontak terbawa perasaan, saat Mada mengajakku mengunjungi taman kota menggunakan bus umum. Bus yang biasa aku pakai berangkat sekolah dulu.

"Kamu baik-baik saja? Apa kamu tidak ingin naik bus? Kita bisa turun di halte berikutnya dan aku akan mengambil mobilku," ujar Mada dengan nada sedikit khawatir. Mungkin dia merasa aku kurang nyaman memakai kendaraan umum, padahal aku sudah terbiasa melakukannya dulu.

"Tidak! Aku hanya sedang memikirkan masa-masa sekolah dulu. Bus ini adalah bus yang biasa kita pakai ke sekolah, kan? Namun, kita tidak pernah menggunakannya lagi saat kamu memutuskan memakai motor ke sekolah." Dari pada berbohong, aku memilih menjawab pertanyaan Mada dengan jujur (meski tidak sepenuhnya).

"Ah, benar juga!" Mada terkesiap. Sepertinya dia baru mengingatnya.

Melihat reaksi Mada yang demikian, membuatku merasa sedikit kecewa. Apa yang aku harapkan? Kenangan itu sudah belasan tahun berlalu dan pasti sulit bagi Mada untuk mengingatnya!

Sesekali Mada memang mengingat jelas kebiasaan-kebiasaanku. Namun, rasanya tak lebih dari itu.

Aku merespon perkataan Mada dengan sebuah senyum tipis, sebelum akhirnya memilih menatap jalanan dari balik jendela bus.

Akan tetapi, sedetik kemudian Mada dengan tiba-tiba menggenggam erat tangan kiriku sambil berkata pelan, "aku harap, kau tidak keberatan."

Aku termangu sesaat sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Kekecewaan yang sempat terselip di hati ini mendadak sirna tak berbekas.

Ada apa ini? Mengapa aku seperti gadis bodoh yang mudah sekali terbujuk dengan rayuan pria?

Hei, tapi, kan, ini bukan rayuan! Ini adalah kesepakatan kita bersama untuk kembali mengenang masa lalu. Jadi wajar saja bila Mada melakukan kontak fisik seperti yang dilakukannya saat ini.

Ahh, dasar Binar bodoh!

...**********...

Tak sampai setengah jam kemudian keduanya tiba di taman kota. Aku sedikit terkesiap melihat perubahan taman kota yang cukup signifikan dari saat terakhir aku kunjungi bertahun-tahun silam. Tampaknya Mada juga merasa demikian.

"Kelihatannya kamu juga sudah lama tidak ke sini?" tanya Mada setelah menyadari perubahan raut wajahku.

Aku meringis. "Iya, terakhir kali mungkin tujuh sampai delapan tahun yang lalu. Yah, aku memang jarang pergi keluar rumah."

Mendengar jawabanku, Mada lantas menatap aneh. Mungkin dia bingung mengapa tempat yang paling sering dan cukup dekat dari tempat tinggalku ini tak pernah dikunjungi.

Demi mencegah pertanyaan yang akan terlontar dari mulut Mada, aku bergegas mengajak pria itu mengunjungi beberapa stand makanan yang ada di pinggir jalan. Kencan pertama kami dimulai dengan berwisata kuliner.

Ada berbagai macam makanan yang dijual di sana, dari mulai makanan ringan sampai makanan berat.

Aku bahagia berjalan mengunjungi tiap stand penjual makanan sembari bergandengan tangan dengan Mada. Namun, sayangnya aku tidak bisa memakan semua jenis makanan yang ada dan harus pintar-pintar memilih.

"Kenapa memangnya? Setahuku, kamu gemar memakan makanan pedas?" tanya Mada saat aku menolak mengonsumsi makanan pedas yang baru saja dibeli olehnya.

Aku tersenyum kecil. "Aku miliki Gerd, jadi sudah tidak bisa makan makanan pedas lagi. Sebenarnya boleh-boleh saja jika hanya sedikit, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya sama sekali. Ahh, sepertinya kamu tidak sadar, bahwa aku bahkan tidak menyentuh saos saat kita makan setelah pulang dari studio waktu itu ya?"

Mendengar hal tersebut, Mada termenung sejenak lalu berseru. "Pantas!" ucapnya spontan.

Aku tertawa kecil.

"Kalau begitu kita cari makanan lain. Apakah ada makanan lain yang tidak bisa kamu makan?" tanya pria itu kemudian.

Aku hanya bisa meringis. "Ada beberapa, tetapi tidak usah dipikirkan karena aku masih bisa mengonsumsinya sedikit."

Mada terlihat khawatir sebelum akhirnya menyetujui perkataanku. Kami pun kembali melanjutkan wisata kuliner kecil-kecilan ini. Walau aku sendiri sudah mulai merasa kelelahan, tetapi bersama Mada rasanya lelah ini akan mudah teratasi.

"Bi, kamu pucat sekali! Kamu tidak apa-apa?"

Aku yang sedang duduk bersandar di salah satu bangku taman mendadak terkejut, saat tangan Mada menyentuh pipiku lembut.

Buru-buru aku berkaca pada ponsel yang kubawa.

Pantas saja dia terlihat panik, sebab wajahku kini memang sudah seputih kapas. Aku benar-benar lupa diri saat bersama Mada. Aku harap, ayah dan ibu tidak memarahiku nanti.

"Ahh, aku tidak apa-apa, hanya kelelahan saja." Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan Mada yang tampak gelisah. Sementara aku sendiri menahan diri untuk tidak merasa mual. Namun, gagal. Rasa mual itu semakin lama semakin menyiksa.

Aku pun meminta izin pada Mada untuk pergi ke toilet untuk menyegarkan diri.

Sesampainya di toilet, aku mengambil beberapa butir obat yang selalu kubawa ke mana-mana dan meminumnya tanpa air. Setelah memastikan obat tersebut tertelan, aku berdiri di wastafel sembari menatap pantulan diriku yang tampak menyedihkan di cermin.

Ini lah alasanku mengapa di usia kepala tiga masih hidup bergantung pada orang tua.

Jika boleh memilih, tentu saja aku akan memilih hidup seperti manusia-manusia normal lainnya, atau minimal seperti kakakku —Genta— yang bisa terbang bebas merantau jauh dari rumah. Namun, keadaan memaksaku untuk tidak melakukan semua itu.

Meski awalnya marah dan sempat tidak terima, tetapi lama kelamaan aku mampu berdamai dengan diri sendiri. Semangatku untuk tetap sehat dan bertahan adalah fokus utamaku saat ini. Aku tak peduli lagi jika harus terkurung di dalam rumah seperti seekor burung.

Senyum tipis kembali terpatri di wajah pucatku. Aku tidak bisa memungkiri jika kehadiran Mada menambah kekuatanku untuk bertahan. Yang perlu aku lakukan saat ini hanyalah menghabiskan waktu dengannya sebagai bekalku nanti.

Aku sudah bertekad mengukir banyak kenangan bersamanya.

...**********...

"Kamu baik-baik saja?" Mada bergegas bangkit dari kursinya begitu aku datang.

"Ya, aku tidak apa-apa. Maaf jadi membuatmu khawatir," ucapku tak enak hati.

"Aku lah yang harusnya meminta maaf karena membuatmu kelelahan. Aku benar-benar minta maaf, Bi,' ucap Mada lirih.

Aku tertawa kecil. "Tidak apa-apa Mada. Sudah dua hari aku memang tidak bisa tidur. Itu lah mengapa aku jadi kelelahan hari ini."

Mada mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa begitu?" tanya pria itu penasaran.

Dengan wajah malu-malu aku pun menjawab, "karena aku terlalu sibuk memikirkan hari ini."

Mada sontak terdiam lalu tersenyum. Dia mungkin tidak mengira kalau aku akan berkata sejujur itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!