Aku duduk bersama semuanya, ada geng LorezQ dan geng CaPaMud, kita semua berdiskusi tentang hari di mana festival akan diadakan.
Karena sudah mendekati, satu bulan lebih telah berlalu, pertemanan kita juga sudah cukup saling mengenal satu sama lainnya.
Minggu depan seperti sedekat itu di depan kita, aku menggenggam tangan Sandi yang berada di sebelah kiri dan menggenggam tangan Alya di sebelah kananku, sedangkan Sandi menggenggam tangan Putra di sebelahnya, dan teman lainnya pun saling menggenggam satu sama lain.
Aku dan mereka membuat sebuah lingkaran kecil. Aku dan mereka berdoa dengan kepercayaan masing-masing, saat berdoa selesai, aku mengangkat kepala, menatap mereka yang juga mengangkat kepala seraya menatap ke arah diriku dan Sandi.
Aku pun membuka percakapan tanpa melepaskan genggaman tangan di kanan maupun kiri, “Gais, kita harus optimis bahwa kita bisa menang, aku yakin kita bisa kok, apalagi dance kita keren dan udah semaksimal mungkin, kalau kalah nantinya, kita nggak boleh ngerasa kalah, sebab kita menang di dalam diri kita untuk berekspresi dalam karya dance kita sendiri.”
“Kita harus bangga, sebab kita tidak mengcopaa karya dance orang lain. Semangat!” seruku pada mereka semua, aku juga sedikit memberikan kata-kata yang selalu aku selipkan kepada geng LorezQ.
Kita memang bangga menjadi pemenang, tapi kita juga pernah kalah, hanya saja kekalahan itu tidak pernah kita tunjukkan, karena kita selalu merasa menang dan bebas di dalam diri kita sendiri, karena sejatinya menang adalah bebas menjadi diri kita, menunjukkan seberapa bisa kita pada apa yang kita lakukan. Tak pernah sedikit pun aku memaksakan untuk harus menjadi pemenang.
“Thanks buat kata-katanya, Can, bahkan gue nggak pernah terbayangkan kalau gue bisa memiliki pola pikir untuk menjadi pemenang di dalam diri kita sendiri, meskipun kata orang kalah,” ujar Rio yang mengulas senyum kepadaku.
“Sama-sama, Rio. Btw itu kata-kata gue setiap mau lomba dance di manapun buat geng LorezQ, jadi ya itulah pemicu semangat di dalam diri kita biar optimal pas tampil,” tuturku yang panjang lebar padanya.
“Keren lo, Can,” timpal Sandi yang menoleh kepadaku sambil menampilkan senyuman manis, membuat aku merasakan debaran jantung akibat dia tersenyum.
Aku menghirup napas pelan-pelan. Namun, sedikit rakus, lalu menjawab ucapan Sandi dengan nada rendah, “Makasih, San.”
“Iya sama-sama, Can.” Hening setelah Sandi mengatakan itu, semuanya seperti terbius dengan keberadaan diriku dan Sandi.
Hingga Devi membuka obrolan kembali pada semuanya, “Tanggal 25 Mei, catet ya, alarm juga kalau bisa. Karena saingan kita lumayan banyak, btw nanti juga ada babak final, jadi siap-siap aja ya.”
Aku mengangguk, “Lomba kali ini besar-besaran, bukan kayak sebelumnya yang selesai acara lomba bisa langsung diumumin. Jurinya juga kali ini bener-bener orang yang udah senior banget, jadi kita harus siap mental ya.”
“Siap Ibu Bos,” ujar Putra padaku.
“Apa itu Bos?” tanyaku pada Putra.
“Bos adalah ibu-ibu gede,” jawab Putra yang membuatku melotot.
“Kampret lu, Put, gue mana ada badan gedenya! Badan gue tuh kayak body gitar spanyol tahu!” Aku menepis ucapan Putra yang seenaknya mengatakan bahwa aku ini ibu-ibu gede.
“Hilih badan macam triplek aja,” ejek Alya kali ini.
“WASYEM LU, AL! AWAS LU YA!” ancamku yang melepaskan tangan darinya dan menunjuk Alya dengan ancaman tadi.
“Awas naon? Awas jatuh cinta sama gue? Lo lesbi ya, Can, pantes Sandi berusaha buat lu jatuh cinta, lu nya aja begini, belok-belok gender,” cicit Alya yang membuatku dengan enteng menjitak kepalanya.
“Sekate-kate lu! Mana ada gue lesbi, apalagi demen sama mulut lambe turah, bah, bisa-bisa bocor semuanya.” Alya langsung cemberut dibuat olehku.
“Udah napa jadi ribut seh!” Kini Tara ikut angkat bicara.
“Dia duluan!” ucapku dengan Alya yang berbarengan, sama-sama saling tuding juga.
Tara menghela napas kasar, “Dev, ajarin anak-anak kita tata krama, bikin malu aja.” Selayaknya seorang istri yang sedang memerintahkan suaminya untuk mendidik anak-anak. Devi mengangguk.
“Kalian berdua ini udah tua, masa kelakuannya begini sih!” Ucapan Devi berhenti sampai sini, aku pun menyahutinya dengan berkata, “Tuaan mana sama Bapake Devi?”
“Tuaan kamu lah,” jawab Devi dengan santai.
“Loh-loh, kok jadi saiya, bukannya Bapake Devi lebih tua dari saiya?” Aku kembali memasuki peran drama yang dibuat oleh teman-teman yang sama-sama gilanya denganku.
“Lah kamu tanya, saya jawab.” Devi membalas ucapanku.
Lalu tiba-tiba Sandi ikut mendalami peran anehnya yang seolah sebagai Bapak RT, “Ada apa ini loh, kok ribut-ribut, kalian ributin saya apa ributin istri saya, anak saya, cucu saya, bibit-bebet-bobot saya?”
“Kamu siapa?” tanyaku kepada Sandi yang bersamaan dengan Devi dan Alya.
“Saya siapa?” Sandi malah bertanya pada Putra.
Putra yang sama gilanya pun menanyakan pada Reyga yang sama-sama gila juga, “Saya siapa?” Reyga menanyakannya pada Rendy.
“Saya siapa?” Kini Rendy menanyakannya pada Tara, lalu Tara menanyakannya pada Rio, “Saya siapa?”
Pertanyaan itu pun disampaikan Rio pada Bara, “Saya siapa?” Bara dengan wajah datarnya pun berkata, “Saya nggak tahu kamu siapa, saya tahunya di sebelah saya ada Via yang tidak ikut-ikutan gila seperti kalian semua.”
Drama itu pun harus berakhir saat Bara berkata seperti itu, semuanya menyerukan, “Huu ... nggak asik Bara, huu ....”
Bara hanya menampilkan cengirannya, lalu menatap Via sebentar, “Kalian tanya saya? Saya jawab.”
“Saya-saya saha?” Putra kembali menyulut komedi drama yang kita buat-buat.
“Lo demit!” pekik Alya dengan kesal.
“Anjir ngegas dong.” Putra dan Alya bersahut-sahutan, mereka mulai lebih aneh dan ngaco dibandingkan kegilaan yang lainnya.
Bisa dibilang, hanya mereka yang gilanya over, sedangkan lainnya tidak terlalu, kalau Bara dan Via tidak perlu didaftarkan, mereka makhluk normal layaknya manusia.
“Lah suka-suka saiya dong, kok Anda marah?” tanya Alya pada Putra.
“Lah suka-suka saiya dong, kok Anda tanya?” Putra membalasnya dengan membalikkan kata-kata.
“Lah-lah, itu suka-suka saiya, kok kamu mulai mau atur-atur saiya ya?” Alya yang tak mau kalah pun membalasnya.
“WES STOP! LIEUR AING!” Kini Reyga mulai merasa pusing dengan keanehan teman-temannya.
“Baru pusing ya, Ga? Gue dari dulu begitu,” ujar Sandi yang aku iyakan.
“Gue sama kek elu, San.” Aku menatap Sandi dengan penuh dramatisir.
“Nasib kita punya temen gila ya begini,” ujar Rendy yang membuat suasana semakin mengdrama kocak.
Aku yang tak kuat pun langsung tertawa terbahak-bahak, membuat yang lainnya mengikuti.
“Udah dramanya kali weh, capek gue!” Aku pun mengakhirinya dengan bangkit dan pergi dari kegilaan abadi ini, bersamaan dengan Bara dan Via.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments