Bapak Raden Setiawan sedang duduk di beranda rumahnya pagi ini. Temannya secangkir kopi hitam tanpa gula dan rokok. Diawasinya halaman rumahnya yang begitu sangat luas, total luas tanah di kediamannya tiga ribu lima ratus meter persegi, sementara rumahnya yang megah berlantai dua dengan empat pilar penghias.
Warna rumahnya merah tua dengan motif songket di beberapa dindingnya. Ada juga motif batik khas Jawa yang menghiasi. Lagi diawasinya ke arah halaman, berjejer tanaman hias dan pepohonan, ada pohon jambu berdiri kokoh di sana.
Rerumputan tertata rapi karena baru beberapa hari diperbagus oleh petugas kebun. Berbagai macam jenis bunga menghiasi sekitaran halaman, begitu asri, begitu menyejukkan. Setelah masuk gerbang, orang akan disambut dengan air mancur yang dikelilingi kolam ikan.
Rumah di tengah kota ini berbeda dengan rumah-rumah lain kebanyakan. Bukan karena bentuk rumah yang megah sebab banyak rumah megah di kota ini, akan tetapi karena luas halamannya itu, tidak setiap orang mau punya tanah yang disia-siakan.
Bagi para kapitalis, untuk tanah seluas ini, mending mereka bangun perumahan, atau mal, atau hotel, setidaknya beberapa petak ruko, lalu dimanfaatkan seperti disewakan atau dijual lagi. Kaum materialistis akan memanfaatkan peluang besar ini.
Hanya saja bagi Bapak Raden Setiawan tidak punya mindset seperti orang kebanyakan. Sebenarnya tanah seluas ini merupakan harta warisan dari ayahnya dulu. Tidak ada larangan apapun untuk mempergunakannya untuk apa.
Bagi beliau, hidup tenang dan bahagia merupakan sebuah keharusan, maka dengan rumah megah, luas dan jauh dari bisingnya bisik-bisik tetangga, tentu akan terciptanya sebuah kehidupan berumah tangga yang nyaman dan harmonis.
Sayangnya, beliau hanya dikaruniai satu orang anak saja, dan sayangnya lagi nasab beliau bisa dikatakan terputus karena tidak punya anak pria. Beliau memiliki satu anak wanita yang benar-benar beliau jaga, harapannya untuk menjaga semua harta warisan, dan sebagai penerus generasi dari keluarga.
Anaknya itu bernama Masayu Devrieya.
Pak Raden Setiabudi merupakan orang kaya lama atau wong kayo lamo. Sosok pria asli Palembang dengan bergelar Raden, sebuah gelar tertinggi, maka impian beliau kelak anaknya ini mampu menjaga kehormatan dan nama baik keluarga nenek moyangnya selaku orang iliran Melayu Palembang.
Rumah dengan nuansa Melayu karena corak dari motif songketnya ini sungguh terlalu besar untuk ditempati tiga orang saja. Tak ada pembantu dan sopir. Pak Raden Setiawan dan istri selalu bekerja dan beraktivitas dengan kemandirian, baik mengurus rumah maupun yang berkaitan dengan urusan pekerjaan.
Sesekali beliau menyuruh petugas kebersihan dan tukang kebun jika memang tidak bisa mengerjakannya karena terlalu sibuk atau alasannya karena ada pekerjaan yang lebih penting. Setiap hari minggu beliau sempatkan untuk bersih-bersih dan berkebun, bahkan mobil pun beliau cuci sendiri.
Pak Raden Setiawan menyeruput kopinya lagi.
Beliau masih punya harta lain, satu petak tanah di sekitar jalan A. Rivai dan satu lagi agak di pinggir kota. Semuanya harta warisan dari orangtua beliau. Karena satu-satunya pria dan merupakan pemimpin keluarga, maka beliau harus selalu cerdas dalam menentukan sikap.
Beliau bukan orang bodoh sebab ilmu dan pengalaman beliau sudah cukup banyak. Seorang insinyur dan sudah memiliki gelar magister serta sekarang menjabat sebagai direktur SDM di sebuah perusahaan migas besar tentu menjadi modal kuat bahwa beliau cerdas dan berpengalaman.
Beliau beberapa kali mendapat tawaran dari Pak Lurah dan tetangga-tetangganya supaya mau menjabat sebagai Ketua RW atau Ketua RT, tapi beliau selalu menolak. Beliau tidak ingin disibukkan dengan hal-hal di luar agama, keluarga dan pekerjaan. Lagipula kalau mendapat jabatan itu tentu akan menyita pikiran dan tenaga beliau.
Pak Raden Setiawan memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh delapan senti dan berat tujuh puluh kilogram. Badannya tegap dan suaranya tegas. Beliau sangat berwibawa sekali ketika berhadapan dengan bawahannya maupun atasannya.
Beliau menghembuskan asap rokoknya pelan-pelan.
Dengan halaman luas yang mengitari rumahnya, maka kebisingan suara kendaraan di jalan sana tidak terlalu masuk ke rumahnya, keributan mesin dan knalpot di jalan sana tidak begitu terdengar, apalagi di dekat pagar berjejer pepohonan rindang.
Devrieya keluar dengan seragam putih abu-abu yang rapi dan bersih. Dia siap untuk pagi yang cerah ini. Sementara papanya buru-buru mematikan sisa rokok dan menghabiskan kopinya. Papa dan anak gadis itu meninggalkan rumah megahnya, sementara mama sebentar lagi juga akan pergi ke pasar.
Selama dalam perjalanan, Pak Raden Setiawan terus mengajak bicara putri satu-satunya ini, baik soal di rumah, sekolah, teman-temannya, masa depan, kebutuhan, dan banyak lagi.
“Devrie harus masuk PTN kalau ingin bekerja di perusahaan tempat Papa bekerja.”
“Baik, Pa. Devrie akan terus belajar dengan rajin supaya nanti bisa masuk PTN.”
“Tidak usah pacar-pacaran dulu. Nanti kau tidak fokus sama pelajaran.”
“Siap, Pa. Tapi beliin Devrie motor dong. Biar bisa berangka sekolah sendiri, tidak ngerepotin Papa lagi. Kan repot Papa ngantar jemput terus tiap hari.”
“Papa tidak merasa direpotkan sama sekali, Nak. Ini merupakan tanggung jawab Papa. Kalau bisa Papa terus jagaian kamu dua puluh empat jam tujuh hari supaya kamu tidak kenapa-kenapa.”
“Segitunya, Pa. Berlebihan nian.”
“Harga diri kamu, Nak, lebih dari apapun, lebih dari semua apa yang Papa miliki sekarang ini. Kamu lebih dari segalanya. Kehormatan kamu, Nak, sangat bernilai sekali bagi Papa.”
“Jadi terharu, Pa.”
“Kalau kamu jatuh ke jurang yang salah, berarti Papa gagal dalam membesarkan, mendidik, mengawasi, dan menjaga kamu, Nak. Papa berhasil dalam pekerjaan dan Papa tidak ingin gagal dalam rumah tangga Papa.”
“Terimakasih atas perhatian Papa.”
“Sampai kau menikah barulah Papa sedikit lega karena tugas sebagai orangtua hampir selesai, tugas dan kewajiban sebagai orangtua sudah digantikan oleh suamimu kelak.”
“Nantilah Pa bahas nikah. Devrie masih kelas satu ni.”
“Papa bicara soal ini supaya kau paham Nak. Papa tidak ingin kau salah pergaulan. Banyak orang yang gagal dan akhirnya hidupnya hancur, padahal dia berpendidikan. Kenapa? Jawabannya, pendidikan tidak mungkin salah, tetapi pergaulan kita lah yang sering salah.”
“Baik, Pa. Devrie akan jaga pergaulan. Teman-teman Devrie juga pada pintar dan tidak ada yang aneh-aneh.”
“Sama teman cowok juga harus jaga jarak yah. Tidak boleh pacaran. Tidak boleh macam-macam. Belajar yang rajin. Ibadah wajib tetap jalan dan yang sunnah usahakan jangan ditinggal.”
“Siap, Papaku yang baik hati. Tapi kapan ni mau belikan Devrie motor dan... mobil juga.”
“Tidak sekarang, Nak. Nanti suatu saat akan Papa belikan. Papa membatasi bukan berarti Papa pelit sama anak. Tapi tidak ingin nantinya kau macam-macam di luar. Jadi jarang pulang ke rumah. Papa khawatir kau pergi ke tempat maksiat, seperti diskotik.”
Dengkul Devrie makin rapat saja, matanya terus mengawas depan, dan tiba-tiba dia melihat dua orang siswa sedang bersepeda juga ke arah sekolah. Dia kenal siswa itu. Zahid dan Uzlah. Mobil itu terus melaju melewati dua siswa tadi.
“Hm, Devrie janji tidak akan macam-macam, Pa, apalagi pergi ke tempat seperti itu, tidak akan pernah, janji deh.”
“Papa sayang kamu, Nak. Kalau nanti kamu masuk Universitas Negeri Jaya Abadi, Papa tidak perlu khawatir karena Papa kenal cukup banyak orang di sana, apalagi kalau kamu masuk Teknik, Dekan dan beberapa dosennya sahabat Papa.”
“Jadi aku harus ni pak masuk Teknik?”
“Harus Nak kalau kamu ingin bekerja di tempat Papa. Terus kalau sudah masuk kerja, Papa yang jagain kamu langsung.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments