Bagian Kisah

Aku berlari menyusuri jalanan besar di tepiannya, sambil sesekali melirik jam tangan, “Astaghfirullah udah mau masuk.”

Aku mempercepat laju lari, napas tersengal-sengal pun tak kupikirkan, kaki rasanya kram. Tapi, waktu tak bisa dibantah, dan semakin bertambah tiap detik dan menitnya.

Tepat pukul 7 pagi, aku berhenti di depan gerbang SMA Garda. Aku bernapas sejenak sambil meremas pupuku yang nyerinya tak karuan.

Pak Satpam mendekat dan berkata, “Langsung masuk, gerbang mau ditutup!” Aku mengangguk dan masuk ke dalam.

Kembali berjalan dengan langkah lunglai, saat sampai di kelas XI IPA 1, aku langsung mendudukkan diri di kursi legend yang bersebelahan dengan Via.

“Nggak dianter lagi sama Kak Johan?” tanya Via yang menatapku dengan tatapan redup.

Aku mengangguk, “Biasalah, dia begitu kalau udah ditelepon sama doinya.”

Via mengangguk tanpa ekspresi, “Gitu sih emang rata-rata cowok, nggak mau kehilangan.”

“Ya tapi, gue adeknya, lagian gue juga mau ke sekolah,” ocehku yang mengundang Tara dan Alya merapat di mejaku.

“Coba-coba cerita, Can,” tutur Alya yang kepo setengah mati, sampai-sampai rela menarik kursinya mendekat ke arahku.

“Iya cerita dong, Can, kepo nih!” timpal Tara yang juga kepo.

Aku menghela napas berat, menatap satu per satu mereka, dan mulai menceritakannya, “Jadi gue tadi mau berangkat sekolah, tapi ... Kak Johan tiba-tiba dapet telepon dari Kak Tina buat jemput dia secepatnya, jadi ya udah gue ditinggal. Mana gue prepare sekolah tuh harus berulang-ulang, lo tahu sendiri gue kek gimana.”

Tara, Alya, dan Via mengangguk, serentak memberikan elusan di pundakku. Hingga Alya berkata, “Sabar ye, nasib anak kedua biasanya emang selalu apes.”

“Gue anak kedua, tapi nggak apes,” timpal Devi yang langsung duduk di pangkuan Alya sambil memakan snack ringan.

“Sianjir, dateng-dateng malah duduk di pangkuan gue, badan lo berat, Dev!” pekik Alya yang mendorong tubuh Devi.

“Ck, badan lo lebih berat kali Alya!” cibir Devi yang membuat Alya memalingkan wajah.

“Udah ah, ribut mulu kerjaan kalian, capek nih gue! Lari-lari kayak orang marathon!” seruku yang meluruskan kaki sambil memijatnya perlahan-lahan.

Kaki ini rasanya seperti mau lepas dari tubuh, sakit sekali. Belum lagi napas masih harus diatur agar kembali normal.

Tak lama setelahnya Bu Farah datang, membawa setumpuk buku yang berada digenggaman tangannya.

Alya, Tara, dan Devi pun langsung kembali ke tempat duduknya masing-masing. Teman-teman sekelasku yang lainnya pun begitu.

Kita memberikan salam dan kembali diam mendengarkan apa yang dikatakan Bu Farah. Dia adalah guru Matematika kita semua, dan dia orangnya sedikit baik, tapi tak berekspresi.

Mungkin beban rumus Matematika membuatnya kehilangan ekspresi dihidupnya atau mungkin memang sudah begitu sedari lahir.

Aku menepis teori konspirasi ekspresi Bu Farah yang memang tidak ada sama sekali, hingga tiba-tiba namaku disebut oleh Bu Farah secara mendadak, “Cantika Audya, maju.”

“Hah? Saya Bu?” tanyaku pada Bu Farah.

“Iya kamu,” jawabnya yang membuat diriku meneguk saliva.

Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekat ke arahnya. Dia pun menyerahkan buku yang bersampul cokelat, “Nilaimu meningkat, rajin belajar ya.” Aku mengangguk, dan kembali duduk dibangku.

Satu per satu siswa dan siswi dia panggil, ditambah wejangan untuk meningkatkan belajarnya. Kupikir tadi dia bisa membaca pikiranku.

“Can, nilai lo berapa?” tanya Via padaku.

“Nggak tahu, nggak lihat, males,” jawabanku membuat Via menggelengkan kepalanya.

“Aneh banget temen gue,” cicitnya yang langsung diam, dan membuka buku.

Pelajaran pun dimulai, saat pembagian buku masing-masing siswa dan siswi sudah. Materi yang disampaikan Bu Farah memang masuk, tapi saat diberikan soal, semua materi itu seakan lenyap dari otak ini.

Aku hanya bisa mengetuk-ngetuk meja, berharap waktu cepat berlalu, dan berganti pelajaran olahraga.

Mungkin doa dari siswi yang terzolimi sepertiku cepat terkabul, bel berbunyi nyaring. Pergantian jam pelajaran pun membuat senyum mekar di seluruh siswa dan siswi terpancar.

Bu Farah mengakhiri pelajarannya, dan bergegas keluar. Benar-benar guru ajaib yang tanpa ekspresi sedikit pun.

Aku mengambil baju olahraga dari dalam tas, dan menuju kamar mandi bersama Via, Tara, Alya, dan Devi.

Kita berganti baju secara bergantian. Setelah semuanya siap, kita kembali ke kelas menaruh baju seragam hari Kamis kita di loker masing-masing, dan kembali bergegas menuju lapangan untuk melakukan pemanasan.

Hari ini materinya bermain basket secara berkelompok, tentu saja kelompokku adalah mereka teman geng LorezQ. Kita mendapatkan lawan main dari kelompoknya Sabilla.

“Gais, kita harus menang,” tuturku saat kita dipersilahkan untuk memulai permainan.

“Harus dong ...,” ujar Devi yang bersemangat, diangguki oleh aku dan teman-teman.

“Ayok Alya, Devi, Tara, Via, Cantika. Jangan ngerumpi terus!” pekik Pak Bondo yang membuat aku dan teman-teman membeo, “Iya, Pak.”

Aku dan teman-teman berkumpul, berdiri di tempatnya masing-masing. Mempersiapkan ancang-ancang dari lawan main.

Saat bola basket di lempar oleh wasit yang tak lain adalah Pak Bondo sendiri, aku langsung merebut bolanya. Men-dribble dan mengopernya ke Via yang kemudian di oper lagi ke Tara dan terakhir dioper ke Devi yabg berada dekat di area keranjang.

Dan, Devi menerima bola, lalu memasukkannya dengan lemparan indah. Bola itu masuk sempurna ke dalam keranjang.

“Poin satu untuk tim Cantika Audya!” teriak Pak Bondo, ditambah seruan-seruan dari beberapa teman sekelasku yang menyorakkan semangat.

Kini, kita berebut bola dengan tim lawan. Tapi, lagi-lagi tim aku bisa merebut, dan mencetak poin.

Poin-poin diantara tim aku dan tim Sabilla terus bertambah, hingga pada akhirnya tim aku yang berhasil merebut poin terakhir. Di mana poin itu yang membuat kami menang.

Kemenangan ini membuat tim aku bersorak-sorai, sedangkan tim lawan kecewa. Tapi, ini hanya pelajaran jadi mereka tidak mempermasalahkannya.

“Gais, menang dong!” seruku yang membuat mereka tersenyum.

“Mantap,” sahut Tara yang menampakkan kebahagiannya.

“Geng LorezQ ... Hebat, bisa, juara! Huhah! Pedes kali!” Sorak aku dan teman-teman dengan suara rendah, diakhiri dengan tawa renyah kita.

Kemenangan adalah milik Geng LorezQ, kita harus bisa merebut kemenangan itu agar menjadi milik kita. Tentunya dengan usaha, bukan karena memampangkan nama saja.

Aku, Alya, Tara, Via, dan Devi. Kita semua memiliki ambisi masing-masing untuk mencapai target dan goals kita. Dan, kebetulan kita memiliki goals dan target yang sama. Membuat kita menjadi tim kesatuan yang utuh.

Aku bahagia bertemu dengan mereka yang memiliki ambisi sama denganku, jadi aku bisa berjuang bersama tanpa harus berjuang dengan sebuah kesendirian.

Bagiku ... tim adalah teman seperjuangan, sahabat, dan keluarga yang harus solidaritas tanpa batas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!