Zahid bersiap dan sudah berpakaian rapi ditemani sang ayah. Sang Ayah menghidupkan motor bebek Legenda-nya dan memanaskannya sebentar di halaman rumah. Sebelum pergi beliau sempat menyerput kopi hitam terlebih dahulu. Beliau sudah izin kepada Kepala Dinas bahwa hari ini agak telat sedikit berangkat kerja.
“Kita jemput Uzlah dulu, Ayah.”
Zahid lalu duduk di boncengan belakang, memeluk ayahnya dengan erat. Perjalanan dari rumah Zahid ke rumah Uzlah tidak begitu lama. Kalau pakai sepeda motor dan tidak ada kemacetan hanya sekitar lima menit saja. Yang buat agak terhambat paling jalanan di sekitar pasar apalagi waktu pagi seperti sekarang ini.
Legenda itu berhenti di dekat sebuah pondok jualan sederhana. Hari ini Bu Mirna tidak berjualan dan tidak bisa menemani anaknya mengambil rapor sekolah karena sakitnya kambuh. Makanya beliau beberapa hari ini lebih banyak di rumah saja.
Zahid melompat dari sepeda motor, lalu berlari ke arah pintu rumah kontrakan tempat tinggal Uzlah. Ditangannya memegang sebuah kantong plastik bertuliskan homyped. Zahid mendapati Uzlah baru saja selesai mengenakan pakaian dan akan keluar dari rumah.
“Pakai sepatu ini,” ujar Zahid semangat.
“Apa ini Zahid? Ulang tahunku sudah lewat jauh.”
“Hadiah untuk siswa rangking satu. Ayahku yang beli ini untukmu. Pakailah Uzlah! Ada kaos kakinya juga.” Padahal rapor belum dibagikan, tetapi Zahid yakin dialah orangnya.
Uzlah senang sekali rasanya. Dia langsung membuka kotak sepatu itu, lalu mengenakan kaos kaki dan sepatunya. Pas! Baru hari ini dia ketika berjalan tidak kesusahan. Kemarin-kemarin Uzlah kalau berjalan tidak bisa cepat, kalau salah gerakan sedikit saja, maka sepatunya terlepas.
Ayahnya Zahid menghidupkan mesin sepeda motornya lagi. Zahid naik lalu disusul Uzlah duduk di boncengan paling belakang. Angin kencang menerjang-nerjang tubuh mereka selama di perjalanan, badan mereka terpantul-pantul pas melewati jalan tidak rata.
Sesampai di depan gerbang sekolah, Zahid dan Uzlah berpamitan, sementara ayahnya Zahid menunggu di sekitaran luar sekolah bersama para orangtua murid yang lain. Dua anak kecil itu masuk ke kelas berbarengan. Kelas belum terisi penuh oleh siswa-siswi. Masih banyak yang belum datang.
Tak lama setelah itu Bu Emilia tiba dengan membawa tumpukan-tumpukan rapor para siswa-siswi. Beliau tersenyum bangga melihat para muridnya dapat menyelesaikan semua pelajaran di semester satu ini. Akhirnya lebih dari empat bulan belajar, mereka akan menerima hasil belajar mereka.
Ibu Emilia menasihati, “Nanti semester dua belajarnya harus lebih rajin ya. Kalau bisa semuanya rangking satu.”
Di deretan kursi paling belakang dan paling pojok, Zahid mendorong pundak Uzlah sambil berucap, “Aku yakin kau dapat rangkin satu, Uzlah.”
Uzlah hanya diam. Dia tidak percaya diri walaupun seisi kelas dan Ibu Emilia sudah menilai bahwa dia orangnya sungguh pintar. Pada semester satu ini Uzlah tampil mempesona di setiap mata pelajaran, baik itu bahasa, berhitung, agama, seni, semuanya kecuali olahraga di lapangan, namun ketika olahraga teori dia tetap nomor satu.
Uzlah selalu mengerjakan PR. Jika diberikan tugas latihan, dia orang pertama yang mengumpulkan tugasnya. Jika guru mendikte dan menulis sesuatu di papan tulis, dia pasti mencatatnya dan tidak ada satu huruf yang yang terlewat. Ketika di rumah Uzlah akan mempelajarinya kembali, menghafal dan mengingatnya.
Selain praktik olahraga, satu hal lagi kekurangan Uzlah, yaitu dia tidak ada nyali untuk unjuk gigi di depan kelas, tidak ada rasa percaya diri ketika guru menyuruhnya agar menulis sesuatu di papan tulis atau mengatakan sesuatu di hadapan teman-temannya. Cuma itu minusnya dia. Selebihnya semua akan diborong habis.
Selanjutnya Ibu Emilia menyebut satu per satu nama murid berdasarkan abjad dan membagikan rapor kepada mereka. Beliau menyisakan tiga nama, yakni murid yang berada di peringkat tiga, dua, dan satu. Tiga murid kebanggan.
Beliau sudah memanggil tiga puluh murid dan menyisakan empat lagi. Pada saat ini Zahid agak penasaran, kira-kira dia masuk atau tidak di tiga besar. Sementara urutan absennya adalah yang paling akhir di antara siswa. Oh, tentu tidak masuk sebab tiga besar tidak ada namanya dengan inisial Z.
Bagi Zahid, bisa masuk sepuluh besar saja sudah bangga, apalagi tiga besar. Dia tidak terlalu mempedulikan soal rangking kelas. Sejak dini Zahid sudah mempunyai konsep kurikulum pendidikan secara independen, yaitu pendidikan yang didapatkan terpenting substansial-nya, bukan formalitas. Baginya, rangking hanyalah sebuah formalitas, bukan sisi praktis sebuah pendidikan.
Tapi sekali lagi, apa mungkin dia masih berpeluang masuk tiga besar? Sebuah believe system yang tertanam sejak kecil, paradigma pendidikan-nya, baginya rangking atau juara, atau apalah sebutannya, menurut perspektifnya itu semua bukanlah sebuah goal dan pencapaian, tetapi makna pendidikan sebenarnya adalah bagaimana menjadi murid yang mampu berpikir kritis, mempunyai relasi luas, berani berbicara, kreatif, dan tidak mentah-mentah menerima semua kurikulum pendidikan. Itulah Zahid.
Dia apatis soal peringkat kelas walaupun jika nantinya dia mendapat nomor satu, ya tetap saja Zahid si kecil tidak peduli. Namun, tiba-tiba Ibu Emilia lupa sesuatu. Ada salah satu murid yang lupa dipanggil. Namanya Hermawan. Namanya terselip.
Sekarang sisa murid yang belum dipanggil ada tiga.
Berarti.....
Ya, ada Zahid, Uzlah, dan satu murid lagi bernama Anggi.
Uzlah mendorong Zahid. “Kau nanti dapat rangking satu!”
Zahid terbelalak. Dia masuk tiga besar. Tapi dia tidak ada ekspresi gembira sedikitpun. Zahid tidak punya ekspektasi apa pun soal peringkat kelas, jadi ketika tidak masuk peringkat membanggakan seperti peringkat satu, tentu dia tidak akan kecewa dan patah hati. Peringkat bukan prioritas baginya.
Tadi Zahid riang gembira sekali karena dia yakin Uzlah akan mendapat rangking pertama, tetapi sekarang dia akan menjadi kompetitor sahabatnya itu. Sekarang Zahid diam tak berekspresi dan justru Uzlah yang senang sekali menyaksikan Zahid bisa masuk tiga besar bersamanya.
Selain karena sifatnya itu, Uzlah selama ini memang menyuruh agar Zahid terus tampil ke depan kelas. Uzlah yang mencari jawaban ketika diberi soal, tapi Zahid yang maju ke depan mengerjakannya. Ya karena Uzlah malu, dan dia ingin agar Zahid bersaing bersama dirinya.
Uzlah mendorong-dorong tubuh Zahid yang keras membatu. “Kan kau ini pintar Zahid. Kau akan dapat rangking satu. Hebat!” Tak pernah Uzlah seceria ini. Tak pernah dia sebahagia ini ketika di sekolah. “Tidak apa-apa aku dapat rangking tiga. Asal kau dapat rangking satu, Zahid!”
Ibu Emilia melanjutkan, “Sebelumnya Ibu memberi selamat kepada teman-teman kita, murid-murid dari Ibu yang sudah berhasil masuk tiga besar. Bukan berarti yang lainnya tidak pintar. Semuanya pintar dan semuanya harus terus rajin belajar. Baiklah Ibu sebutkan yang peringkat tiga kelas.”
Semua murid diam mendengarkan.
“Zahid, ayo maju ke depan kelas!”
Semua murid memberik selamat dan tepuk tangan. Zahid maju ke depan dan mengambil rapornya, terus kembali ke kursinya.
“Peringkat kedua..... Anggi!”
Zahid lalu merangkul Uzlah dengan erat. “Uih, kan, kau dapat rangking satu. Hebat kau, Uzlah!”
Setelah selesai pembagian rapor, Ayahnya Zahid membawa dua anak kecil itu ke Pasar Enam Belas. Beliau tersentuh hatinya setelah tahu bahwa Uzlah seorang yatim. Beliau tak sampai hati ketika tahu tentang kehidupan Uzlah bersama ibu dan adiknya.
Maka pagi hari ini beliau berkeliling pasar. Beliau bermaksud membelikan berbagai perlengkapan sekolah Uzlah supaya anak itu mendapat perhatian yang seharusnya dia dapatkan. Miris rasanya. Beliau akan membelikan apa saja yang dipinta Uzlah.
“Hadiah karena sudah dapat rangking satu,” ungkap beliau dengan penuh rasa kasih.
“Ayah,” ujar si kecil Zahid, “Aku juga mau dibelikan baju baru. Aku kan dapat rangking tiga.”
Beliau tersenyum kecil.
Ayahnya Zahid yang masih mengenakan seragam ASN memasuki beberapa toko, membeli sesuatu lalu masuk juga ke toko lain. Lebih dari satu jam mereka bertiga berkeliling pasar. Beliau membelikan dua anak kecil itu eskrim dan snack.
Uzlah mendapat hadiah baju seragam sekolah berwarna putih dan celana hijau, pakaian seragam pramuka dan dasinya juga, baju koko, peci, sandal, buku tulis, kotak yang berisi perlengkapan menulis seperti, pensil, pena, penghapus, tipex, penggaris, kalkulator.
Uzlah juga mendapat hadiah buku-buku bacaan bergambar, kebanyakan tentang hitung-hitungan dan sains. Dia lebih senang dengan pelajaran seperti itu. Ayah Zahid pun menghadiahkan mainan kepada Uzlah. Beliau anggap Uzlah seperti anaknya sendiri.
Uzlah senang bukan main hari ini. Zahid pun merengek-rengek minta dibelikan sepeda. Oh, ayahnya tidak pelit sekali sama anak. “Nanti pakai sepeda ini buat jemput dan antar Uzlah sekolah,” perintah beliau. Zahid mengangguk-angguk kesenangan.
Beliau mampir ke toko buah dan membeli jeruk, apel, anggur dan melon. Semuanya diberikan kepada Uzlah, nanti buat dimakan bersama ibu dan adiknya. Beliau juga beli roti dan susu, ya untuk keluarga Uzlah juga.
Barang dan makanan penuh di sekitar sepeda motor beliau. Tangan Zahid dan Uzlah juga susah menenteng kantong plastik yang berisi segala macam keperluan sekolah. Dan sesampainya di rumah Uzlah, ayah Zahid segera berpamitan karena akan langsung berangkat ke kantor Dinas Pendidikan Provinsi.
Ibu Mirna sangat berterima kasih sekali atas semua pemberian ini. Sebelum pergi, ayah Zahid memberi uang dua juta rupiah, uang untuk berobat dan tambahan modal berjualan. Zahid dan ayahnya pulang.
Di perjalanan, di atas motor itu, ayahnya berucap bijak, “Ayah yakin Uzlah akan menjadi sahabat dekatmu dan kompetitormu dari kecil sampai dewasa, Anakku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments