14. Esterogen

Suasana di depan kelas hiruk-pikuk, ramai para murid berseragam putih abu-abu ini hilir mudik. Ada yang pergi menuju kantin dalam atau juga ke warung luar sekolah sana atau pun sebaliknya, kembali ke kelasnya, atau juga duduk-duduk di taman sekolah.

Tiba-tiba ada seorang gadis yang menghampiri Zahid dan Uzlah yang tengah duduk di kursi depan kelasnya. Gadis itu bersama dua orang temannya. Sebenarnya berempat, tapi satunya lagi hanya melihat dari kejauhan.

“Ada salam dari temanku, cewek kelas 10.2, namanya Devrieya,” kata Ully. Lantas mereka langsung pergi ke arah kantin.

Zahid yang jadi lawan bicara mereka barusan terbingung-bingung, siapa itu Devrieya?

“Nah, katanya mau punya pacar, kebetulan tuh, pas kan,” kata Uzlah.

“Benar juga ya. Tapi kok dia mau sama aku. Kapan kami pernah bertemu?”

Sepulang sekolah Zahid yang ditemani Uzlah bercokol di depan kelas 10.2, tepat di samping kelasnya 10.1, mereka berdua menanti-nanti gadis yang bernama Devrieya itu.

Sementara Devrieya yang sudah tahu keberadaan Zahid di luar sana, di mana dia lihat dari jendela, jadi malu dan gugup tidak mau pulang. Semua murid sudah pada keluar kecuali empat orang gadis ini, termasuk Devrieya.

Semua gadis itu mengenakan kerudung dan beranderok panjang. Di sekolah ini tidak membuat aturan ketat soal seragam yang digunakan. Banyak juga yang mengenakan anderok pendek.

Devrieya memiliki mata yang agak sedikit kecil dan tipis, lensa matanya hitam sekali, bagian putihnya begitu jernih. Alisnya tebal dan melengkung seperti orang Arab, bulu matanya panjang dan lentik.

Pipinya pure, bibirnya merah merona, dan dagunya lancip. Sikapnya juga bagus dilihat dari cara duduknya yang tegak dan tenang. Jiwa feminimnya tampak dari cara berbicara dan sikapnya yang ayu.

Waktu pertama Devrieya melihat Zahid adalah ketika MOS tempo hari. Saat itu Zahid sedang berbicara di hadapan murid baru dan murid senior di tengah lapangan. Zahid berorasi hebat seperti calon presiden ketika sedang berkampanye.

Juga pada saat Zahid berfoto-foto di Punti Kayu, salah satu objek wisata alam di Palembang, Devrieya melihat gaya Zahid yang cool dan good looking meskipun dengan pakaian yang tidak begitu rapi.

Dari situlah awal kekaguman Devrieya. Selebihnya cerita dari temannya di kelas 10.1, bahwa Zahid ini pintar pelajaran eksak, sama seperti dirinya, makanya dia makin kepincut agar bisa kenal dekat Zahid.

Nah, Zahid dan Uzlah masih saja tengok sana sini mencari gadis yang dimaksud, tapi tidak ketemu juga. Apa mungkin gadis yang dimaksud sudah pulang?

Ully, Septi, dan Hanna buru-buru menyuruh Devrieya agak cepat-cepat keluar. Tapi gadis itu masih malu-malu. Masih saja sibuk menata kerudungnya yang sudah rapi dari tadi.

“Dia tidak suka cewek menor,” beber Septi. “Itu kata kawan aku yang sekelas sama dia.”

“Katanya dia hobi olahraga,” timpal Hanna.

“Ayo ayo cepat, nanti dia keburu pulang!” pungkas Ully.

Dan akhirnya mereka berempat beranjak keluar kelas. Pas keluar dari mulut pintu, Devrieya menoleh ke arah sebelah kanan, tepat ke arah dua siswa yang sedang berdiri dan bersandar.

Sadar atau tidak sadar, dengan logikanya yang cemerlang, Zahid sudah bisa menebak yang mana Devrieya. Ya gadis berkerudung yang pakai sweater pink itu, itu pasti orangnya, tidak mungkin meleset.

Keempat gadis itu berjalan melewati dua orang siswa yang tengah terpancang, mereka melenggang menuju tangga, tapi sebelum turun tiba-tiba ada teriakan dari arah belakang punggung mereka.

“Devrieya!” jerit Zahid, tangan kirinya berpetak umpet di saku dan tangan kanannya mengoles dagu.

Pas, gadis yang tadi diprediksinya itu adalah Devrieya benar-benar menoleh. Cuma dia yang menoleh ke belakang.

Lalu saat pandangan mereka saling bertumbukan dari jarak lebih dari sepulu meter, ketika mata mereka saling menghunjam tajam, waktu itulah kedua hati manusia menyatu dalam harmoni kisah kasih.

Zahid lantas menghampiri mereka. “Kau yang namanya Devrie?”

Gadis yang ditanya mengangguk pelan sekali. Sementara ketiga temannya turun tangga dan meninggalkannya sendiri bersama Zahid. Kemudian Zahid memberikan cokelat batang kepadanya.

“Hadiah salam kenal. Zahid.”

“Terimakasih, Zahid.” Devrieya tersenyum malu.

“Yasudah hati-hati pulangnya. Oh ya dijemput atau pakai kendaraan sendiri?”

“Dijemput. Papa sudah menunggu di depan gerbang. Aku duluan ya.”

“Sampai jumpa besok.”

Di dekat gerbang sekolah, Alphard putih itu sudah dari tadi di sana, Devrieya masuk ke dalamnya.

“Kita cari makan dulu, Nak.”

“Oke, Pa.”

***

Sabtu, pas jam istirahat, di kelas 10.2.

Zahid duduk berdampingan dengan Devrieya. Tak ada malu lagi cowok satu ini.

“Kalian pasti lapar, terus bisa jadi Bu Kantin lagi nungguin kalian bertiga tuh. Ayo cepat kesana. Nanti kantin penuh lagi.”

Ully, Septi, dan Hanna beringsut meninggalkan mereka berdua. Pipi Devrieya makin merah saja, makin tersipu-sipu, malu, bertalu-talu.

“Mukanya jangan ditekuk seperti itu Dev. Biasa saja. Aku tidak bakal gigit kok.”

“Iya, iya.”

“Kau mau makan apa?”

“Mau ditraktir nih?”

Zahid menggeleng. “Kan aku cuma nanya, mau makan apa?”

Devrieya tertawa kecil. “Makan orang sih.”

“Ann... jjiirr... Sumanto juga ni bocil.”

“Lagi pengen aja.”

“Kanibalisme dilarang oleh agama dan negara, Dev. Bangsa manusia seperti kita ini cukuplah jadi omnivora saja. Kalau emang manusia boleh dimakan, kau mau makan bagian mana?”

“Bibirnya dulu, mau diemut.”

“Ann... jjiirr... ni bocah hobi juga yaakk. Ngelawak neng?”

“Lewat masa haid, seru aja gitu. Gak sensi, gak mood-mood-an, gak bosenan. Lagi pengen asyik aja.”

“Jangan bilang kalau sekarang lagi masa subur.”

“Huft. Penjelasan yang Anda sampaikan terlalu delapan belas plus, calon profesor.”

“Siapa yang mau merontokkan jemb.... eh salah... rambut. Aku mau jadi apa adanya sajalah.”

“Zahid, aku mau tanya sama kamu. Kenapa ya cowok itu ada?”

Zahid lantas menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Anda mau ngetes logika dasar saya, Nyonya?”

“Tentu saja. Sebagai calon imam saya nanti.” Devrieya melirik Zahid lekat-lekat. Biji matanya semakin ke kiri. “Anda harus punya logika yang cemerlang. Buktikan!”

“Oke. Oke. Siap! Sekarang kita bahas dulu yang membedakan antara cowok dan cewek, perbedaan yang paling mencolok ya tentunya, cowok itu punya t!tit dan biji, beda tuh sama cewek, cewek gak ada kan.”

“Astaaagaaaa... kok ngomongin itu sih. Logika kamu tuh... receh sekali yak rupanya.”

“Kan belum selesai beebbhh...”

“Hah?! Kau apa bilang apa?!” Mata gadis itu terbelalak.

Sekitar sepuluh orang di kelas itu sekonyong-konyong menghunjamkan pandangannya ke arah Zahid. Entah apa yang ada di pikiran mereka.

“Yah kan aku belum selesai beebbhh.. begini yah. Kalau tidak ada cowok, tidak akan ada cewek.”

Cepat-cepat Devrieya memutus. “Bagaimana bisa? Manusia kan lahir dari rahim seorang ibu. Ayah gak ada rahim, bego!”

“Kalau t!titnya gak dimasukkin, emang manusianya bakal jadi? Kan begitu logika dasarnya, Bebbhh.”

Devrieya menutup wajah. “Astaagaa ni bocah putih abu-abu!”

“Aku lanjutin yah. Kalau tidak ada cowok maka tidak ada cewek. Dan kalau tidak ada cewek maka tidak ada cowok.”

“Selesai? Rendah sekali IQ-mu, Zahid!”

“Kalau tidak ada cowok maka tidak ada yang kasih nafkah. Kalau tidak ada yang kasih nafkah maka istri dan anak tidak makan dan anak tidak sekolah. Kalau tidak makan bisa mati. Kalau tidak sekolah bisa bego. Kalau bego maka susah cari kerja. Kalau nganggur ya tidak bakal ada duit. Kalau gak ada duit jadi ngutang. Kalau ngutang nyusain orang. Kalau nyusain orang ya harus kerja. Kalau kerja bisa dapat duit. Kalau punya duit buat nikah sama Devrieya. Kalau sudah nikah sama Devrieya pengennya punya anak cowok. Kalau ada anak cowok nanti dia bisa kasih nafkah. Kalau dikasih nafkah nanti bisa makan dan sekolah. Kalau....”

“Stop! Stop!” Devrieya menutup hidungnya dengan telunjuk, lalu melipat tangannya di dada.

“Bagaimana logika dasar saya, Bu Guru? Cerdas kan?”

“Kok aku tiba-tiba kenyang yah. Kita keluar kelas yuk!”

Lantas Zahid dan Devrieya berdiri dari lantai dua ini dan mengawa ke bawah, ke arah lapangan sekolah dan lapangan parkir.

“Dev, coba lihat enam gerombol bocil itu. Anjj.. jiirrr. Lihat itu cowok masih saja konsumsi tempe.”

“Emang kenapa kalau dia makan tempe, Zahid. Apa yang aneh?”

“Pertama dia makan tempe. Kedua cowok itu dikelilingi lima cewek. Premis pertama, dia menyerap hormon fitoestrogen yang mirip dengan hormon esterogen secara biologis. Premis kedua, dia juga menyerap hormon esterogen secara psikologis dengan cara duduk dan ngobrol bersama para cewek. Konklusinya adalah jiwa kebencongannya akan semakin meningkat drastis!”

“Ha ha. Baik, saya akan menyanggah argumen ilmiah Anda dengan argumen ilmiah juga, bukan berarti saya membela coooww.. eh ceeww... cowook itu yah. Cuma meluruskan. Begini, riset yang pernah saya baca bahwa kedelai merupakan protein nabati yang mengandung asam amino esensial jadi sangat bermanfaat bagi tubuh. Studi yang mengatakan bahwa kedelai mempengaruhi hormon testosteron pada pria masih terdapat kontroversi antar kalangan ilmuwan. Akan saya jelaskan lebih rinci, protein pada kedelai mengandung sejumlah besar isoflavon fitoesterogen yang berubah menjadi zat estrogenik dengan sifat hormonal potensial. Tapi dalam sebuah meta-analisis, melaporkan bahwa protein kedelai dan isoflavon itu tidak mempengaruhi kadar testosteron pada cowok. Begitu.”

“Hm. Riset di laboratorium terkadang kontraproduktif dengan realitas di lapangan. Itu coba lihat bencong itu! Satu jam kedepan jiwa kebencongannya akan bertambah setelah makan tiga potong tempe goreng. Lihatlah! Ha ha.”

“Kapan terakhir kau makan tempe, Zahid?’

Tiba-tiba Zahid bergidik.

“Hei, kapan terakhir, dan berapa puluh kilogram kau habiskan tempenya?”

“Ehh. Kemarin deh kalau tidak salah. Cuma dua potong kok. Tapi sugesti yang aku tanamkan pada diriku adalah soal kandungan proteinnya itu lho, Dev, biar nambah massa otot, biar badanku berisi dan bagus.”

“Kau ini pintar sekali ngeles.”

“Kalau ngeles harus pakai kacamata iron man.”

“Itu ngelas, idiot!” cerca Devrieya.

“Dev, coba lihat dua cewek berbadan gendut itu, yang lagi pegang bungkus bakso colok.”

“Ya, kenapa pula itu mereka.”

“Kira-kira, penyebab utama kegemukan mereka itu gara-gara apa, obesitas, keturunan, atau hobi makan?”

Devrieya mengoles dagu. “Hobi makan deh kayaknya, alasannya adalah lihatlah, sambil jalan saja makan, apalagi pas makan, pasti sambil makan.”

“Ha ha ha.” Zahid jadi Squidward. “Faktor keturunan bisa juga, Bebbhh. Soalnya aku pernah lihat ibu salah satu di antara mereka badannya juga super double. Ingat Akai, I’m not fat, just chubby.”

“Zahid! Tidak boleh hate speech!”

“Bukan, bukan! Itu bukan ujaran kebencian. Argumen tersebut merupakan sebuah hasil dari analisa logis dari fakta otentik yang terlihat dengan begitu jelas dan objektif. At least, mayoritas orang berakal sehat akan sependapat dengan pemikiranku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!