Zahid ngamuk....
Dia meronta-ronta di hadapan Pak Bambang yang sedang duduk di kursinya, supaya dimasukkan ke kelas 2.D. Zahid menepuk-nepuk meja. Tidak terima dimasukkan ke kelas 2.A.
“Aku tidak mau di kelas ini, Pak!”
“Nak, nama-namanya sudah dipilih. Kamu harus ikuti aturan sekolah!”
“Pak, nanti Uzlah dibully di sana. Kasihan dia.”
“Di sana ada Ibu Emilia dan Ketua Kelas. Dia akan aman. Tenang saja.”
“Agghhrr... Pak Bambang tolonglah. Pindahkan aku ke sana. Atau pindahkan Uzlah ke sini.”
“Zahid,” ujar Pak Bambang dengan tenang, “Duduklah di kursimu sana, Nak. Namanya tidak bisa diubah lagi.”
Lantas Zahid merajuk lalu keluar kelas, sampai dia tersandar di dekat gerbang sekolah. Penjaga sekolah keheranan melihat anak kecil itu sendirian dan memberengut jengkel. Zahid tak peduli dengan teguran penjaga sekolah.
Sampai akhirnya Ibu Emilia mengajaknya bicara dan merayunya agar kembali ke kelas. Selama kurang dari setahun ini Ibu Emilia tahu bagaimana kedekatan Zahid dan Uzlah ketika di kelas satu kemarin. Beliau paham apa yang dirasakan Zahid sekarang ini.
“Nanti Ibu ajukan supaya Zahid masuk ke kelas 2.D,” rayu Ibu Emilia.
Zahid terkejut senang. “Nian bu?”
Beliau mengangguk takzim. Wajahnya tersenyum.
Lantas Zahid berlari lalu masuk ke kelas 2.A dan mengambil tasnya, lalu berpamitan sebentar dengan Pak Bambang dan menuju kelas 2.D. Oh, benar saja Zahid memilih duduk tepat di samping kursinya Uzlah, di deretan kursi yang ada di tengah.
Selama satu tahun ke depan dan ditambah satu tahun lagi selama kelas tiga, keadaan tetap sama, sama seperti kelas satu dulu, tidak banyak perubahan. Uzlah selalu unggul di setiap mata pelajaran, terkecuali olahraga.
Berhitungnya cepat, nilai bahasanya ciamik, mengerti masalah akidah, nilai akhlaknya tercermin dari sikapnya, mematuhi nilai-nilai Pancasila sebagai implementasi dari setiap apa yang dipelajarinya ketika pelajaran PPKN. Semuanya top.
***
Suatu pagi di kelas 4.D pelajaran IPA.
“Itulah penjelasan mengenai planet-planet di tata surya,” pungkas Ibu Fatimah.
Sekonyong-konyong Zahid mengangkat tangan. “Bu!”
“Ya ada apa, Zahid, ada yang mau ditanyakan?”
“Saya mau protes, Bu. Penjelasan pada buku itu tidak update. Pluto bukanlah planet.”
“Bisa Zahid jelaskan kenapa Pluto bukan disebut planet!”
Zahid berdiri, sebelumnya dia menghamburkan pandangan ke sisi kiri dan kanan, lalu kembali mengawasi Bu Fatimah.
“Pertama, Pluto ukurannya terlalu kecil untuk sebuah planet, cuma delapan belas persen dari ukuran Bumi. Kedua kekuatan gravitasinya lemah, Bu, hanya 0,58, nah minimal gravitasi planet itu 3,7. Ketiga, jaraknya terlalu jauh dari matahari sehingga tidak begitu terlihat.....
Aku juga mau protes soal penjelasan Ibu waktu itu tentang heliosentris. Aku lebih yakin bahwa pusat jagat raya adalah Bumi karena kata agama kita bulan dan matahari itu berada pada garis edarnya, jadi otomatis teori geosentris lebih dekat pada kebenaran.”
Pernah suatu ketika pas pelajaran IPA lagi.
Zahid bertanya, “Bu, kenapa hujan bisa turun? Siapa yang mengatur semua itu?” Di lain kesempatan dia juga bertanya, “Kenapa sepeda roda dua itu bisa tetap bergerak dengan keseimbangan, padahal rodanya hanya dua lho Bu. Kok bisa ya?” Pernah juga, “Bu, bagaimana bisa benih kecil seperti benda mati itu kalau ditaruh di tanah dan disiram air, terus bisa tumbuh akar dan batang lalu berbuah, kok bisa Bu?”
Di lain kesempatan Zahid juga bertanya, “Kenapa TV bisa nyala ya? HP juga, kok kita bisa berbicara dengan orang yang jauh di sana? Hebat ya.” Setiap guru yang menerima pertanyaan dan pertanyaan dari Zahid membuat mereka bingung, kenapa anak kecil itu begitu banyak bertanya.
Sempat Kepala Sekolah dan beberapa guru memanggil Zahid supaya masuk ke ruang guru, lalu mengajaknya bicara guna mengetahui kepribadian, kondisi mental dan otaknya. Kira-kira bocah ini ada kelainan atau tidak.
Namun jika dilihat dari nilai rapornya selama sekolah, Zahid selalu masuk sepuluh besar, memang nilai Matematika dan beberapa pelajaran lain jelek, tapi umumnya nilainya bagus-bagus.
Apalagi ketika praktik di luar lapangan, seperti lari, sepak bola, basket, badminton, renang, bersepeda, apapun yang berkaitan denga psikomotoriknya, semuanya mantap jiwa. Bukan buatan. Tidak usah diragukan.
Pas pelajara Sejarah, Zahid memberi komentar, “Indonesia tidak dijajah tiga ratus lima puluh tahun. Itu hanya anggapan Belanda saja untuk merendahkan bangsa kita. Alasannya sejak masuknya mereka di sini, Pemerintah kolonial tidak sepenuhnya berdiri begitu saja.....
Kita tetap melakukan perlawanan. Kita tetap berperang. Kita dijajah cuma hitungan puluhan tahun saja. Itu pun tidak seluruh wilayah Indonesia berhasil seratus persen dikuasai oleh Belanda....
Lagi pula di lain hal, kita harus berterimakasih juga pada mereka, banyak peninggalan mereka yang sampai sekarang masih bisa dimanfaatkan. Karena mereka juga kota-kota besar di Indonesia sedikit lebih berkembang.”
Puncaknya ketika kelas enam di Madrasah Ibtidaiyah, Zahid begitu terobsesi terhadap hal-hal yang sulit dicerna oleh murid pada umumnya, anak kecil itu sangat open minded dan kritis terhadap ilmu.
Suatu ketika dia berbicara lantang soal bumi ini bulat ataukah flat. Zahid tegas sekali menolak teori flath earth. Dia menonton di salah satu channel Youtube di mana channel tersebut memberi edukasi persoalan bahwa bumi ini datar dan sering membantah beberapa pemikiran ilmuwan.
Zahid mendiskusikannya di kelas, dihadapan guru dan para murid. “Kata mereka, apa yang kita pelajari sekarang ini bagian dari teori konspirasi. Di satu sisi, menurut perspektifku ada benarnya, karena kita selalu disuguhkan dengan pelajaran-pelajaran, teori-teori, hukum-hukum, definisi-definisi dan apapun yang bersumber dari Barat....
Akibatnya kita melupakan esensi agama. Ya karena terlalu sering mempelajari IPA mengutamakan rasio, akhirnya kita sering lalai terhadap agama, ya itu adalah konspirasinya. Kalau membahas apakah bumi ini bulat atau datar, jelas bumi bulat jauh lebih terbukti secara saintifik dan tidak pula bertentangan dengan penjelasan dari agama....
Yang tidak masuk akal lagi adalah pembelaan-pembelaan yang mereka kemukakan itu cuma dalih dan bukan berdasarkan penelitian yang panjang. Pernah mereka ingin melihat bintang di angkasa raya sana hanya dengan menggunakan camera Nikon. Tidak masuk akal....
Hasil gambar yang mereka dapatkan berupa titik dengan bias warna-warna. Ya jelas hasilnya akan seperti itu. Pas siang hari di jalan raya, kita akan melihat di atas mobil yang ada di hadapan kita itu akan ada bias cahaya yang membuat seolah pandangan kita menjadi kabur.
Itu terjadi karena panasnya udara membakar air yang ada di uap udara sehingga seolah-olah udaranya pecah dan bias. Nah sementara mereka mau melihat bintang dan planet dengan kamera Nikon di siang hari, itu adalah hal bodoh karena gambarnya pasti akan pecah dan bias.”
Oh lihatlah, si Zahid kecil sedang membuka sebuah forum ilmiah di kelasnya. Gurunya tersenyum heran melihat bocah kelas enam ini bicara soal sains begitu lantang. Tak ada siswa seberani ini. Tak ada siswa punya nyali sekuat ini.
Karena mindset-nya berbeda dengan para murid lain, Zahid sering disangka aneh, autis, dan gila. Dia sering membicarakan persoalan-persoalan alam semesta, rumus-rumus, ideologi, pemikiran orang dewasa, siksa kubur, alam akhirat dan hal-hal lain yang jarang dibahas anak SD.
Kecuali Uzlah, ya dia saja yang mau menampung semua perbincangan ilmiah itu. Uzlah rela menghabiskan waktunya berjam-jam bersama Zahid cuma untuk memperdebatkan siapa yang lebih hebat antara Newton atau Einstein, antara Amerika dan Rusia, antara Liberal dan Komunis.
Di saat anak-anak lain masih saja mengurusi buku cetak, LKS, dan ujian nasional, Zahid dan Uzlah sudah melampaui itu semua di usianya yang masih sangat kecil. Di saat yang lain masih main latto-latto, mereka berdua berdiskusi soal robot, artificial intellegance, dan senjata nuklir.
Sampai akhir kelas enam ini, Uzlah tetap unggul dari siswa-siswi manapun, menjadi kebanggan Kepala Sekolah dan para guru, menjadi kecintaan semua murid. Ya anak kecil yang kaku itu memiliki kecerdasan dan IQ di atas rata-rata.
Sementara bagi Uzlah, orang jenius itu justru adalah sahabatnya sendiri. Sahabatnya yang tidak begitu menyukai sistem pendidikan yang sekarang diterapkan. Bagi Zahid semua itu hanya akan memenjarakan murid sehingga murid tidak mau berpikir luas dan kritis.
Bagi Zahid kurikulum yang dipaksakan agar semua murid mengerti akan semua pelajaran hanya akan membuat murid tersebut terkurung dan tidak ada kebebasan berkreasi. Karena itu Zahid adalah sosok kontras dari semua murid.
Sosok jenius itu justru Zahid meskipun sampai saat ini Zahid tidak pernah mendapat rangking pertama, piagam prestasi atau piala perlombaan. Zahid tidak senang ikut serta dalam acara perlombaan dan persaingan apapun yang memperebutkan sesuatu.
Baginya itu bukanlah sebuah cara untuk menjadi yang terbaik dan bukan pula cara untuk mendapatkan kepuasan diri. Itulah Zahid, pemikirannya terkadang sulit dimengerti, keinginannya juga sulit dipahami, padahal dia masih kecil sekali.
Saat pembagian rapor kelas enam semester dua, semua orangtua murid hadir dalam acara ini, sekaligus acara ini merupakan perpisahan bagi para murid, melepas masa-masa MI mereka. Syukur kepada Allah dan rasa terimakasih dihaturkan sebesar-besarnya kepada para guru.
Selama enam tahun ini di setiap pembagian rapor, ayahnya Zahid selalu menjadi wali untuk Uzlah. Beliau menganggap Uzlah seperti anaknya sendiri, menyayanginya, mendidiknya, dan sering memenuhi segenap keperluan Uzlah.
Acara perpisahan yang begitu meriah. Orangtua murid duduk dengan rapi di kursi-kursi yang telah disediakan. Di atas panggung berjejer piagam dan piala yang nantinya akan diberikan kepada setiap murid berprestasi.
Semua susunan acara selesai diselenggarakan. Para guru dan staf yang berada di bawah tenda acara tersenyum bahagia melihat murid-murid mereka. Sementara sebentar lagi Kepala Sekolah akan mengumumkan tiga orang murid yang paling berprestasi.
Ketiga murid ini nilainya paling tinggi ketika ujian. Semua nilai dari kelas satu sampai kelas enam dikalkulasikan semua. Dan juga dilihat dari prilakunya selama enam tahun ini. Ketiga murid tersebut akan dengan otomatis masuk SMP Negeri Sekali Plus tanpa tes.
Setelah menyebut dua orang murid perempuan yang berada di peringkat dua dan tiga, Kepala Sekolah lantas melanjutkan. Beliau memegang kertas dan mendekatkan mulutnya pada mic. Di atas podium itu beliau berbicara, “Uzlah, silakan naik ke atas panggung. Selamat buat Uzlah. Murid paling berprestasi di Madrasah Ibtidaiyyah Swasta!”
Semua guru dan staf sekolah, lalu para orangtua murid, dan semua siswa-siswi berdiri memberikan penghormatan kepada anak kecil yang cerdas satu ini. Zahid dan ayahnya tersenyum bangga, tentu saja.
Uzlah berada di atas podium. Uzlah tertunduk malu. Selama sekolah, baru kali ini dia berada di atas panggung dan diawasi oleh banyak orang. Gugup sekali rasanya berada di depan publik. Dia angkat piala penghargaan itu sambil melihat Zahid.
Siang ini ayahnya Zahid mengantar Uzlah pulang ke kontrakannya pakai mobil. Karena tidak bisa masuk lorong, jadi mobilnya diparkir di samping gang tak jauh dari bengkel. Mereka bertiga lalu masuk ke gang.
Sebelumnya ayahnya Zahid tadi mampir ke toko sepeda. Beliau menghadiahkan sepeda baru ini karena Uzlah berhasil mendapat prestasi gemilang. Beliau juga berjanji akan memenuhi semua biaya sekolahnya nanti.
“Ayah terimakasih banyak,” katanya sambil terduduk di pondok jualan Bu Mirna.
“Sama-sama anakku. SMP nanti harus lebih rajin belajarnya ya.”
“Siap, Ayah.”
Zahid berceletuk, “Nanti kita balapan sepeda, Uzlah!”
“Siapa takut?”
Ya, semua sudah tahu siapa yang akan jadi pemenang. Lomba lari, renang, PES, ingat itu.
Di malam harinya Uzlah termenung. Di masa SMP nanti, dia tidak mungkin satu sekolah bersama Zahid.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments