Kisah Pria Sigma

Kisah Pria Sigma

1. Masa kecil

Anak kecil usia lima tahun itu tengah duduk jongkok dan tersandar di sebuah pohon besar. Dia memegangi tas lusuh bermotif angka-angkanya. Baju putihnya terlihat lusuh dan kusam, padahal sekarang adalah hari pertamanya masuk sekolah, sebab itu baju bekas yang dibelikan ayahnya di pasar loak yang banyak menyediakan pakaian Beje.

Celana hijaunya yang kependekan ada koyak sedikit karena juga merupakan celana bekas yang dibeli harga murah. Kaos kaki dan sepatu itu juga bekas. Ukuran sepatunya agak lebih besar dibandingkan ukuran kaki, jadi anak kecil itu mesti memakai dua kaos kaki yang dililit karet karena kaos kakinya kendur.

Peci yang dipakainya juga kebesaran, atau bisa jadi kepalanya yang masih kecil. Orang dewasa pecinta anak kecil akan menaruh rasa cinta dan kasihan sekaligus melihat anak kecil itu. Tetapi anak seusianya akan menaruh rasa tidak respect kepadanya dan malah akan menjadikan anak kecil itu sebagai bahan bully-an.

Anak kecil itu melihat siswa-siswi lain yang sedang asyik berkumpul di tengah lapangan sekolah. Orangtua-orangtua mereka masih memegangi anak-anaknya yang bandel. Penampilan para siswa-siswi baru itu sungguh rapi, para wali pun terlihat berwibawa dengan batik yang mereka kenakan.

Sebentar lagi waktunya pembagian kelas bagi para murid baru di Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Pagi ini Kepala Sekolah menyuruh semua murid berdiri dan berbaris dengan rapi di lapangan sekolah dan memerintahkan agar semua para wali murid minggir dari lapangan.

Para wali murid pun melenggang menuju keluar gerbang sekolah. Di antara mereka ada yang beranjak pulang dan ada juga yang duduk ngobrol di parkiran. Ada seorang bapak-bapak pergi ke arah kantin, sembari menunggu anaknya pulang, disempatkannya ngopi dulu, kebetulan ada kawan sekampungnya bisa diajak sebagai teman ngobrol.

Si anak kecil masih tersandar. Tadi pamannya dari pihak ibu mengantarnya ke sekolah, tapi pamannya langsung bergegas pergi bekerja, meninggalkannya sendirian. Semua siswa siswi sudah berbaris rapi di lapangan. Di hadapan mereka ada Kepala Sekolah, para guru, dan staf. Sebentar lagi Kepala Sekolah akan memberikan kata sambutan.

Anak kecil itu bernama Uzlah. Ayahnya memberikan nama tersebut. Tepat di hari Minggu kemarin Uzlah mendapat kabar gembira dengan kelahiran adik laki-lakinya bernama Rian. Namun di hari yang sama Uzlah juga mendapat kabar buruk tentang kematian ayahnya tercinta.

Sekarang dia menjadi seorang yatim, di usia yang amat kecil dia harus kehilangan seorang sosok ayah yang seharusnya memberikan penghidupan kepadanya, pengajaran, pendidikan agama dan akhlak, memberikan bimbingan, kasih sayang, namun itu semua tidak bisa Uzlah dapatkan.

Sekarang ibunya masih berada di rumah sakit bersalin. Beliau belum bisa pulang karena kondisi fisiknya belum pulih total. Sementara di rumahnya, pihak keluarga dan kerabat dari sebelah ayah dan ibunya sedang berkumpul, menerima setiap tamu yang ingin takziah.

Seharunya sekarang Uzlah didampingi oleh ayah atau ibu, tetapi keadaan membuat anak kecil yang malang itu tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti apa yang dirasakan oleh para siswa dan siswi seperti sekarang ini. Matanya masih merah dan sembap karena dari kemarin tak henti menangis.

Beberapa hari yang lalu ayahnya berjanji akan mengantarnya pergi di hari pertama masuk sekolah. Uzlah ingat janji ayahnya. Kenyatannya sore kemarin dia melihat ayahnya berada di pemakaman. Beberapa pihak keluarga sempat melarang agar anak kecil itu tidak dibawa kesana, tetapi Uzlah terus meronta dan menangis supaya tetap bisa melihat ayahnya.

Uzlah masih duduk tersandar. Anak sekecil itu akan terus bertarung dengan waktu, memaksanya menjadi pria dewasa di usia anak-anak. Saat dewasa Uzlah mengerti, kenapa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ditinggal oleh ayahnya sebelum lahir dan ditinggal ibunya ketika masih kecil. Peristiwa itu tidak mungkin kebetulan, ya Allah ingin mendewasakan Nabi-Nya.

Sebab, realitanya banyak orang yang terlambat dewasa karena terlalu berlebihan berada dalam kasih sayang orangtua. Tidak sedikit masa kekanakannya masih belum bisa berakhir disebabkan orangtua yang terlalu memanjakan anak-anaknya.

Semoga atas kepergian ayahnya ini, Uzlah kelak menjadi pribadi yang lebih dewasa, tumbuh dan berkembang menjadi pria tangguh yang tidak selalu mengandalkan harta orangtua, serta dapat mencapai kesuksesan dalam mencapai semua cita-cita.

Uzlah masih saja tersandar, sekarang dia terpekur, menekuk lutut.

Tiba-tiba ada seorang anak kecil lain yang menghampirinya. Anak kecil ini berpakaian bagus dan rapi. Peci, baju, celana, kaos kaki, dan sepatunya semuanya baru. Tubuhnya bersih. Dia terlambat datang. Anak kecil itu turun dari sepeda motor. Ayahnya mengenakan seragam ASN.

“Ayo, cepat! Kawan-kawan sudah kumpul semua,” teriak anak kecil itu dengan semangat.

Uzlah menengadahkan wajahnya. Dia melihat senyuman anak kecil itu. Kemudian anak kecil itu menarik tangan Uzlah dengan paksa sehingga Uzlah langsung tegak berdiri karena tarikan itu sangat kuat sekali.

Anak kecil itu menyeret tangan Uzlah dengan penuh semangat, setelah berpamitan dengan ayahnya, dia berjalan ngebut bersama Uzlah.

“Siapa nama kamu?”

“Zahid.”

Lantas keduanya masuk ke barisan yang paling belakang. Ada seorang guru wanita yang menggiring mereka. Sang guru tersenyum renyah. Dia pikir, dua murid ini bersaudara sebab wajahnya hampir mirip. Hanya saja sang guru tidak begitu percaya, sebab penampilan keduanya tampak berbeda.

Setelah memberikan pidato singkat, Kepala Sekolah lalu memerintahkan kepada seroang guru untuk memanggil nama-nama siswa yang akan diberitahukan kelas mana yang akan menjadi tempat mereka belajar.

Bu Mardiyah naik ke podium lalu menyebut nama-nama siswa untuk ditempatkan di kelas 1.A. Semua nama disebut sampai tiba kelas 1.D. Beliau terus menyebut nama-nama siswa-siswi.

“Uzlah, silakan masuk kelas 1.D. Widianto. Yuniarti. Dan terakhir Zahid.”

Mendengar itu, Zahid langsung membalik badannya, memeluk Uzlah dengan erat.

“Nanti kita duduk sebangku!” teriak Zahid.

***

Pagi ini di kelas 1.D.

“Ayo duduk di belakang saja!” perintah Zahid.

“Tidak. Aku maunya di kursi paling depan sini.” Uzlah tak beranjak dari kursinya.

Zahid terus merayu Uzlah dengan  mendorong-dorong badannya. Tapi Uzlah tetap tidak mau menuruti permintaan Zahid. Sampai akhirnya Zahid menyerah, beringsut meninggalkan kursi depan menuju kursi belakang.

