Geng LorezQ berkumpul di belakang sekolah, termasuk ada aku di sana. Aku dan mereka berempat memakan cilok Mamang Yeye, minumannya hanya ada teh dalam kemasan botol.
Aku memakan satu per satu cilok yang dimasukkan ke dalam mulut, rasa pedas menyeruak dalam indra perasaku.
“Gimana kemaren, Can? Jawaban mereka apa?” tanya Tara padaku secara tiba-tiba.
Aku menatap Tara, menggelengkan kepala, “Nggak.” Wajah yang tadinya pedas berubah jadi kesal sekaligus berpikir kembali gimana meluluhkan mereka.
“Kok bisa sih?” tanya Devi yang kini menyerobot. “Bukannya nggak ada gitu yang nolak buat masuk geng kita yah?” lanjut Devi.
“Tahu nih, geng mereka berarti sombong,” celetuk Alya.
“Mungkin mereka belum kenal kita,” sahut Via yang ikut nimbrung kali ini.
“Mungkin juga sih gitu,” jawabku dengan suara lirih. “Terus gue harus gimana nih gais?” lanjutku yang bertanya pada mereka.
Devi, Alya, Tara, dan Via saling melempar tatapan, entah arahnya ke aku atau ke sekitar. Tatapan kebingungan membuat aku dan geng LorezQ menghentikan acara makan.
Alya tiba-tiba berujar, “Gini aja deh, emang rada gila sih idenya, tapi coba aja dulu yekan?!” Aku menatap penasaran Alya.
“Jadi idenya tuh, kita berlima ketemu sama geng mereka, ajak battle dance, gimana?” Aku seketika membinarkan mata.
Ide dari Alya tidaklah buruk, bisa aku coba dengan semua teman-temanku. Aku mengangguk dengan cepat, “Edi bagus Al, nanti yang menang boleh kasih syarat apa aja, dan buat yang kalah harus ikutin apa kemauan si pemenang.”
“Ide woi!” desis Alya yang hanya bagaikan angin lalu.
“Gue setuju sih,” sahut Tara.
“Sama sih gue juga,” tutur Devi.
“Kalau lu Vi?” tanyaku pada Via yang saat ini menegak teh dalam kemasan botol miliknya.
Saat Via sudah selesai meminumnya, dia menatapku, lalu tanpa mengeluarkan suara dia menganggukkan kepala.
“Vi lo kan dah di isi bensin tuh pas minum teh, ngemeng aja napa sih,” ujar Alya yang gemas dengan sikap Via, di mana dia selalu irit bicara.
“Irit,” jawab Via yang membuat Alya gondok setengah mati, terlihat dari postur tubuh Alya yang memanyunkan bibirnya dan bersidekap.
Aku pun mau tidak mau harus mengeluarkan suara, “Udah napa aelah, jangan diributin, mending ributin gue aja.”
“Nazong Can,” celetuk Alya. “Banyakin Istigfar lu, inget ajal ada di mana-mana, nggak liat-liat tempat,” lanjut Alya yang memberi nasihat ceritanya.
“Ngapain nyari ajal di mana-mana, tuh, di rumah depan gang gue, ada tukang martabak lima rebuan namanya ajal, kagak kemana-mana, mangkalnya di situ,” tutur Tara membuat Devi, aku, dan Via tak kuasa menahan tawa.
Aku, Devi, dan Via dibuat sakit perut karena Tara membalas ucapan Alya begitu polos sekali.
“A – J – A – L MAUT, WOI!” amuk Alya yang membuat suasana semakin receh, aku dan kedua temanku tertawa, menyaksikan Alya dan Tara yang masih mempeributkan masalah sesepele itu.
“Ya lu harusnya pake kata mautnya juga dong tadi, lo kira IQ gue sekelas Einstein apa? Yang bisa nebak pikiran sebuah apel macam lu!” omel Tara yang tak terima dengan amuknya Alya.
“Dih lu kok sewot, nih ya di mana-mana semua orang pasti tahu apa itu ajal, emangnya elu, gue ngomong kemane, lu kemane, gaje bat si Bambang satu ini,” desis Alya yang membuat Tara melotot.
“Enak aja, nama gue dah bagus-bagus ye, Tara Grande, gosah main ganti-ganti jadi Bambang ye Rurudiyanah,” ujar Tara.
“Enak aja nama gue bukan Rurudiyanah, tapi Rururari!” pekik Alya.
“Apaan dah Rururari?” Kini aku ikut menyahuti ucapan Alya dengan sebuah pertanyaan ambigu satu ini.
“Rururari itu Turu Lali,” jelas Alya yang diakhiri dengan kekehannya.
Aku menggelengkan kepala, “WEDAN KABEH!”
“Lu aja ya sama mereka berdua, gue sama Via masih normal,” sahut Devi.
“Lu sama Dep, cuman kadar gilanya elu masih jaim-jaim gitu, kek mau muncul tapi malu-malu.” Ucapanku membuat Devi menjitak kepala, katanya agar aku cepat sadar.
“Udah napa sih, capek, jadi laper lagi,” ungkap Tara yang kembali memakan cilok yang sudah dingin, aku pun juga kembali memakan cilok itu sampai habis.
Tak lupa meminum teh dalam kemasan botol hingga setengah botol, lalu kembali ke perbicangan sebelumnya.
“Jadi kalian semua udah fiks ya?” tanyaku sekali lagi, mereka semua mengangguk. “Oke deh kalau gitu, besok gue ngomong sama Sandi, kalian mau ikut or nggak?” lanjutku yang melempar tanya pada keempat temanku.
“Ikut!” teriak Devi yang diikuti oleh semuanya.
“Nanti besok abis jam pulang sekolah, kita ke kelas mereka,” tuturku yang diangguki mereka.
“Ada cogannya nggak?” tanya Alya padaku, aku sedikit mengingat satu per satu.
“Ada sih keknya,” jawabku yang mengingat wajah mereka yang menghambur tak jelas diingatanku.
“Cowok mulu lo mah.” Tara mengusap wajah Alya hingga gadis itu memekik kencang sekali.
“TARA! IH BIKES BANGET SEH!” Alya mengulap bekas tangan Tara di wajahnya.
Tingkah mereka membuat aku, Devi, dan Via kembali mendapatkan hiburan gratis. Beginilah keadaan persahabatan kami, tidak ada warasnya. Sekalinya waras yaitu ketika ujian, ketika lomba, atau ketika berhadapan dengan Via.
“ARGHHH BAU CILOK MUKA GUE!” omel Alya yang membuatku semakin tertawa terpingkal-pingkal.
“Astaghfirullah bau cilok dong!” Aku kembali tertawa, melihat Alya yang sibuk dengan bau cilok di wajahnya.
Dia menghabiskan tisu yang berada di sakunya sampai benar-benar habis, aku tak kuasa memegang perut.
“Mules gue, aduh mules!” pekikku yang malah disahuti oleh Alya. “Wc banyak Can, gosah laporan,” tutur Alya yang membuatku semakin terkekeh.
“Heran gue tuh sama kalian, ribut mulu, akur napa sih, kalian tuh otak kalian makin miring 30° nantinya,” ujar Via yang membuat aku dan ketiga temanku lainnya hening, menyimak bercandanya anak pinter.
“Eeee monmaap Vi, gue gak paham, kapasitas otak gue cuman 2 per 16 GB doang, jadi agak gimana gitu.” Aku menggaruk-garuk kepala.
Alya pun mengangguk, “Gue juga Vi, maap banget, loading otak gue gak se-5G elu gitu.” Devi dan Tara mengangguk.
“Gue 4G doang sih,” tutur Devi.
“Gue 3G deh,” tutur Tara.
“APA-APAAN LU TAR, LU JARINGAN E+!” pekik Alya yang membuat Tara menjitak dan mendarat mulus di kepala Alya.
“Gue gak egeb banget ya!” jelas Tara yang makin membuat suasana heboh.
Alya menyahutinya dengan umpatan dan makian karena jitakan yang diberikan Tara membuat sakit kepalanya.
Aku hanya bisa terus tertawa melihat kelakuan teman-temanku yang sulit sekali untuk diajak waras seratus persen, mungkin mereka memang tidak ditakdirkan waras bersamaku, melainkan waras bersama duba-duba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments