NovelToon NovelToon

Kisah Pria Sigma

1. Masa kecil

Anak kecil usia lima tahun itu tengah duduk jongkok dan tersandar di sebuah pohon besar. Dia memegangi tas lusuh bermotif angka-angkanya. Baju putihnya terlihat lusuh dan kusam, padahal sekarang adalah hari pertamanya masuk sekolah, sebab itu baju bekas yang dibelikan ayahnya di pasar loak yang banyak menyediakan pakaian Beje.

Celana hijaunya yang kependekan ada koyak sedikit karena juga merupakan celana bekas yang dibeli harga murah. Kaos kaki dan sepatu itu juga bekas. Ukuran sepatunya agak lebih besar dibandingkan ukuran kaki, jadi anak kecil itu mesti memakai dua kaos kaki yang dililit karet karena kaos kakinya kendur.

Peci yang dipakainya juga kebesaran, atau bisa jadi kepalanya yang masih kecil. Orang dewasa pecinta anak kecil akan menaruh rasa cinta dan kasihan sekaligus melihat anak kecil itu. Tetapi anak seusianya akan menaruh rasa tidak respect kepadanya dan malah akan menjadikan anak kecil itu sebagai bahan bully-an.

Anak kecil itu melihat siswa-siswi lain yang sedang asyik berkumpul di tengah lapangan sekolah. Orangtua-orangtua mereka masih memegangi anak-anaknya yang bandel. Penampilan para siswa-siswi baru itu sungguh rapi, para wali pun terlihat berwibawa dengan batik yang mereka kenakan.

Sebentar lagi waktunya pembagian kelas bagi para murid baru di Madrasah Ibtidaiyah Swasta. Pagi ini Kepala Sekolah menyuruh semua murid berdiri dan berbaris dengan rapi di lapangan sekolah dan memerintahkan agar semua para wali murid minggir dari lapangan.

Para wali murid pun melenggang menuju keluar gerbang sekolah. Di antara mereka ada yang beranjak pulang dan ada juga yang duduk ngobrol di parkiran. Ada seorang bapak-bapak pergi ke arah kantin, sembari menunggu anaknya pulang, disempatkannya ngopi dulu, kebetulan ada kawan sekampungnya bisa diajak sebagai teman ngobrol.

Si anak kecil masih tersandar. Tadi pamannya dari pihak ibu mengantarnya ke sekolah, tapi pamannya langsung bergegas pergi bekerja, meninggalkannya sendirian. Semua siswa siswi sudah berbaris rapi di lapangan. Di hadapan mereka ada Kepala Sekolah, para guru, dan staf. Sebentar lagi Kepala Sekolah akan memberikan kata sambutan.

Anak kecil itu bernama Uzlah. Ayahnya memberikan nama tersebut. Tepat di hari Minggu kemarin Uzlah mendapat kabar gembira dengan kelahiran adik laki-lakinya bernama Rian. Namun di hari yang sama Uzlah juga mendapat kabar buruk tentang kematian ayahnya tercinta.

Sekarang dia menjadi seorang yatim, di usia yang amat kecil dia harus kehilangan seorang sosok ayah yang seharusnya memberikan penghidupan kepadanya, pengajaran, pendidikan agama dan akhlak, memberikan bimbingan, kasih sayang, namun itu semua tidak bisa Uzlah dapatkan.

Sekarang ibunya masih berada di rumah sakit bersalin. Beliau belum bisa pulang karena kondisi fisiknya belum pulih total. Sementara di rumahnya, pihak keluarga dan kerabat dari sebelah ayah dan ibunya sedang berkumpul, menerima setiap tamu yang ingin takziah.

Seharunya sekarang Uzlah didampingi oleh ayah atau ibu, tetapi keadaan membuat anak kecil yang malang itu tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti apa yang dirasakan oleh para siswa dan siswi seperti sekarang ini. Matanya masih merah dan sembap karena dari kemarin tak henti menangis.

Beberapa hari yang lalu ayahnya berjanji akan mengantarnya pergi di hari pertama masuk sekolah. Uzlah ingat janji ayahnya. Kenyatannya sore kemarin dia melihat ayahnya berada di pemakaman. Beberapa pihak keluarga sempat melarang agar anak kecil itu tidak dibawa kesana, tetapi Uzlah terus meronta dan menangis supaya tetap bisa melihat ayahnya.

Uzlah masih duduk tersandar. Anak sekecil itu akan terus bertarung dengan waktu, memaksanya menjadi pria dewasa di usia anak-anak. Saat dewasa Uzlah mengerti, kenapa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ditinggal oleh ayahnya sebelum lahir dan ditinggal ibunya ketika masih kecil. Peristiwa itu tidak mungkin kebetulan, ya Allah ingin mendewasakan Nabi-Nya.

Sebab, realitanya banyak orang yang terlambat dewasa karena terlalu berlebihan berada dalam kasih sayang orangtua. Tidak sedikit masa kekanakannya masih belum bisa berakhir disebabkan orangtua yang terlalu memanjakan anak-anaknya.

Semoga atas kepergian ayahnya ini, Uzlah kelak menjadi pribadi yang lebih dewasa, tumbuh dan berkembang menjadi pria tangguh yang tidak selalu mengandalkan harta orangtua, serta dapat mencapai kesuksesan dalam mencapai semua cita-cita.

Uzlah masih saja tersandar, sekarang dia terpekur, menekuk lutut.

Tiba-tiba ada seorang anak kecil lain yang menghampirinya. Anak kecil ini berpakaian bagus dan rapi. Peci, baju, celana, kaos kaki, dan sepatunya semuanya baru. Tubuhnya bersih. Dia terlambat datang. Anak kecil itu turun dari sepeda motor. Ayahnya mengenakan seragam ASN.

“Ayo, cepat! Kawan-kawan sudah kumpul semua,” teriak anak kecil itu dengan semangat.

Uzlah menengadahkan wajahnya. Dia melihat senyuman anak kecil itu. Kemudian anak kecil itu menarik tangan Uzlah dengan paksa sehingga Uzlah langsung tegak berdiri karena tarikan itu sangat kuat sekali.

Anak kecil itu menyeret tangan Uzlah dengan penuh semangat, setelah berpamitan dengan ayahnya, dia berjalan ngebut bersama Uzlah.

“Siapa nama kamu?”

“Zahid.”

Lantas keduanya masuk ke barisan yang paling belakang. Ada seorang guru wanita yang menggiring mereka. Sang guru tersenyum renyah. Dia pikir, dua murid ini bersaudara sebab wajahnya hampir mirip. Hanya saja sang guru tidak begitu percaya, sebab penampilan keduanya tampak berbeda.

Setelah memberikan pidato singkat, Kepala Sekolah lalu memerintahkan kepada seroang guru untuk memanggil nama-nama siswa yang akan diberitahukan kelas mana yang akan menjadi tempat mereka belajar.

Bu Mardiyah naik ke podium lalu menyebut nama-nama siswa untuk ditempatkan di kelas 1.A. Semua nama disebut sampai tiba kelas 1.D. Beliau terus menyebut nama-nama siswa-siswi.

“Uzlah, silakan masuk kelas 1.D. Widianto. Yuniarti. Dan terakhir Zahid.”

Mendengar itu, Zahid langsung membalik badannya, memeluk Uzlah dengan erat.

“Nanti kita duduk sebangku!” teriak Zahid.

***

Pagi ini di kelas 1.D.

“Ayo duduk di belakang saja!” perintah Zahid.

“Tidak. Aku maunya di kursi paling depan sini.” Uzlah tak beranjak dari kursinya.

Zahid terus merayu Uzlah dengan  mendorong-dorong badannya. Tapi Uzlah tetap tidak mau menuruti permintaan Zahid. Sampai akhirnya Zahid menyerah, beringsut meninggalkan kursi depan menuju kursi belakang.

Uzlah duduk di samping Masagus. Masagus yang berbadan tambun karena hobi makan beberapa kali mengolok Uzlah.

“Ini celana adikmu, ya? Ha ha.”

Budi dan Toni yang duduk tepat berada di belakang mereka juga ikut bersuara.

Budi mengolok, “Nah itu pasti pakai peci bapaknya. Ha ha ha.” Budi ngakak sambil memegang kepala.

Toni mendorong badan Uzlah sambil mengumpat, “Nah itu pasti sepatu kakaknya yang sudah SMP. Ha ha ha.”

Siswa di sekitarnya cekikikan sampai akhirnya Ibu Emilia sang wali kelas tiba. Ibu Emilia masih muda, usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya melankolis dan senyumnya kalis. Selama dua semester ke depan beliau yang menjadi wali, pengajar sekaligus pendidik utama di kelas ini.

Beliau mempersilakan murid-murid barunya memperkenalkan diri di depan kelas, berdasarkan abjad, dimulai dari Ahmad Bustomi sampai terakhir Zahid. Zahid duduk sendirian karena jumlah siswa siswinya berjumlah ganjil yaitu tiga puluh lima. Dia duduk di kursi paling belakang dan paling pojok sebelah kanan.

Saat giliran Uzlah memperkenalkan diri, dia menangis, tadi teman-teman sebelum dia memperkenakan nama ayah dan ibu serta pekerjaannya. Anak kecil itu sedih ketika harus memperkenalkan ayahnya di hadapan teman-teman kelas. Ibu Emilia tak sampai hati melihat Uzlah, beliau tersedu sedan, matanya berkaca-kaca.

“Ayah kemarin meninggal.”

Uzlah tak henti menangis.....

Ibu Emilia beranjak dari kursinya lalu menghampiri Uzlah yang sedang menutup wajahnya. “Uzlah silakan duduk.”

Ibu Emilia merangkul Uzlah dengan erat, membawanya sampai duduk di kursinya. Benar-benar tak sampai hati guru innocent satu ini. Meski belum punya anak karena belum menikah, entah mengapa rasa keibuannya timbul begitu saja, hatinya seolah merasakan bagaimana jika beliau adalah ibu dari anak ini dan bagaimana jika beliau menjadi janda.

Setelah acara perkenalan selesai, Ibu Emilia membagikan jadwal pelajaran kepada siswa-siswinya. Hari ini belum belajar normal, mungkin besok baru bisa. Jadi pagi menjelang siang ini beliau menyudahi kelasnya. Beliau pamit.

Uzlah keluar dari kelas, lalu setelah tiba di lapangan dia melihat ke arah pagar sekolah. Semua orangtua murid berjejer dan berdesakan di sekitar pagar. Mereka menunggu dan mencari anak-anak mereka.

Uzlah menunduk, kemudian menyingkir dari keramaian siswa. Dia menyandarkan badannya di dinding. Dia tak lagi mengawasi mereka, ya karena ibu dan ayahnya tidak mungkin ada di antara mereka. Ibunya sedang berada di rumah sakit, sementara ayahnya telah tiada.

Anak sekecil itu, seharusnya tertawa riang bahagia seperti yang lainnya, sekarang justru tersandung dalam sedu sedan, merengkuh kesedihan setelah ditinggal ayah tercinta, hanyut dalam tangis, tenggelam dalam duka.

Zahid si kecil pergi ke arah pohon besar. Dia tidak menjumpai Uzlah di sana. Setelah minta izin sebentar dengan kakaknya yang akan mengantarnya pulang, Zahid kembali bergegas ke arah sekolah, masuk ke gerbang, dan mengerling ke sekitar lapangan sekolah. Dan dia mendapati Uzlah tengah tersandar lesu di depan salah satu kelas. Dia melewati siswa-siswi, badannya nyaris bertabrakan.

“Ayo kita pulang!” ajak Zahid sambil memegang tangan Uzlah.

Kakaknya Zahid mengantar Uzlah terlebih dahulu, lalu pulang.

2. Lari

Hari kedua sekolah di kelas 1.D

Uzlah kesiangan. Pamannya sedang sakit dan tidak ada yang mengantarnya sekolah. Uzlah harus berjalan kaki dari kontrakannya ke sekolah. Jaraknya hampir dua kilometer. Jarang ada anak umur lima tahun mempunyai ingatan sekuat itu. Ini adalah awal mula kecerdasan dan kedewasaannya.

TOK TOK TOK !!!

Ibu Emilia membuka pintu kelas. Uzlah mengucapkan salam sambil menyalami tangan beliau. Ibu Emilia dan para murid menjawab salam. Uzlah dipersilakan duduk oleh beliau.

“Hukum aja Bu. Dia telat masuk. Cuma dia yang telat,” jerit Masagus agak kesusahan bicara karena tekanan dari perutnya yang cukup besar.

“Pasti habis rebut-rebutan sepatu sama kakaknya. Ha ha,” olok Toni. Seisi kelas hampir semuanya tertawa kecuali beberapa, termasuk Zahid, dia malah marah. Seharusnya Uzlah duduk di belakang saja, itulah yang diharapkan Zahid.

Hari ini Ibu Emilia memperkenalkan huruf-huruf alfabet kepada anak muridnya. Mereka semua yang pernah belajar di TK atau PAUD tak akan kesulitan dalam menangkap setiap penjelasan yang disampaikan oleh Ibu Emilia.

Sebagian besar mereka masuk TK atau PAUD kecuali segelintir saja, termasuk Uzlah. Sebelumnya dia hanya diajarkan oleh ayah dan ibunya di rumah. Memang kedua orangtuanya tidaklah mengenyam pendidikan sampai sarjana atau lebih, tetapi untuk pendidikan anak usia dini, dikira bisa mereka ajarkan kepada Uzlah.

Uniknya, Uzlah dengan cepat mampu mencerna setiap pelajaran yang dikasih oleh ayah dan ibunya. Belum masuk usia tiga tahun, Uzlah sudah lancar berbicara. Sekitar usia empat tahun dia sudah mampu membaca dan berhitung serta menamatkan iqro satu sampai enam.

Sekarang di usianya yang ke lima, dia sudah mampu melakukan apa yang dilakukan oleh anak SD atau MI kelas enam. Uzlah mampu membaca, menulis, berhitung, menggambar, dan lebih dari itu, dia mampu memahami setiap rumus dasar tentang fisika, kimia dan matematika.

Namun, semenjak ditinggal ayahnya, Uzlah menjadi pribadi yang kaku dan pendiam. Otaknya sudah melewati pencapaian, namun mentalnya jatuh, lemah. Anak kecil itu kehilangan semangat karena kehilangan kasih sayang.

Terang saja, di kelas, Uzlah mencatat semua apa saja yang disampaikan guru, baik itu pelajaran bahasa, berhitung, menggambar, dan agama. Hampir semua dibabat abis oleh kecerdasan Uzlah. Ibu Emilia tercengang melihat kecerdasan anak satu ini. Beliau yakin suatu saat nanti Uzlah akan menjadi anak yang sangat berprestasi dan dibanggakan.

Ketika waktu istirahat tiba, Masagus, Toni dan Budi menghampiri Uzlah yang sedang duduk di kursinya. Uzlah dan sebagian kecil siswa tidak pergi ke kantin sekolah karena mereka bawa bekal makan dari rumah

“Hei Peci kebesaran,” olok Masagus. “Miskin nian cuma makan gorengan tahu tempe.”

Uzlah hanya diam. Sebetulnya Uzlah orangnya periang dan energik, tapi situasi yang berat membuat kondisi mental dan tubuhnya makin lesu. Dia tak menggubris olokan itu.

“Mending sekolah pakai sendal saja. Ha ha,” ejek Budi sambil ngakak. Toni mengambil pecinya, lalu melemparnya keluar kelas.

Menyaksikan kejadian itu, Zahid berdiri dari kursi belakang, menuju ke depan. Dia mendorongi Masagus yang berbadan besar, Budi dan Toni.

“Kamu bertiga ini dari kemarin mengolok dia. Pergi sana!”

Kemudian Zahid mengambil peci yang tadi habis dilempar. Saat itu juga Masagus lari lalu menyepak kaki Zahid. Zahid berdiri lalu membalas dengan tonjokan tepat ke arah pipi Masagus. Toni dan Budi mengeroyoki Zahid. Terjadi pertengkaran hebat antar anak Madrasah Ibtidaiyah itu. Uzlah memegangi Zahid supaya berhenti berkelahi.

Akhirnya, mereka berlima kena hukuman, berdiri terpancang di tengah lapangan sambil menghadap bendera, dua jam.

***

Saat ini pelajaran olahraga. Dua puluh siswa dan lima belas siswi tengah berada di lapangan. Pak Heru, guru olahraga tersebut, berada di hadapan siswa yang sedang berbaris rapi, memberikan arahan gerakan pemanasan. Semua murid mengikuti gerakan-gerakan yang diberikan Pak Heru.

Selanjutnya Pak Heru menyuruh setiap siswa agar memilih satu temannya yang dijadikan sebagai rival atau lawan lomba lari. Tentu Zahid akan memilih Uzlah sebagai rivalnya. Secara bergilir sepasang murid berlari dua putaran mengelilingi lapangan.

Sampai akhirnya Zahid dan Uzlah.

“Hei Jambul, kau siap?” tanya Zahid

Uzlah hanya senyum.

“Kau boleh unggul di setiap pelajaran Uzlah, tapi tidak untuk lomba lari. He he.”

Dua anak kecil itu bersiap dan mengambil posisi kuda-kuda. Mereka menghembuskan napas kuat. Zahid melirik ke kirinya. Dia yakin akan menang.

Pak Heru berteriak, “Siap. Satu. Dua. Tiiigaa.”

Zahid mengambil start duluan dengan mengeluarkan seluruh chakra-nya. Uzlah berusaha keras menyusul Zahid yang sudah agak jauh dari posisinya sekarang. Satu putaran pertama Uzlah tertinggal sejauh dua puluh meter.

Sempat-sempatnya Zahid menoleh ke belakang sambil berlari. Dengan terengah-engah akhirnya dia berhasil mengalahkan Uzlah untuk perlombaan kali ini. Tak lama berselang Uzlah juga finish, meski urutan kedua, ya karena memang mereka berdua.

“Kau kuat, Zahid.”

“Tapi kaulah juaranya, Uzlah.”

Beberapa hari selanjutnya, ketika pelajaran olahraga lagi, Pak Heru mengambil nilai ketangkasan dari murid dengan memerintahkan agar setiap murid melakukan gerakan jungkirbalik dan koprol.

Sebagian murid bisa melakukannya, termasuk Zahid, dia energik sekali di masa kecil ini. Larinya kencang, tubuhnya lentur, lompatannya tinggi, napasnya panjang, tendangannya kuat, lemparannya jauh, dan suaranya keras membahana. Dia ditunjuk sebagai ketua kelas tapi menolak.

Pas disuruh, Zahid dengan gampang melakukan gerakan jungkirbalik. Awalnya dia jongkok, lalu memutar badannya ke depan dan menjatuhkan bagian tengkuk dan punggungnya ke matras, bahkan dia melakukan gerakan itu dua kali, padahal guru hanya memerintahkannya sekali.

Pas gerakan koprol juga begitu. Zahid si kecil tak sedikitpun nervous. Tak ada kata demam panggung baginya. Dia koprol sampai lima kali. Semua siswi yang imut-imut itu termehek-mehek pada Zahid. Melihat gerakannya yang lincah dan gesit, para murid perempuan terkagum-kagum.

Nah, dari sinilah Zahid mulai digandrungi oleh banyak wanita. Bukan hanya dari psikomotriknya yang menakjubkan, namun otaknya juga encer, nyalinya kuat dan rasa percaya dirinya level conqueror. Bocah itu sejak dini sudah mendoktrin dirinya agar mempunyai karakter gagah dan intelektual.

Pas giliran Uzlah. Dia jongkok agak lama, sebentar dia melamun menghadap matras yang terbentang pas di hadapannya. Entah kenapa Uzlah si kecil ragu untuk menjungkirbalikkan badannya. Dia rasa badannya begitu keras untuk dilenturkan. Uzlah tidak percaya diri.

“Ayo, Uzlah, kamu pasti bisa!” seru Pak Heru sambil memegang buku nilai.

Beberapa saat Uzlah mengedarkan pandang ke arah teman-teman kelasnya. Mereka semua berdiri terpancang dan melihatnya sedang tertegun sambil jongkok. Ketika Uzlah mulai ingin menjatuhkan badannya, kepalanya justru menjadi tumpuan badannya sehingga kakinya yang lurus sulit untuk dinaikkan ke atas.

Kakinya kembali ke belakang mengikuti irama tubuhnya. Semua murid menertawainya kecuali Zahid, dia justru memberi semangat kepada Uzlah. Dan Uzlah melakukan percobaan kedua, kali ini dia benar menjadikan kedua telapak tangannya sebagai tumpuan, tetapi karena kaku jadi badannya miring dan akhirnya terjatuh ke kiri.

“Ha ha ha ha...”

Sampai percobaan kelima Uzlah tetap gagal. Sekarang koprol. Dan ini agaknya sedikit lebih sulit daripada jungkirbalik. Uzlah berdiri, masih tersengal-sengal karena kehabisan energi, sekarang dia harus melakukan gerakan yang tidak pernah dia lakukan sama sekali.

Dan benar saja, saat dia menjatuhkan telapak tangan kanannya ke tanah sambil menaikkan kaki kirinya ke atas dan berusaha untuk mengangakat tubuhnya, badan Uzlah terasa berat sekali, sehingga membuatnya terjatuh berdebam. Uzlah selalu gagal.

Ketika di kelas, Masagus, Budi dan Toni benar-benar mengejek Uzlah habis-habisan.

“Lucu sekali ya. Kayak perempuan,” ejek Masagus.

Lantas Zahid marah sekali. “Sudah pindah ke kursi belakang sana. Duduk di samping aku.”

Uzlah menuruti permintaan Zahid. “Kau benar Zahid. Seharusnya dari awal masuk aku duduk di sini. Terimakasih.”

“Sama-sama. Kau tau kenapa aku mau kau duduk di samping aku?”

“Karena ingin jadi teman.”

“Karena, aku ingin nyontek. Ha ha. Kau kan pintar.”

Mereka tertawa. Baru kali ini Uzlah tertawa.

***

Waktu itu ketika pelajaran matematika.

Ibu Emilia memberi soal, “Berapa lima ditambah lima ditambah sepuluh ditambah dua puluh ditambah tiga puluh ditambah empat puluh?”

Setelah satu menit, tidak ada satu murid pun yang mau ke depan menjawab soal tersebut. Mereka masih sibuk menghitung dengan menggunakan lidi. Ada juga di antara mereka yang menulis di kertas orek-orek.

“Aku tahu jawabanya. Tapi tidak berani maju,” bilang Uzlah kepada Zahid.

“Aku berani. Berapa jawabannya?”

“Seratus sepuluh.”

Zahid mengangkat tangan.

“Iya itu, Zahid. Ayo maju kedepan, Nak.”

Zahid langsung menulis angka seratus sepuluh dengan kapur di papan tulis.

Zahid mendapat tepuk tangan meriah. Uzlah hanya tersenyum girang.

3. Pendidikan

Zahid bersiap dan sudah berpakaian rapi ditemani sang ayah. Sang Ayah menghidupkan motor bebek Legenda-nya dan memanaskannya sebentar di halaman rumah. Sebelum pergi beliau sempat menyerput kopi hitam terlebih dahulu. Beliau sudah izin kepada Kepala Dinas bahwa hari ini agak telat sedikit berangkat kerja.

“Kita jemput Uzlah dulu, Ayah.”

Zahid lalu duduk di boncengan belakang, memeluk ayahnya dengan erat. Perjalanan dari rumah Zahid ke rumah Uzlah tidak begitu lama. Kalau pakai sepeda motor dan tidak ada kemacetan hanya sekitar lima menit saja. Yang buat agak terhambat paling jalanan di sekitar pasar apalagi waktu pagi seperti sekarang ini.

Legenda itu berhenti di dekat sebuah pondok jualan sederhana. Hari ini Bu Mirna tidak berjualan dan tidak bisa menemani anaknya mengambil rapor sekolah karena sakitnya kambuh. Makanya beliau beberapa hari ini lebih banyak di rumah saja.

Zahid melompat dari sepeda motor, lalu berlari ke arah pintu rumah kontrakan tempat tinggal Uzlah. Ditangannya memegang sebuah kantong plastik bertuliskan homyped. Zahid mendapati Uzlah baru saja selesai mengenakan pakaian dan akan keluar dari rumah.

“Pakai sepatu ini,” ujar Zahid semangat.

“Apa ini Zahid? Ulang tahunku sudah lewat jauh.”

“Hadiah untuk siswa rangking satu. Ayahku yang beli ini untukmu. Pakailah Uzlah! Ada kaos kakinya juga.” Padahal rapor belum dibagikan, tetapi Zahid yakin dialah orangnya.

Uzlah senang sekali rasanya. Dia langsung membuka kotak sepatu itu, lalu mengenakan kaos kaki dan sepatunya. Pas! Baru hari ini dia ketika berjalan tidak kesusahan. Kemarin-kemarin Uzlah kalau berjalan tidak bisa cepat, kalau salah gerakan sedikit saja, maka sepatunya terlepas.

Ayahnya Zahid menghidupkan mesin sepeda motornya lagi. Zahid naik lalu disusul Uzlah duduk di boncengan paling belakang. Angin kencang menerjang-nerjang tubuh mereka selama di perjalanan, badan mereka terpantul-pantul pas melewati jalan tidak rata.

Sesampai di depan gerbang sekolah, Zahid dan Uzlah berpamitan, sementara ayahnya Zahid menunggu di sekitaran luar sekolah bersama para orangtua murid yang lain. Dua anak kecil itu masuk ke kelas berbarengan. Kelas belum terisi penuh oleh siswa-siswi. Masih banyak yang belum datang.

Tak lama setelah itu Bu Emilia tiba dengan membawa tumpukan-tumpukan rapor para siswa-siswi. Beliau tersenyum bangga melihat para muridnya dapat menyelesaikan semua pelajaran di semester satu ini. Akhirnya lebih dari empat bulan belajar, mereka akan menerima hasil belajar mereka.

Ibu Emilia menasihati, “Nanti semester dua belajarnya harus lebih rajin ya. Kalau bisa semuanya rangking satu.”

Di deretan kursi paling belakang dan paling pojok, Zahid mendorong pundak Uzlah sambil berucap, “Aku yakin kau dapat rangkin satu, Uzlah.”

Uzlah hanya diam. Dia tidak percaya diri walaupun seisi kelas dan Ibu Emilia sudah menilai bahwa dia orangnya sungguh pintar. Pada semester satu ini Uzlah tampil mempesona di setiap mata pelajaran, baik itu bahasa, berhitung, agama, seni, semuanya kecuali olahraga di lapangan, namun ketika olahraga teori dia tetap nomor satu.

Uzlah selalu mengerjakan PR. Jika diberikan tugas latihan, dia orang pertama yang mengumpulkan tugasnya. Jika guru mendikte dan menulis sesuatu di papan tulis, dia pasti mencatatnya dan tidak ada satu huruf yang yang terlewat. Ketika di rumah Uzlah akan mempelajarinya kembali, menghafal dan mengingatnya.

Selain praktik olahraga, satu hal lagi kekurangan Uzlah, yaitu dia tidak ada nyali untuk unjuk gigi di depan kelas, tidak ada rasa percaya diri ketika guru menyuruhnya agar menulis sesuatu di papan tulis atau mengatakan sesuatu di hadapan teman-temannya. Cuma itu minusnya dia. Selebihnya semua akan diborong habis.

Selanjutnya Ibu Emilia menyebut satu per satu nama murid berdasarkan abjad dan membagikan rapor kepada mereka. Beliau menyisakan tiga nama, yakni murid yang berada di peringkat tiga, dua, dan satu. Tiga murid kebanggan.

Beliau sudah memanggil tiga puluh murid dan menyisakan empat lagi. Pada saat ini Zahid agak penasaran, kira-kira dia masuk atau tidak di tiga besar. Sementara urutan absennya adalah yang paling akhir di antara siswa. Oh, tentu tidak masuk sebab tiga besar tidak ada namanya dengan inisial Z.

Bagi Zahid, bisa masuk sepuluh besar saja sudah bangga, apalagi tiga besar. Dia tidak terlalu mempedulikan soal rangking kelas. Sejak dini Zahid sudah mempunyai konsep kurikulum pendidikan secara independen, yaitu pendidikan yang didapatkan terpenting substansial-nya, bukan formalitas. Baginya, rangking hanyalah sebuah formalitas, bukan sisi praktis sebuah pendidikan.

Tapi sekali lagi, apa mungkin dia masih berpeluang masuk tiga besar? Sebuah believe system yang tertanam sejak kecil, paradigma pendidikan-nya, baginya rangking atau juara, atau apalah sebutannya, menurut perspektifnya itu semua bukanlah sebuah goal dan pencapaian, tetapi makna pendidikan sebenarnya adalah bagaimana menjadi murid yang mampu berpikir kritis, mempunyai relasi luas, berani berbicara, kreatif, dan tidak mentah-mentah menerima semua kurikulum pendidikan. Itulah Zahid.

Dia apatis soal peringkat kelas walaupun jika nantinya dia mendapat nomor satu, ya tetap saja Zahid si kecil tidak peduli. Namun, tiba-tiba Ibu Emilia lupa sesuatu. Ada salah satu murid yang lupa dipanggil. Namanya Hermawan. Namanya terselip.

Sekarang sisa murid yang belum dipanggil ada tiga.

Berarti.....

Ya, ada Zahid, Uzlah, dan satu murid lagi bernama Anggi.

Uzlah mendorong Zahid. “Kau nanti dapat rangking satu!”

Zahid terbelalak. Dia masuk tiga besar. Tapi dia tidak ada ekspresi gembira sedikitpun. Zahid tidak punya ekspektasi apa pun soal peringkat kelas, jadi ketika tidak masuk peringkat membanggakan seperti peringkat satu, tentu dia tidak akan kecewa dan patah hati. Peringkat bukan prioritas baginya.

Tadi Zahid riang gembira sekali karena dia yakin Uzlah akan mendapat rangking pertama, tetapi sekarang dia akan menjadi kompetitor sahabatnya itu. Sekarang Zahid diam tak berekspresi dan justru Uzlah yang senang sekali menyaksikan Zahid bisa masuk tiga besar bersamanya.

Selain karena sifatnya itu, Uzlah selama ini memang menyuruh agar Zahid terus tampil ke depan kelas. Uzlah yang mencari jawaban ketika diberi soal, tapi Zahid yang maju ke depan mengerjakannya. Ya karena Uzlah malu, dan dia ingin agar Zahid bersaing bersama dirinya.

Uzlah mendorong-dorong tubuh Zahid yang keras membatu. “Kan kau ini pintar Zahid. Kau akan dapat rangking satu. Hebat!” Tak pernah Uzlah seceria ini. Tak pernah dia sebahagia ini ketika di sekolah. “Tidak apa-apa aku dapat rangking tiga. Asal kau dapat rangking satu, Zahid!”

Ibu Emilia melanjutkan, “Sebelumnya Ibu memberi selamat kepada teman-teman kita, murid-murid dari Ibu yang sudah berhasil masuk tiga besar. Bukan berarti yang lainnya tidak pintar. Semuanya pintar dan semuanya harus terus rajin belajar. Baiklah Ibu sebutkan yang peringkat tiga kelas.”

Semua murid diam mendengarkan.

“Zahid, ayo maju ke depan kelas!”

Semua murid memberik selamat dan tepuk tangan. Zahid maju ke depan dan mengambil rapornya, terus kembali ke kursinya.

“Peringkat kedua..... Anggi!”

Zahid lalu merangkul Uzlah dengan erat. “Uih, kan, kau dapat rangking satu. Hebat kau, Uzlah!”

Setelah selesai pembagian rapor, Ayahnya Zahid membawa dua anak kecil itu ke Pasar Enam Belas. Beliau tersentuh hatinya setelah tahu bahwa Uzlah seorang yatim. Beliau tak sampai hati ketika tahu tentang kehidupan Uzlah bersama ibu dan adiknya.

Maka pagi hari ini beliau berkeliling pasar. Beliau bermaksud membelikan berbagai perlengkapan sekolah Uzlah supaya anak itu mendapat perhatian yang seharusnya dia dapatkan. Miris rasanya. Beliau akan membelikan apa saja yang dipinta Uzlah.

“Hadiah karena sudah dapat rangking satu,” ungkap beliau dengan penuh rasa kasih.

“Ayah,” ujar si kecil Zahid, “Aku juga mau dibelikan baju baru. Aku kan dapat rangking tiga.”

Beliau tersenyum kecil.

Ayahnya Zahid yang masih mengenakan seragam ASN memasuki beberapa toko, membeli sesuatu lalu masuk juga ke toko lain. Lebih dari satu jam mereka bertiga berkeliling pasar. Beliau membelikan dua anak kecil itu eskrim dan snack.

Uzlah mendapat hadiah baju seragam sekolah berwarna putih dan celana hijau, pakaian seragam pramuka dan dasinya juga, baju koko, peci, sandal, buku tulis, kotak yang berisi perlengkapan menulis seperti, pensil, pena, penghapus, tipex, penggaris, kalkulator.

Uzlah juga mendapat hadiah buku-buku bacaan bergambar, kebanyakan tentang hitung-hitungan dan sains. Dia lebih senang dengan pelajaran seperti itu. Ayah Zahid pun menghadiahkan mainan kepada Uzlah. Beliau anggap Uzlah seperti anaknya sendiri.

Uzlah senang bukan main hari ini. Zahid pun merengek-rengek minta dibelikan sepeda. Oh, ayahnya tidak pelit sekali sama anak. “Nanti pakai sepeda ini buat jemput dan antar Uzlah sekolah,” perintah beliau. Zahid mengangguk-angguk kesenangan.

Beliau mampir ke toko buah dan membeli jeruk, apel, anggur dan melon. Semuanya diberikan kepada Uzlah, nanti buat dimakan bersama ibu dan adiknya. Beliau juga beli roti dan susu, ya untuk keluarga Uzlah juga.

Barang dan makanan penuh di sekitar sepeda motor beliau. Tangan Zahid dan Uzlah juga susah menenteng kantong plastik yang berisi segala macam keperluan sekolah. Dan sesampainya di rumah Uzlah, ayah Zahid segera berpamitan karena akan langsung berangkat ke kantor Dinas Pendidikan Provinsi.

Ibu Mirna sangat berterima kasih sekali atas semua pemberian ini. Sebelum pergi, ayah Zahid memberi uang dua juta rupiah, uang untuk berobat dan tambahan modal berjualan. Zahid dan ayahnya pulang.

Di perjalanan, di atas motor itu, ayahnya berucap bijak, “Ayah yakin Uzlah akan menjadi sahabat dekatmu dan kompetitormu dari kecil sampai dewasa, Anakku.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!