Penawaran

Aku berjalan menuju kelas IPS, di mana sepanjang koridor lantai dua, banyak anggota anak IPS baik dari kelas satu sampai kelas tigs, semuanya keluar, duduk di depan kelas sambil memainkan banyak peralatan kelas sampai melempari pesawat kertas.

Aku yang panas dingin serta gugup akan berhadapan dengan orang yang pernah aku intip saat latihan adalah sebuah ujian besar daripada menghadapi monster kotak hijau.

Hingga langkahku terhenti di depan kelasnya, aku mendengus, mengepalkan tangan kuat-kuat, lalu memberanikan diri masuk ke dalam.

Berjalan ke arah enam cowok yang sedang mojok di sudut belakang kelas mereka. Aku mendekati mereka, membuat mereka menatap ke arahku.

Orang yang pernah meneriakiku saat mengintip pun membalikkan posisi duduk menatap ke arahku, lalu dia mulai bertanya, “Lu siapa? Ada apa? Mau minta foto sama kita?”

Aku mengernyit dan dengan tegas berkata, “Kagak, gosah geer deh.”

“Terus mau naon?” sahut temannya yang memiliki rambut poni terbelah itu.

“Gue mau kasih penawaran bagus ke kalian, tapi nggak ngomong di sini, takut banyak yang denger,” tuturku.

“Ya udah mau di mana, kita samperin,” sahut cowok yang pernah aku intipi waktu itu.

“Ketemuan di depan kelas kalian aja gimana?” tanyaku pada mereka.

“Atau di depan kelas gue, sekalian ketemu geng gue?” lanjutku.

Mereka terdiam, lalu salah satu dari mereka, tepatnya cowok yang aku intipi waktu itu tanpa basa-basi bangkit, dan menyeretku keluar.

Dia mengisyaratkan tangannya untuk memberikan kode pada teman-temannya untuk mengikuti dia. Aku yang di tarik pun hanya bisa mengikuti langkah panjangnya.

“Woi, jalannya jangan cepet-cepet, gue berasa lari nih!” protesku yang tak di dengar olehnya.

Dia pun terus menarikku, berjalan dengan menatap lurus pandangan di depannya, sedangkan teman-temannya hanya mengikuti di belakang aku dan dia.

Aku menoleh ke belakang, menatap teman-temannya yang seperti bodyguard saja, mengawal kita pergi.

Sesampainya di lantai bawah, aku di bawa menuju aula, dan dia melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.

Dia berbalik, lalu mulai membuka obrolan, “Sekarang lo bisa deh jelasin sama kita di ruang aula ini.” Dia pun menyilangkan kedua tangan di dada.

“Okey, sabar.” Aku menggerakan kedua tanganku ke depan.

“Pertama-tama, kenalin dulu, nama gue Cantika, nama lo siapa?” tanyaku pada dia yang tadi membawaku.

“Sandi,” jawabnya singkat. Cowok berbadan tinggi, rambut klimis, alis tebal, badannya yang sedikit berisi, kulit sawo matang, tidak terlalu putih, dan tidak hitam juga.

Semua itu sangat pas, ditambah dia tegas, dingin, dan menggemaskan di mataku, “Astaga!” Aku menonyor kepala sendiri untuk menyadari kegilaan di otakku ini.

“Oke, terus temen-temen lu namanya siapa?” tanyaku pada mereka semua.

Cowok yang memiliki rahang tegas, putih, rambut yang memiliki poni di depannya pun maju, “Nama gue Rio, salam kenal ya.” Cowok itu tersenyum manis.

Lalu cowok yang memiliki tubuh tinggi, putih, blasteran sepertinya, dia ikut maju dan memperkenalkan diri, “Gue Reyga, btw lo anak kelas berapa?” Dia bertanya. Namun, tiba-tiba ada cowok tinggi dibelakangnya yang tadi di kelas menyahuti pun mendorong.

“Minggir-minggir!” pekiknya yang membuat Reyga langsung menjitak si empunya.

“Apaan dah sih lu, Put,” sewot Reyga yang tak terima. Namun, tidak didengar oleh cowok itu, karena dia langsung menampilkan nyengir kuda, dan menyodorkan tangan yang dia juga menarik tanganku secara paksa untuk salaman.

“Kenalin nama gue Putra, cowok paling ganteng, paling baik, paling imut, banyak palingnya daripada nggak palingnya, Anda paham?” Cowok yang bernama Putra itu melayangkan tanya padaku, aku hanya menampilkan cengiran aneh menatapnya, lalu melepaskan salaman antara aku dan dia.

“Nggak, lo ... makhluk duba-duba, aneh, dahlah,” jawabku.

Dia melotot yang sedetik kemudian dia menepuk tangan, loncat-loncat, dan terakhir memekik girang, “ASYIKKK, AKHIRNYA GUE NEMU ORANG YANG GILAKNYA SE-FREKUENSI, OMG! OH NO! OH YA! ASTAGHFIRULLAH!”

Hingga tiba-tiba, salah satu cowok tinggi kurus, dan berkulit sawo matang menjitak kepala Putra, “Sadar Put.”

“Anjir sakit!” pekik Putra.

“Biar lo sadar,” jawab cowok itu dengan santai.

“Nyenyenye, pokoknya sakit anjir!” oceh Putra. “Harus di visum nih gue,” lanjutnya lagi sambil meraba-raba kepala yang bekas dijitak oleh cowok tadi.

“Alay lu Put, udah sana pergi, gue mau narsis juga,” ujar cowok itu pada Putra, membuat Putra mendengus kesal.

Cowok itu melangkah ke depan, memberikan jabatan tangan yang aku terima. Lalu dia mulai memperkenalkan diri.

“Hai cewek, kenalin nama gue Rendy, cowok keren di sini,” ujar Rendy yang merapikan surai rambutnya.

“Iye-iye, salken semuanya,” ujarku. “Terus itu sebiji lagi namanya saha?” lanjutku yang bertanya sambil menunjuk cowok tinggi yang sedari tadi hanya diam saja.

“Nama dia Bara,” ujar Putra. “Ngeri anjir si Bara mah, jangan diusik,” lanjutnya.

“Oh.” Aku terdiam sebentar, lalu kembali menyuarakan diri.

“Em ... gue ke sini, buat ketemu sama kalian itu karena ada sesuatu yang pengen gue omongin,” tuturku yang membuat mereka semua menatap ke arahku.

“Apa?” sahut cowok yang bernama Sandi.

Aku mendongak, menatap wajahnya, lalu kembali bersuara, “Gue mau menawarkan diri ke kalian geng CaPaMud yakan? Buat gabung sama geng LorezQ dalam ajang dance, karena gue rasa dance kalian bagus banget, unik, jadi gimana?”

“Jadi lo nemuin kita cuman karena mau gabungin geng?” tanya Sandi yang menatapku dengan tatapan menyelidik, ditambah dia maju ke depan, mendekatiku selangkah demi selangkah.

Hingga tepat dia di depanku, aku menjawab, “Iya.”

“Ck, lo tahu nggak, kalau tujuan lo itu cuman buang-buang waktu aja?” ujar Sandi yang sedikit sarkas.

“Gue cuman mau ngajakin kalian aja, jadi gimana?” tanyaku lagi untuk memperjelas jawaban.

“Nggak jawabannya,” ujar Sandi dengan tegas, membuat Putra maju, dan menepuk pundaknya.

Putra hendak bicara, tetapi Sandi memberikan kode pada mereka semua untuk pergi lebih dulu.

Mereka langsung pergi dari sana, Putra pun menatapku sekilas, lalu pergi berlalu begitu saja. Meninggalkan aku dan Sandi di aula sekolah.

“Lo jangan berharap banyak deh ya sama kita, karena kita nggak akan tertarik buat gabung sama geng aneh lo itu!” cicit Sandi yang membuatku naik darah, tetapi aku mengingat misi yang belum selesai pun hanya bisa diam, dan membungkam mulut laknat ini.

“Kita emang welcome sama siapa aja, tapi say sorry kalau buat gabung sama geng lain, apalagi gengnya itu milik lo, anak IPA,” lanjut Sandi yang membalikkan badan membelakangiku, aku menggenggam tangan erat-erat yang sudah menahan amarah sejak tadi.

Sandi melambaikan tangannya dari posisi membelakangiku, “Bye Cantika.” Lalu Sandi berlalu pergi begitu saja, meninggalkan aku yang masih terkepung dengan amarah.

“Kampret, awas aja lu, gue bakal usaha lebih keras lagi buat capai tujuan penggabungan geng ini!” Aku menyumpah serapahi dengan suara yang kecil, seperti bisikan.

Lalu dengan langkah panjang, aku pun pergi menuju kelasku kembali. Meskipun amarah memang masih mendominasi, tapi tujuanku tidak boleh hilang, dan menyerah begitu saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!