Uzlah duduk di samping Masagus. Masagus yang berbadan tambun karena hobi makan beberapa kali mengolok Uzlah.

“Ini celana adikmu, ya? Ha ha.”

Budi dan Toni yang duduk tepat berada di belakang mereka juga ikut bersuara.

Budi mengolok, “Nah itu pasti pakai peci bapaknya. Ha ha ha.” Budi ngakak sambil memegang kepala.

Toni mendorong badan Uzlah sambil mengumpat, “Nah itu pasti sepatu kakaknya yang sudah SMP. Ha ha ha.”

Siswa di sekitarnya cekikikan sampai akhirnya Ibu Emilia sang wali kelas tiba. Ibu Emilia masih muda, usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya melankolis dan senyumnya kalis. Selama dua semester ke depan beliau yang menjadi wali, pengajar sekaligus pendidik utama di kelas ini.

Beliau mempersilakan murid-murid barunya memperkenalkan diri di depan kelas, berdasarkan abjad, dimulai dari Ahmad Bustomi sampai terakhir Zahid. Zahid duduk sendirian karena jumlah siswa siswinya berjumlah ganjil yaitu tiga puluh lima. Dia duduk di kursi paling belakang dan paling pojok sebelah kanan.

Saat giliran Uzlah memperkenalkan diri, dia menangis, tadi teman-teman sebelum dia memperkenakan nama ayah dan ibu serta pekerjaannya. Anak kecil itu sedih ketika harus memperkenalkan ayahnya di hadapan teman-teman kelas. Ibu Emilia tak sampai hati melihat Uzlah, beliau tersedu sedan, matanya berkaca-kaca.

“Ayah kemarin meninggal.”

Uzlah tak henti menangis.....

Ibu Emilia beranjak dari kursinya lalu menghampiri Uzlah yang sedang menutup wajahnya. “Uzlah silakan duduk.”

Ibu Emilia merangkul Uzlah dengan erat, membawanya sampai duduk di kursinya. Benar-benar tak sampai hati guru innocent satu ini. Meski belum punya anak karena belum menikah, entah mengapa rasa keibuannya timbul begitu saja, hatinya seolah merasakan bagaimana jika beliau adalah ibu dari anak ini dan bagaimana jika beliau menjadi janda.

Setelah acara perkenalan selesai, Ibu Emilia membagikan jadwal pelajaran kepada siswa-siswinya. Hari ini belum belajar normal, mungkin besok baru bisa. Jadi pagi menjelang siang ini beliau menyudahi kelasnya. Beliau pamit.

Uzlah keluar dari kelas, lalu setelah tiba di lapangan dia melihat ke arah pagar sekolah. Semua orangtua murid berjejer dan berdesakan di sekitar pagar. Mereka menunggu dan mencari anak-anak mereka.

Uzlah menunduk, kemudian menyingkir dari keramaian siswa. Dia menyandarkan badannya di dinding. Dia tak lagi mengawasi mereka, ya karena ibu dan ayahnya tidak mungkin ada di antara mereka. Ibunya sedang berada di rumah sakit, sementara ayahnya telah tiada.

Anak sekecil itu, seharusnya tertawa riang bahagia seperti yang lainnya, sekarang justru tersandung dalam sedu sedan, merengkuh kesedihan setelah ditinggal ayah tercinta, hanyut dalam tangis, tenggelam dalam duka.

Zahid si kecil pergi ke arah pohon besar. Dia tidak menjumpai Uzlah di sana. Setelah minta izin sebentar dengan kakaknya yang akan mengantarnya pulang, Zahid kembali bergegas ke arah sekolah, masuk ke gerbang, dan mengerling ke sekitar lapangan sekolah. Dan dia mendapati Uzlah tengah tersandar lesu di depan salah satu kelas. Dia melewati siswa-siswi, badannya nyaris bertabrakan.

“Ayo kita pulang!” ajak Zahid sambil memegang tangan Uzlah.

Kakaknya Zahid mengantar Uzlah terlebih dahulu, lalu pulang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!