Wawan paham bahwa Zahid kelihatannya ada kecenderungan pada setiap pelajaran eksakta dan tidak begitu tertarik pada mata pelajaran bahasa dan seni. Oleh karena itu, dia berusaha untuk menguasai bahasa dan seni agar terlihat pintar di mata Anggi.
Kebetulan pagi ini pelajaran seni musik. Wawan rela pagi ini berurusaan dengan penjaga sekolah dan sempat terjadi perdebatan, meski akhirnya dia berhasil meloloskan gitar itu supaya bisa masuk kelas.
Wawan bernyanyi lagu romantis tak jauh dari tempat duduk Anggi. Kesempatan ini dia manfaatkan sebelum guru masuk. Dia ingin mencari perhatian Anggi. Sementara sang bidadari kelas terbuai dengan antunan lagu itu.
“Kau suka lagu Indo atau Barat?” tanya Wawan.
“Aku lebih sering denger musik Barat. Jadi ujung-ujungnya suka,” jawab Anggi polos.
“Mau request lagi romantis apa? Nanti aku nyanyikan.”
“So sweet sekali, kamu Wan. Terserah kamu deh mau nanyi lagu apa.”
Sebelum Wawan menyanyikannya, Bu Dewi keburu masuk. “Nantilah, pas istirahat kita nanyi bareng,” ajak Wawan.
Saking niatnya, Wawan membentuk sebuah band bersama teman-teman satu kelas dan menciptakan lagu cinta, katanya lagu itu untuk Anggi. Pas pelajaran melukis, Wawan dengan hebat mampu melukis wajah Anggi, nyaris sama, lukisannya indah sekali.
Saat pelajaran Bahasa Indonesia, Wawan menulis syair yang panjang dan memang bagus sekali kata-katanya. Dan katanya itu untuk Anggi. Bahkan tingkahnya benar-benar menunjukkan bahwa dia begitu mencintai Anggi.
Antar-jemput, cokelat, traktiran pas istirahat, boneka, dan banyak lagi bukti-bukti pengorbanannya terhadap Anggi. Dan akhir-akhir ini sikap Wawan terhadap Zahid sedikit berbeda. Dia terkadang memandang Zahid dengan pandangan sinis dan kebencian.
Tapi Zahid apatis. Baginya, pujian dan celaan manusia sama saja, jadi dia tidak ambil pusing. Bahkan pernah suatu ketika pas pelajaran olahraga lagi, tanding basket, dengan sengaja Wawan mendorong Uzlah, sehingga Uzlah jatuh dan terluka.
Wawan tidak mungkin bisa menjatuhkan dan mengasari Zahid karena tahu Zahid fisiknya kuat dan nyalinya tinggi. Makanya dia mengasari sahabatnya saja biar Zahid terpancing.
Benar saja Zahid jadi marah. Uzlah saat itu dibawa ke UKS demi mendapatkan pengobatan. Zahid dengan berang mendorong tubuh Wawan sehingga terjatuh berdebam.
“Sebenarnya kau ini ingin cari masalah denganku ya?!” Mata Zahid melotot. Urat di wajahnya kencang. Darahnya naik.
Belum sempat menyepak badan Wawan, Zahid keburu ditarik oleh dua orang siswa lalu dipinggirkan. Zahid sudah bersiap adu mekanik dengan mengerahkan seluruh chakra-nya. Sempat dua bulan pernah ikut karate membuatnya lebih percaya diri.
Wawan tak mau urusan terlalu panjang, jadi dia langsung to the point. “Jangan dekati Anggi!”
Zahid terkejut. Lalu dia minta dilepaskan dari pegangan kedua siswa di sisi kiri dan kanannya. “Jadi karena itu kau rela menjahati aku dan kawanku?! Dasar bodoh!” lantas Zahid makin beringas. Ditendangnya badan Wawan yang sedari tadi terkapar di atas lapangan.
Buukk!!!
“Ambil sana bidadarimu! Untuk apa aku jadi pacarnya?!” Zahid meninggalkan Wawan yang meringis kesakitan abis kena sepak.
Kemudian Zahid menghampiri Uzlah di UKS dan menceritakan kejadian barusan.
“Bagaimana Uzlah menurutmu si Wawan itu?”
“Mungkin dia takut ada saingan yang mengejar Anggi juga.” Jawab Uzlah. Badannya masih terbaring lemas.
“Dia itu sebenarnya kesal sama aku. Tapi dia tidak berani. Eh malah buat kau jadi seperti ini. Lucu sekali.”
“Jadi kau berkelahi sama dia?”
“Dia tidak melawan. Badan saja besar.”
“Tapi kira-kira kau suka atau tidak sama Anggi?”
“Suka bukan berarti harus dimiliki, Uzlah. Lagipula cewek cuma akan merusak konsentrasi belajar saja.”
“Mending belajar ya daripada pacaran.”
“Mending belajar dan bermain daripada pacaran. Lagipula kita masih SMP. Ngapain juga pacaran?”
“Benar, Zahid. Fokus belajar dulu lah. Tapi kalau aku perhatikan si Anggi itu sepertinya naksir deh sama kau.”
“Ah. Apa-apaan kau ini Uzlah. Aku ini sudah terlanjur dicap aneh oleh guru dan murid. Mana mungkin dia suka sama aku.”
“Ada buktinya. Kau bisa tidak baca mata cewek?”
“Tidak. Bisanya baca buku.”
“Kau harus peka juga Zahid. Lihatlah sikap dia sama kau beberapa hari ini. Banyak orang di sini, tapi dia hanya tanya sama kau.”
“Eh... iya juga yah. Padahal kursi kita dan dia kan jauh. Iya juga yah.”
“Tapi karena kau sudah terlanjur tidak akan dekat dengannya dan rela Anggi sama Wawan. Ya sudah. Nasi sudah jadi bubur. Perubahan fisika. Tidak mungkin kembali lagi.”
“Kertas sudah jadi abu. Tidak mungkin bisa kembali pada asal lagi. Perubahan fisika. Eh, itu penjelasan sains atau pribahasa sih. Bagaimana sih?”
Uzlah tertawa. “Dua duanya benar.”
***
Sore ini setelah habis berjualan, Uzlah bersepeda menuju rumah Zahid. Dia memarkirkan sepedanya lalu masuk ke dalam. Zahid sedang bermain playstation seorang diri.
“Ikut ya!” ajak Uzlah merayu. Dia menaruh tasnya di atas kasur.
“Aku tidak suka Uzlah. Kau saja yang ikut lombanya.”
“Cerpen dan puisinya sudah aku buatkan. Tuh di dalam tas. Kau tinggal pasang badan saja, Zahid.”
“Astaga. Dibilang aku tidak suka dengan cerpen dan puisi. Mending main bola. Kayak cewek aja baca puisi.”
“Kau belum pernah dapat piagam dan piala. Nanti kalau sudah dapat pasti senang rasanya.”
“Aku tidak suka dengan penghargaan Uzlah. Aku belajar itu untuk jadi tahu, mengubah diri jadi lebih baik, diterapkan dalam kehidupan dan memberi manfaat untuk orang lain. Bukan ngumpulin tropi penghargaan.”
“Kau tidak ingin orangtuamu bangga? Kau tidak ingin melihat mereka bahagia karena kau dapat prestasi, dapat penghargaan? Sekarang itulah cara kita sebagai anak untuk membuat ibu dan ayah bangga dan bahagia.”
“Banyak cara untuk membuat mereka bahagia, Bocil. Kita ini masih SMP. Jauh sekali kau berpikir.”
“Zahid, kau belum merasakan seperti apa yang aku rasakan. Aku sudah tidak punya ayah. Ingin sekali rasanya bisa membuat beliau bangga dan bahagia.”
Zahid mematikan tv dan ps. “Uzlah, jangan paksa ikan yang baru bisa berenang ini untuk dapat terbang tinggi!”
“Kau selalu saja seperti itu kalau diberi nasihat. Aku kan tidak ada teman untuk ikut lomba itu.”
“Di kelas kita ada berapa orang yang ikut?”
“Wawan sudah pasti itu. Anggi kalau tidak salah ikut juga. Terus Sapta dan Leo. Aku lupa. Ada dua orang cewek lagi yang ikut.”
“Banyak itu temanmu yang ikut. Aku doakan supaya kau juara satu. Harus juara satu! Buat aku bangga. Ha ha ha.” Zahid tertawa lebar.
Dan hari itu pun tiba. Lebih dari lima puluh murid yang turut berpartisipasi dalam acara tahunan kali ini. Semua murid dari kelas tujuh, delapan dan sembilan dipersilakan ikut.
Peserta harus menulis dan membaca puisi di hadapan juri, guru, dan murid. Puisinya bertema perjuangan pahlawan. Kemudian dengan tema yang sama juga menulis cerpen dengan jumlah kata antara 800 – 1000 kata.
Uzlah mampu menulis cerpen dan puisinya dalam waktu satu jam. Dan berlatih membacanya dalam waktu satu jam juga. Tulisannya amat bagus dan rapi, tetapi kendalanya adalah kepercayaan diri.
Sebelum perlombaan, Zahid memotivasi dan memberikan dukungan yang luar biasa supaya Uzlah dapat memenangkan perlombaan. Zahid terus meyakinkan diri Uzlah bahwa Uzlah bisa berbicara di depan umum dengan berani dan percaya diri.
“Kau harus tenang Uzlah. Jangan minder.”
Saat tiba giliran Uzlah. Dihadapannya adalah para dewan juri, para guru dan staf kantor. Selebihnya siswa-siswi duduk dengan rapi. Sedari tadi secara bergilir peserta lomba membacakan puisinya.
Karena tema perjuangan pahlawan, maka tadi ada beberapa siswa yang berteriak histeris menghayati setiap untaian puisi yang dibacanya sekaligus melakukan body language seperti mengepalkan tangan dan berekspresi layaknya pahlawan.
Nervous sedikit.....
Uzlah menghela napas setelah melihat orang-orang di hadapannya.
Jangan gugup....
Harus percaya diri....
Puisinya:
Rela tumpah darah demi negeri
Air mata perjuangan jatuh ke bumi
Terus berjuang hingga nanti
NKRI harga mati
Hanya empat baris saja. Tidak banyak-banyak. Tapi delivery Uzlah pagi hari ini sungguh mempesona. Dia berbicara tidak hanya dengan bahasa lisan, tapi dengan bahasa tubuh, sehingga juri dan para guru menilai bukan hanya secara tekstual tapi juga secara kontekstual.
Baru kali ini Zahid mengakui keberanian Uzlah tampil di depan umum. Sebelumnya Uzlah adalah orang yang pemalu. Tapi untuk hari ini, Zahid begitu bangga sekali, sungguh bangga sekali.
Cerpen yang ditulis Uzlah pun sungguh rapi. Setiap tokoh dibuatnya begitu berkarakter dan plot yang disajikannya begitu tajam sehingga ketika membacanya seolah sedang menonton film dan sambil membaca puisi karena tingginya bahasa yang digunakan.
Dan benar saja. Pas pengumuman pemenang, semua sudah tahu siapa yang akan jadi juaranya. Tentu saja Uzlah. Dia meraih dua piala juara satu dua biji. Juara membaca puisi dan menulis cerpen.
Selain jago menggunakan otak kirinya dalam berpikir ilmiah, Uzlah pun piawai dalam mengolah otak kanannya dalam berpikir imajinatif dan mengarang karya sastra seperti menulis puisi dan cerpen.
Sains dan sastra bukanlah hal yang menakutkan baginya, keduanya seperti dua sisi koin, saling melengkapi antara satu dan yang lainnya. Semenjak ini Uzlah sering sekali menulis karya sastra lainnya sebagai koleksi pribadi.
Setelah menang lomba di sekolahnya, Uzlah lantas tertantang untuk mengikuti perlombaan lainnya, seperti perlombaan antar sekolah dalam kota, dan dia pun bersemangat untuk penghargaan-penghargaan lainnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments