Zahid dan Devireya sudah berjanji akan ketemuan di Palembang Square minggu siang ini. Saat ini Zahid sedang berada di jalan pergi ke sana naik Bus Transmusi, sementara Devrieya juga sedang OTW menuju tempat ketemuan naik Go-Car.
Sesampainya di Palembang Square dan bertemu, Devrieya bilang, “Tidak usah nonton, aku takut.”
“Kan bukan film hantu.”
“Takut nanti kau macam-macam. Banyak cerita kalau di bioskop suka aneh-aneh.”
“Astaagaa Dev. Gak bakal hamil kok kalau pegangan tangan doang.”
Mata Devrieya melotot. “Tuh kan kau pasti mau macam-macam di sana.”
“Serius itu film action yang paling ditunggu-tunggu. Kalau mau mesum kan biasanya cowok pilih film romantis atau film jelek yang penontonnya sepi.”
“Astaagaa bocah tau juga yah. Pasti sudah sering?”
“Pernah dua kali nonton. Pertama berdua sama Uzlah. Kedua nonton rame-rame sama teman cowok semua.”
Mereka terus berjalan sembari celingak-celinguk di dalam mal. Bersih dan terang. Penjaga konter hp adu teriak dengan penjaga toko baju di sekitarnya. Tadi suara marketing mobil yang menawarkan produknya bertarung dengan suara merdu dari mbak-mbak bagian informasi.
Devrieya tercengang. “Astaga tidak menyangka.”
“Sangka apa?”
“Pertama berdua, terus rame-rame.”
“Iya emang kenapa?”
“Sama cowok?”
“Jangan suudzon! Kalau bicara sama cewek ya ini nih konsekuensi nya. Cowok selalu di-judge buruk dan sering disalahkan. Nanti kalau aku bilang nonton berdua sama cewek terus nonton rame-rame juga sama cewek nanti salah pula.”
“Zahid, ngapain nonton bioskop berdua sama cowok?”
“Alasannya, teman dekatku hanya Uzlah waktu itu, pas masih SMP kelas satu, belum ada banyak teman. Terus kan daripada penasaran apa itu bioskop, ya mending nonton sama dia, lagian temanya soal sepak bola, bukan film romantis.”
“Serius kan bukan karena terlalu sering makan tempe?”
“Normal. Asli. Cowok banget. Makanya sekarang kita buktikan di bioskop! Fine?”
“Tidak mau. Nanti kau macam-macam Zahid. Pasti mau minta cium kan?”
“Annjj... jjirrr... ya... masa minta cium doang. Lebih lah.”
“Tuh kan parah. Ya sudah tidak usah nonton. Kita jalan-jalan saja. Aku mau cari tas.”
“Sebenarnya jujur aku juga tidak begitu hobi nonton fim. Karaoke juga tidak suka. Bahkan ke mal pun bisa dihitung berapa kali. Ke sini paling main biliard sama Uzlah.”
“Sama aku juga tidak suka nonton dan karaoke. Banyak mudharatnya. Nambahin dosa saja. Mending yang lain.”
“Oyo? Tu yang lain?”
“Astaagaa ni bocil SMA, ngapain ke sana, diskusi bumi datar?”
“Ha ha kerja kelompok.”
“Zahid, ayok kita masuk ke Bulan! Aku mau cari tas, pakaian, sandal, sepatu, dan lain sebagainya.”
“Aku belum jadi ayah Bebbhh.”
“Sekarang aku mau lihat keseriusanmu.”
“Tapi aku masih SMA, kuliah dulu, kerja atau buka usaha dulu.”
“Permintaanku besar lho. He he. Masih SMA saja aku sudah minta banyak kan.”
“Apa saja akan aku berikan untukmu Bebbhh.”
Pas masuk di Bulan toko serba ada, Zahid melewati beberapa sandal untuk wanita, harganya kisaran antara dua ratus ribu sampai satu juta lebih. Lalu dilihatnya jejeran tas-tas ibu-ibu arisan dengan merk standar indo harganya lebih dari lima ratus ribu.
Pas masuk tadi ada pramuniaga makeup menawarkan produknya, Zahid ternganga pas tahu harganya bisa lebih dari satu juta. Lanjut pakaian cewek, tak ada yang murah di sini. Mana duitnya bawa sedikit lagi. Hadiah juara satu tempo hari paling cuma bisa satu buah sweater.
“Dev, Dev, pintu keluar di mana yah? Serius ni tidak jadi nonton atau karaoke? Atau bagusnya kita cari makan saja ya.”
Devrieya yang sedang berjalan sambil mengawasi berbagai macam barang di kiri-kanannya lantas membalik badan, “Belum ada yang kita beli Zahid. Kita ke busana cowok dulu. Tu yang itu keren, cocok buat kamu.”
“Eh, itu aku sudah punya Dev.”
“Tapi sudah hampir usang. Warnanya juga buram. Beli saja yang baru. Oke ukuran 29.”
Devrieya langsung memasukkannya ke keranjang tanpa pikir-pikir lagi. Kemudian dia mengambil tiga kaos dan dua kemeja, lalu sepatu kets hitam putih dan sandal gunung, terakhir jaket kulit keren.
“Dev, Dev, sadar, Dev. Gunakan otakmu baik-baik.”
“Pikiranku masih waras ini Zahid. Semua cocok kan buat kau? Oke sekarang ke arah busana cewek.”
Devrieya mengambil sweater abu-abu, tas hijau muda, sepatu kets hitam putih, dan aksesoris penampilan. Sekarang dua tangannya sedang membawa keranjang penuh barang belanjaan. Kepalanya yang miring dan senyum di bibirnya dihadapkannya ke arah Zahid.
“Sampel atau apa ini Dev?”
“Untuk kita bawa pulang lah Zahid. Ayo cepat ke kasir!”
Zahid merapikan rambutnya yang sudah rapi. “Dev, ini barangnya mahal semua. Kau rela nanti aku ditangkap security?”
“Siapa yang ngajak jalan ya dia yang bayarin.”
“Undang-undang dari mana lagi itu? Cepat kembalikan barangnya ke tempatnya semula. Kita cari bakso dan nasi goreng sajalah.”
Devrieya terus memaksa Zahid agar segera menuju kasir, tapi cowok itu tetap tidak mau beranjak karena duit dari juara satu itu cuma tiga ratus ribu. Mana cukup.
“Tidak gentle!”
“Toxic speech. Bukan masalah laki atau bukan laki Dev, ini masalah ada atau tidak adanya duit. Niat awal kita bertemu kan nonton atau koraoke atau makan. Apa yang kau lakukan ini tidak underestimate.”
“Terserah kau Zahid. Ini barang sudah harus dibayar. Cepat!” Wajah Devrieya menyeringai cantik dan wajah Zahid terlipat tampan.
Dengan memberanikan diri Zahid bilang, “Aku tidak punya duit sebanyak itu Dev. Kau harus kira-kira juga lha.”
“Cemen!”
“Toxic lagi. Diremehin terus.”
“Ya sudah aku yang bayar. Tapi suatu saat nanti kau harus bayarin aku juga dan lebih dari ini Zahid.”
“Mengharap balasan dari kebaikan yang kita beri itu bisa mengurangi bahkan bisa membinasakan keikhlasan Dev.”
“Ini bocah SMA tolol amat sih. Hei, biar besok-besok kita tetap bertemu. Syukur-syukur kau jadi ayah dari anak kita. Idiot! Jadi cowok kok tidak peka sih!”
“Kepekaanku sekarang hilang Dev gara-gara harus bayar barang-barang ini. Otakku rasanya mau meledak.”
“Deal? Sekarang aku yang bayar. Tapi suatu saat kau juga harus bayarin aku.”
Zahid berusaha menguatkan dirinya dan memaksa mengeraskan suaranya. “Oke siap! Suatu saat aku ganti lebih dari ini.”
“Oke aku pegang omonganmu, Bebbhh. He he.”
Devrieya berjalan duluan dan Zahid mengekor di belakang. Saat ini Zahid merasa agak lebih rendah sebab berada di belakang, namun suatu saat dia yang berada di depan dan Devrieya yang berada di belakang, suatu saat nanti dia yang akan membayari semuanya.
“Totalnya enam juta tiga ratus dua puluh ribu, Mbak,” ujar sang kasir.
Lantas Zahid maju ke depan dan mengambil empat kantong berisi barang belanjaan. “Biar aku saja yang bawa, Nyonya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments