Merasa kasihan dengan suaminya, Nayla terpaksa membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Rein masuk. Namun, pria itu sudah tidak berada di sana. Entah kemana perginya, atau mungkin Rein masuk ke kamar mandi yang lain, pikir Nayla.
"Sudahlah, lebih baik aku tidur saja!" Nayla menutup pintu kamarnya kembali dan tak lupa menguncinya. "Akhirnya tidak ada malam pertama seperti yang aku bayangkan selama ini," gumamnya dalam hati.
***
"Kau menggangguku, Mark!" Rein menjatuhkan bo-kongnya di sofa yang berada di ruangan pribadinya. Ya, saat ia hendak masuk ke kamar dan berniat memberi pelajaran pada Nayla, Mark memanggilnya dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang penting padanya.
"Maafkan saya, Tuan. Sepertinya malam ini anda harus menunda malam pertama anda." Mark memberikan ponselnya pada Rein, menunjukkan sebuah rekaman video.
"Apa ini, bukankah kau bisa menanganinya? kau tahu bukan kalau aku--"
"Kita harus pergi ke markas sekarang, salah satu anak buah saya sudah mendapatkan informasi tentang wanita yang anda cari selama ini," lirih Mark. Ia tidak mau membuat Rein kembali terbawa emosi karena membahas masa lalu di hari pernikahannya.
Rein segera bangkit dari duduknya dan meraih jasnya. "Kita pergi sekarang dan jangan buang waktu!" tegas Rein berjalan mendahului Mark.
"Syukurlah, dia tidak marah seperti biasanya," gumam Mark mengusap dadanya.
"Sampai kapan kau akan berdiri di sana, Mark!" teriak Rein.
"Ya, Tuan! Saya segera ke sana!" Mark yang terlalu asik dengan lamunannya sampai lupa kalau saat ini sedang ada dalam misi penting.
Mereka berdua sudah sampai di sebuah tempat yang terlihat begitu kumuh dan juga kotor. Tercium bau anyir darah yang begitu menusuk hidung keduanya. Darah segar yang baru saja menetes semakin lama semakin deras dan membasahi lantai kusam tersebut.
Tap!
Tap!
Tap!
Suara langkah kaki Rein dan beberapa anak buahnya terdengar menggema. Pria itu berjalan menelusuri lorong gelap yang hanya di terangi sedikit cahaya.
"Selamat datang, Tuan."
Rein berdecak kesal. Ia paling tidak suka jika sahabatnya memanggilnya dengan sebutan tuan, terlihat tua sekali. Padahal usianya baru menginjak kepala tiga!
"Apa mereka membuat masalah lagi, Leon?" tanya Rein. Ia mengambil satu batang rokok dan menyalakannya.
"Tidak! Hanya saja sudah dua hari ini mereka berdua mogok makan. Di tambah lagi, sepertinya wanita itu sedang sakit," sahut Leon.
Rein menghembuskan asap rokoknya, lalu membuangnya ke lantai. Ia melepas kaos tangannya dan duduk tepat di hadapan mereka berdua, memandang remeh dengan tersenyum kecut.
"Keras kepala sekali!" Rein terus mengamati wajah tahanannya. Pria itu merasa kalau wajah keduanya sangat mirip dengan seseorang yang sangat ia kenal. Namun, ia membuang jauh-jauh pikiran bodohnya itu. "Apa hanya karena ini kau memanggilku kemari?!"
"Mark sudah memberitahukan semuanya pada mu, bukan?" Leon melempar sebuah berkas tepat ke hadapan Rein. "Aku yakin kau belum rabun, jadi baca dan pahami. Karena aku malam menjelaskannya padamu. Apalagi tanpa embel-embel bonus besar!"
Klek!
Rein mengambil senjata yang ia simpan di dalam saku celananya dan mengarahkannya pada Leon. "Kau sudah bosan hidup rupanya? Pilih mana, kepala atau jantung, hum?!"
"Eh aku hanya bercanda, kenapa kau serius begitu, Rein." Leon menelan saliva nya dengan susah payah. Manusia kejam yang berada di depannya ini memang tidak bisa di ajak bercanda sama sekali.
Rein mulai membuka berkas tersebut dan membacanya dengan teliti. Namun setelah itu ia membuangnya.
Srak!
Raut wajah pria kejam tersebut berubah seketika. Ia sedikit menyunggingkan senyuman tipis, saking tipisnya Leon sama sekali tidak bisa melihatnya. "Kau yakin jika informasinya akurat? Kau tahu bukan apa akibatnya--"
"Aku menyelidikinya langsung, bodoh! Jadi sudah bisa dipastikan jika informasi tersebut akurat!" jelas Leon dengan bangga.
"Jadi ini alasanmu pergi tanpa kabar beberapa bulan ini?" tanya Rein, bangkit dari tempat duduknya lalu mendekati tawanan yang berada di balik jeruji besi dengan rantai yang mengikat kedua kaki dan tangannya.
"Menarik! Jadi mereka memiliki satu orang putra dan satu orang putri, begitu? Aku baru tahu, seorang pembunuh mempunyai keluarga juga rupanya!" Rein berusaha menahan amarahnya. Tentu saja jiwa yang haus darah membuatnya ingin menghabisi tawanannya tersebut. Namun, ia tahan sebelum menemukan putri mereka dan menyiksanya.
"Jangan terlalu kejam, Rein. Kasihan mereka! Aku akan berusaha menemukan gadis itu dan menyerahkannya padamu," sahut Leon menepuk pundak sahabatnya tersebut. "Tapi sebelum itu, aku punya hadiah kejutan untukmu," bisik nya lirih.
"Hadiah?"
Leon menganggukkan kepala lalu mengajak Rein ikut bersamanya. Dan kini mereka berdua sudah berada di depan sebuah pintu dengan cat berwarna hitam pekat. "Penghianat yang sudah membawa kabur peti barang kita yang dikirim dari Rusia, ada di ruangan ini! Aku yakin kau tidak akan menolak dan ingin segera bermain-main dengannya, bukan?" setelah mengatakan itu Leon meninggalkan Rein dan membiarkan pria itu bersenang-senang.
"Tuan, apa anda yakin ingin melakukannya sekarang. Bagaimana kalau nona mencium aroma darah di tubuh anda dan--" kalimat Mark terhenti saat Rein menatapnya dengan tatapan membunuh. Kalau sudah seperti itu, Mark tidak bisa mencegahnya.
Ceklek!
Pintu tersebut terbuka.
Seorang pria setengah baya tengah terkapar lemas, karena sejak tadi anak buah Rein sudah terlebih dulu menyiksanya dan memberinya pelajaran. Tapi, pria itu tetap tidak mau mengatakan apapun pada mereka.
Bugh!
Bugh!
"Arghh, tolong maafkan aku, Tuan," rintih nya saat mendapat beberapa pukulan tepat di wajah dan perutnya. Darah segar keluar dari sudut bibir pria malang tersebut.
Rein berlutut dan mendekatinya lalu menarik dagunya sedikit kuat. "Katakan, siapa yang sudah menyuruhmu untuk menusukku dari belakang!"
"Ti-tidak ada, Tuan. Aku melakukannya karena butuh uang untuk pengobatan istriku."
"Sebanyak itu? Kau pikir aku percaya, hah?!"
Rein kembali melayangkan pukulan padanya, tanpa belas kasihan sama sekali. "Aku benci pembohong!" kata Rein. Ia mengambil sebuah pisau kecil kesayangan nya dan mulai menya-yat kulit wajah pria itu dengan perlahan.
"Shh, sa..kit Tuan..." desisnya menahan rasa sakit luar biasa ditambah lagi Rein mengambil air garam dan meneteskannya ke lukanya.
Mendengar rintihan pria tersebut, seakan menjadi kepuasan tersendiri bagi seorang Reinhard. "Masih tidak mau mengaku?!"
"Tidak akan pernah! Sampai kapanpun aku--"
Dor!
Dor!
Dua tembakan Rein lepaskan tepat mengenai dada dan kepala pria tersebut hingga tembus ke belakang. Darahnya mun-crat dan mengotori kemeja putih milik Rein. "Bereskan semuanya, Mark!" perintah Rein dan beranjak dari sana.
Sebelum kembali ke mansion, Rein membersihkan tubuhnya terlebih dahulu dan mengganti pakaian dengan yang sudah di siapkan oleh Leon sebelumnya.
"Aku sudah tidak sabar ingin memberi hukuman pada wanita ku alam ini!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah kan ku nilang juga apa,baru aja nikah udah ada bau2 masalalu dan Pelakor,Ckk..😌😌
2024-07-26
0
Eka Sinta
apa putri dari keluarga pembunuh itu adalah nayla ya thorrr
2024-06-29
1
Yunerty Blessa
hati² saja hukuman mu Rein....
2024-06-02
1