Search Part 1

Aku turun dari tangga dengan langkah panjang dan sedikit dipercepat. Langsung menghampiri anggota keluargaku yang sedang bersiap menyantap sarapan di meja yang tingginya hanya di bawah sedengkul.

Aku duduk bersila, menerima sepiring nasi goreng dengan lauk nagget favorit keluarga. Aku menyantap sarapan dengan lahap, tetapi terhenti saat Kak Agnes, Kakak keduaku yang tiba-tiba bertanya.

“Can nanti kamu berangkat sama Kakak. Soalnya Kak Johan mau anterin-“ Ucapan Kak Agnes menggantung karena aku langsung menyerobotnya.

“Mau anterin Kak Tina yekan?” kataku. “Udahlah, Can sebenernya juga bisa berangkay sendiri, nih Cantika punya kaki dua, tangan dua, alhamdulilah masih lengkap,” lanjutku.

Kak Johan menatapku dengan tatapan dalamnya, ditambah wajahnya yang tegas terpampang di wajah tampan Kakakku itu, “Kamu nggak boleh berangkat sendirian! Bahaya!”

Aku memutar bola mata malas dan melanjutkan sarapan dengan rasa malas. Aku selalu heran kenapa Kakak laki-lakiku super protektif, orang tua aku aja nggak seprotektif itu, mau nyebur di empang Babeh Bowo aja boleh.

“Udah Can, nurut aja sama Kak Johan,” tutur Mama sebagai penengah.

“Hm,” sahutku.

“Boni juga nanti berangkat sekolahnya sama Kak Agnes ya,” ujar Kak Agnes, dia memiliki suara lembut, tetapi dia kuat dalam menghadapi apa-apa sendiri.

Aku mau seperti dia, kuat, mandiri, dan cantik. Kak Agnes melahap sarapannya, aku pun juga. Suasana kembali hening, hingga Kak Johan selesai makan, lalu bangkit. Tak lupa bersalaman dengan Papa dan Mama.

Dia mengacak rambut-rambut adiknya dan berlalu pergi. Aku selalu sebal dengan itu, sebab aku bukan bocah cilik lagi yang harus rambutnya diacak-acak.

Aku menyelesaikan sarapan, bangkit, dan tak lupa bersalaman dengan Mama serta Papa. Menuju pintu utama dan memakai kaos kaki serta sepatu hitam.

Boni menghampiriku dan melakukan gerakan yang sama. Hingga Boni yang masih berusia 10 tahun itu berkata, “Kak, nanti kalau semisal aku sudah sebesar Abang Johan, aku bakal gantiin dia buat nganterin Kakak kemana pun.”

Aku menghentikan pergerakan tangan, menoleh, dan menatap bocah kelas 4 SD itu, “Boni kalau kamu udah sebesar Abang Johan, kemungkinan Kakak udah tua banget dong, ya jelaslah kami jadi sopir pribadi Kakak.”

Boni menatapku nyalang, “Kak, tahu nggak apa yang buat aku nyesel?” Boni bertanya padaku, aku menggelengkan kepala.

“Naon yang buat kamu nyesel?” Aku balik bertanya pada Boni.

Boni menghirup napas panjangnya dan berkata, “Aku tuh setiap ngomong sama Kakak selalu nyesel, jawabannya itu loh yang pengen banget aku hiatus dari keluarga ini.” Boni menatap mataku, seakan meratapi mempunyai Kakak sepertiku.

Aku mengelus pundaknya, “Sabar ya, kamu kuat, dan harus kuat punya Kakak seperti aku.” Ekspresiku yang juga ikut meratapi.

Hingga Kak Agnes berdiri di belakang kita, “Ayo nanti telat, kalian nggak mau telatkan?” Aku menatap Kak Agnes dan menggelengkan kepala.

“Janganlah, kalau telat nanti uang jajan diambil Mama lagi!” pekikku yang diangguki Boni.

“Kali ini aku setuju sama Kak Can!” Boni ikut memekik seperti diriku.

“ Ya udah buruan! Jangan ngobrol terus!” tutur Kak Agnes yang kita berdua turuti.

Aku, Boni, dan Kak Agnes memasuki mobil berwarna merah yang dipakai oleh Kak Agnes. Dia sudah kuliah semester 4 di salah satu universitas ternama di Indonesia.

Otak Kak Johan, Kak Agnes, dan Boni terbilang pintar semua, dibandingkan dengan kacang kuaci seperti diriku.

Aku berangkat sekolah diantar oleh Kak Agnes menggunakan mobil. Sesampainya di sekolah, aku langsung memasuki kelas sambil berjalan menari-nari.

“Rasanya dunia ini butuh aku, untuk menari di setiap sisinya, lalalalala.” Aku mendudukkan diri di kursi, menengok Via yang berkutat dengan novel kesayangannya di mana dia sudah membaca sampai 100 kali.

“Can, gimana udah nemuin mereka belum?” tanya Alya yang sudah berada di depan mejaku sambil menyangga wajahnya dengan kedua tangan.

“Mereka siapa?” Aku bertanya balik pada Alya.

“ISTIGHFAR LO!” pekik Alya.

“Lo yang harusnya ISTIGHFAR, jargonnya Bagas kok dipake, lo mau nyusul ke sono!” tuturku yang menakut-nakuti Alya.

“Coba aja kalau bisa,” remeh Alya.

“Ih amit-amit gue mah! Matinya seorang fiksi itu lebih mengsadis, udah gitu dahlah tamat ae riwayat lu!” Aku semakin mengada-ngada.

“Nggak takut, coba aja kalau berani, heh.” Alya menenggakkan badannya.

“Liat aja nanti malem lu disamperin Bagas mampus!” tuturku.

“Nyenyenye, udah ah lanjut bahas yang tadi aja.” Alya mengakhiri perdebatan unfaedah dan kembali melanjutkan pembahasan sebelumnya.

“Gimana sama itu yang katanya si Tara, cowok yang kita intipin waktu itu, ada kabar nggak?” Alya menanyakannya secara beruntun.

“Eum ... mana gue tahu, gue aja belum ke sana,” jawabku yang membuat tangan ringan Alya mudah untuk menjitakku saat selesai menjawab pertanyaannya.

“SAKIT BJIR!” umpatku yang membuat Alya masa bodo. Tiba-tiba Alya menarik tanganku dan membawaku keluar dari kelas.

Kita berjalan di sepanjang koridor, menaiki tangga yang menuju XI IPS, hingga berhentilah tepat di salah satu kelas, yaitu kelas XI IPS 2.

Banyak siswa dan siswi kelas XI IPS yang nongkrong di luar kelas, bahkan di depan pintu.

Salah satu dari mereka menerobos kerumunan dan menghampiri kita berdua yang masih setia berdiri di ambang luar pintu masuk.

“Lo berdua temennya Tara ya?” tanya seorang siswa laki-laki yang sepertinya aku tahu dia siapa.

“Iyups, 100%-90%, jadinya 0% buat lu,” jawabku yang membuatnya terkekeh.

Dia mengulurkan tangan ke arahku, aku menerima uluran tangannya, dia pun mulai memperkenalkan diri, “Kenalin nama gue-“ Ucapannya terpotong karena aku langsung menyerobotnya. “Dodol garut, kan? Di nama kontaknya Tara nama lo itu, benerkan? Iyakan?Kan?”

“Berisik banget sih lu, Can, kasian dia belum selesai ngomong bjir!” pekik Alya yang kupatuhi.

“Ya mangap atuh,” jawabku yang langsung terdiam setelahnya.

“Jadi lo dodol garutnya Tara ya? Iyakan? Benerkan?” tanya Alya yang membuatku melepaskan jabatan tangan dengan teman Tara dan langsung meraup wajahnya dengan tenaga kekesalan.

“GOSAH NASEHATIN KALAU SAMA BOBROKNYA YA ANJIR!” Aku melepaskan raupan tanganku dari wajahnya dan mengelapnya ke rok abu-abu.

“Rusak dandanan kece gue, Can!” oceh Alya yang merapikan kembali dandanannya.

“Aelah gitu doang,” ujarku yang membuat Alya kicep.

“Udah-udah jangan rebutan gue dong,” ujar Doni sebagai penengah di antara aku dan Alya.

“Ew!” seruku yang serempak dengan Alya, mampu membuat beberapa pasang mata yang mengamati kita sedari tadi terkikik.

“Nama gue Doni, salam kenal ya,” ujar Doni pada aku dan Alya. Kupikir namanya benar-benar Dodol Garut, ya, meskipun sebenarnya tahu, tapi masih berharap saja namanya Dodol Garut.

“Salam kenal juga, gue Alya, ini makhluk dari planet lain.” Alya menjawab ucapan Doni, aku pun menganggukinya.

“Eh kalian ke sini mau ngapain?” tanya Doni. “Kita mau lihat calon proyek kita, tapi kayaknya calon proyek kita lagi menuju rumah dubes Algrasus Petrunus Simulukumus Bulus-bulus,” tuturku yang menjawab pertanyaan Doni.

“Emang ada ya?” tanya Doni dengan muka nampak serius.

“Ya kagaklah, lo percaya lagi sama tipikal makhluk dari Turunus Valkonius Abnormaliunus Sikumus-kumus,” sahut Alya yang menjawab pertanyaan Doni.

“PIKS KALIAN BERDUA PRIK! UNTUNG TARA KAGAK EDAN!” Doni menggaruk kepalanya dengan kekuatan gerokanus tenaganus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!