Cukup satu hari saja bagi Zahid belajar bersepeda roda dua. Sempat dia terjatuh dua kali dan kakinya ada luka karena berdebam menyentuh aspal. Hari kedua dan selanjutnya Zahid bersepeda jauh, keinginannya di masa libur sekolah ini bisa bersepeda bersama Uzlah.
Pagi ini dia pergi ke rumah Uzlah. Sesampainya di sana, dia mendapati Bu Mirna sedang berjualan dan melayani beberapa pembeli. Beliau sibuk seorang diri, untungnya sekarang beliau sehat dan bersemangat mencari nafkah.
“Di mana Uzlah, Bu?” tanya Zahid ngos-ngosan.
“Oh, Nak Zahid. Dia lagi berjualan es keliling jalan kaki.”
“Ke mana arahnya bu?”
“Ke arah pasar. Baru saja pergi dia. Susul sana.”
Zahid melompat ke arah sepedanya lagi, mengayuh dengan kencang, melewati jalanan setapak yang berliku-liku sampai ke luar gang. Beberapa kali si kecil itu berpapasan dengan sepeda motor. Dari kecil dia sudah jadi pemberani dan tak takut akan sesuatu yang membahayakannya.
Zahid melaju di sekitar pasar yang ramai. Dia mengerling mencari keberadaan Uzlah. Dan setelah sekian lama, akhirnya dia melihat seorang anak kecil usia sekitar enam tahun sedang berkeliling pasar, menenteng es bucket warna hijau, tertatih-tatih kesana-kemari, meneriaki orang-orang agar membeli dagangannya.
Zahid segera mendekatinya. “Katanya hari ini mau belajar main sepeda, ayo!”
“Oh, Zahid, kau rupanya. Hari ini aku berjualan. Besok-besok juga. Pokoknya selama libur ini aku jualan. Nanti siang atau sore kalau daganganku habis baru boleh bisa main.”
“Ya sudah kalau begitu, Uzlah, nanti akan aku temani kau jualan. Ayo naik ke sepeda. Kita jualan sama-sama.”
Zahid mengayuh sepedanya dengan kuat, sementara Uzlah duduk di belakangnya dengan perasaan ngeri. Zahid baru juga bisa bersepeda, khwatirnya nanti kenapa-kenapa. Uzlah meletakkan es bucket di atas pangkuannya dan mendekapnya dengan erat, jangan sampai terjatuh.
“ES... ES...” jerit Zahid semangat. Yang mereka jual adalah es batang seukuran pisang dengan berbagai varian rasa, seperti coklat, vanila, stroberi, dan jeruk. Harganya lima ratus rupiah. Uang itu Uzlah kumpulkan buat biaya sekolah, jajan, dan semua keperluannya. Selebihnya dia tabung.
Ada seorang ibu-ibu baru selesai belanja sembako menghampiri mereka berdua. “Ibu beli empat. Rasa coklat semua. Untuk anak ibu di rumah. Nah ini duitnya.”
Zahid membuka tutupnya, lalu mengambil pesanannya dan menyerahkannya pada ibu itu. “Terimakasih, Bu,” serunya girang sekali. Zahid begitu semangat sekali. Dia yang paling sering berteriak dan melayani pembeli. Tak kurang dari satu jam, dua puluh es nya ludes terjual. Lalu Zahid mengantar Uzlah pulang.
Zahid meminta izin kepada Bu Mirna supaya diberikan kesempatan untuk bermain bersama Uzlah. Sebelum itu Bu Mirna menyiapkan satu porsi pempek buat Zahid. Kenyang sekali dia siang ini.
Zahid terus mengayuh kencang sepedanya ke arah lapangan bermain di sekitar Kampung Kampitan, di pinggir Sungai Musi. Tebat di seberangnya ada plaza Benteng Kuto Besak. Tak jauh dari sana ada Jembatan Ampera.
“Ayo Uzlah, naiklah, kau pasti bisa!”
“Aku belajar dulu ya.” Uzlah duduk di atas sepeda kecil itu dan tangannya kuat memedang setang. Agak gugup karena baru pertama. “Jangan ketawa kalau aku jatuh.”
Zahid tersenyum lebar. “Aku tidak akan menertawakanmu, Kawan. Aku juga kemarin terjatuh. Ini lukanya.”
Uzlah menaikkan telapak kaki kanannya di atas pedal, sementara kaki kirinya mencoba mendorong sepeda ke arah depan. Terus sampai lima kali sentuhan ke tanah. Setangnya belingsatan ke kiri dan ke kanan. Badannya goyang.
Uzlah menyetop sepedanya, lalu kembali melakukan gerakan seperti sebelumnya. Dia yakin bisa. Terus akan mencoba. Sampai bisa. Pas di turunan, sepedanya meluncur deras tanpa hambatan, Uzlah berhasil menjaga keseimbangan badannya.
Angin menerjang-nerjang wajah lucunya itu. Sementara tangannya tetap kuat memegang setang dan jari-jarinya siap menekan rem. Sepeda itu ngebut sekali. Sekali Uzlah membelokkannya sedikit untuk menghindari tumpukan batu.
Tiba-tiba...
BRRAAKK....
Uzlah menabrak becak, beradu kambing.
Zahid dari dari kejauhan melihat peristiwa barusan. Lantas dia berlari kencang ke arah sana. Matanya membelalak dan sangat terkejut sekali melihat Uzlah tersungkur di jalanan. Mamang becak segera membangunkan Uzlah.
Syukurnya Uzlah tidak apa-apa. Siku dan lututnya lecet karena habis berbenturan dengan aspal kering. Untuk hanya dua itu yang luka. Kepalanya tidak apa-apa. Zahid dengan beringas tiba di sana.
“Mamang ini bagaimana sih bisa nabrak kawan aku?! Obati Mang, tanggung jawab!”
“Jangan marah, Zahid, memang salah aku. Kan aku masih belajar. Seharusnya aku tidak melaju sampai ke jalan besar. Seharusnya cuma di lapangan itu.”
“Mamang ini kan lihat. Seharusnya dia minggir, jangan sampai nabrak. Tanggung jawab, Mang!”
Mamang becak yang sudah tua renta itu akhirnya membawa Uzlah ke Puskesmas. Sementara Zahid tak peduli dengan sepedanya yang hampir rusak. Setangnya agak pincang sebelah kanan. Tapi segera dia betulkan sendiri.
Uzlah duduk lemas dalam becak. Sementara Zahid terus mengayuh sepedanya di belakang becak itu. Sesampai di Puskemas, Uzlah masuk ruang pasien perawatan. Lukanya dibersihkan, diberi obat merah, lalu diperban.
Mamang becak meminta maaf atas kejadian tersebut. Zahid masih saja marah. Sementara Uzlah sabar dan tidak banyak komen. Sampai akhirnya mamang becak tersebut membawa Uzlah sampai ke rumahnya.
Dengan terpaksa Uzlah mesti libur dulu jualan selama beberapa hari dan juga libur dulu belajar bersepeda bersama Zahid.
Satu minggu kemudian.
Uzlah pulih dan kembali siap belajar bersepeda. Tidak seperti Zahid yang atraktif dan enerjik, Uzlah agak canggung dan gerakannya agak lambat, karena itu butuh waktu lebih dari seminggu buat dia bisa bersepeda.
Dan ketika dia bisa melakukannya, sekarang dia yang membonceng Zahid. Mereka berdua bersepeda ke mana-mana. Jika capek, mereka bergantian. Jadi banyak waktu yang mereka habiskan dengan bersepeda.
Pergi pulang sekolah naik sepeda. Jualan es bersepeda. Disuruh Bu Mirna ke warung bersepeda. Beli makan bersepeda. Semua dengan bersepeda. Naik sepeda bahkan bersepeda. Hebat betul itu sepeda.
***
Suatu sore di akhir Desember. Air pasang besar. Setelah bersepeda bersama Uzlah, Zahid berdiri terpancang di pinggir pagar menghadap Sungai Musi. Sambil melipat tangan di dada, bocah ingusan itu mengawasi kapal-kapal yang sedang terparkir di pinggiran sungai dan bersandar di sekitaran dermaga.
Ada beberapa orang yang sedang memancing di sekitar sungai. Sementara orang-orang kapal sibuk kesana-kemari membawa barang dagangan dari pasar untuk di taruh di kapal, barang-barang itu akan dibawa ke luar Palembang, salah satunya daerah Sungsang.
Yang dikirim dari Palembang ke luar daerah itu meliputi, beras, gula, gandum, minyak, makanan ringan, segala jenis minuman pabrik, rokok, peralatan memasak, pakaian, dan segala macam isi rumah serta apa saja isi warung.
Sebab makanan dan barang tersebut tidak hanya dikonsumsi atau dipakai pribadi, melainkan akan dijual kembali di sana. Kuli-kuli angkut barang, baik di dermaga Pasar Enam Belas maupun dermaga di sekitaran daerah Seberang Ulu ini banyak jumlahnya.
Oh, Zahid menghunjamkan pandangannya ke arah sungai yang berwana kuning kecokelatan ini. Kemudian dia menoleh ke belakang dan mendapati Uzlah tengah duduk sambil minum es kacang merah, mungkin dia lelah.
“Aku mau mandi!”
“Zahid, memang kau bisa berenang?”
“Rumahku kan dekat dengan dam, ada sungai kecil di kampungku Uzlah. Kalau air pasang besar, kami di sana asyik mandi. Karena sudah terbiasa ya tentu aku bisa berenang.”
“Nanti ajari aku ya. Malu orang Palembang tidak bisa berenang.”
“Siap, temanku! Tapi sekarang aku mau nyebur dulu. Hari sudah sore juga. Biar nanti pulang basah-basah. Langsung mandi lagi di rumah.”
Zahid si kecil memanjat pagar besi yang setinggi badannya. Sempat dia berdiri sebentar di atas pagar. Sekitar dua detik dia mampu berdiri sambil membentangkan tangannya seolah sedang berada dalam acara sirkus.
Lalu dia melompat tinggi sekali. Begitu enerjik bocil satu ini. Pas melayang di udara, dia berteriak kencang, “Aaaaa...” Mulutnya menganga dan wajahnya menyeringai bahagia. Saat akan menyentuh air, dia lipat tubuhnya menjadi seperti batu, tangannya merengkuh lutut yang bertekuk itu.
Uiiinngg...
Byyaarr....
Zahid tenggelam sejauh tiga meter. Badannya yang kecil menembus air yang keruh. Gelembung-gelembung dari hembusan napasnya naik ke atas, bergelubuk-gelubuk semarak. Lalu dia ayunkan kaki dan tangannya agar tubuhnya melayang ke atas sambil matanya tetap dalam keadaan tertutup.
Kepalanya nongol sambil menyemburkan air yang tadi masuk ke mulut dan hidungnya, lalu air itu meluncur deras ke udara. Selanjutnya Zahid menarik oksigen banyak-banyak melalui mulutnya yang termonyong-monyong dan menghembuskannya banyak-banyak melalui hidung.
Uzlah segera berlari ke dekat pagar dan menempelkan badannya ke pagar itu. Dia terpukau melihat Zahid sedang bermegal-megol di atas air. Takjub sekali dia menyaksikan Zahid sedang melayang-layang di atas air.
Dari bawah Zahid menjebilinya.
Uueekkk....
“Zahid, ajari aku berenang!”
Sontak Zahid mengambil napas kuat melalui hidung, lalu menenggelamkan kepalanya. Lima detik Zahid menghilang. Lantas Uzlah memegang kepalanya karena bingung keheranan. Di mana Zahid? Apa dia tenggelam dan dibawa arus?
Air sedang pasang besar sekarang. Ombaknya dar hulu ke hilir juga amat deras. Memang di sekitara sini banyak kapal dan perahu yang bersandar, jadi ombak di pinggir sini tidak sekencang di tengah sungai sana.
Tapi tetap saja Uzlah khwatir. Zahid, anak usia enam tahun itu, mandi di Sungai Musi? Uzlah mengedarkan pandagannya kesana-kemari. Lalu dia menggeser badannya ke kiri, pandangannya tetap ke bawah, mencari-cari Zahid.
10 detik Zahid tetap tidak muncul. Uzlah makin was-was saja. Sementara hari makin lama makin sore. Sebentar lagi tiba waktu maghrib. Orangtua mereka pasti sedang khawatir karena sampai sekarang mereka belum juga pulang.
15 detik!!!
Uzlah panik. Dia ingin menyeburkan dirinya tapi tidak mungkin. Uzlah meneriaki seseorang di arah kapal sana, tapi orang itu tidak mendengar. Dia ingin minta tolong kepada orang-orang yang ada di sana. Uzlah tambah panik.
Oh, Zahid si kecil itu....
20 detik!!!
Masih saja tidak nongol. Uzlah tersandar lemas memegangi pagar besi yang berkarat ini. Matanya belingsatan, masih saja mengawasi sekitar sungai. Ke mana Zahid?
Tiba-tiba, dari ujung sana, sekitar dua puluh meter dari posisi Zahid tenggelam tadi, muncul kepala seorang anak kecil, wajahnya girang sekali, sambil menyemburkan air dari dalam mulutnya ke udara.
Byyuurr....
Zahid ngos-ngosan. Sementara Uzlah menegakkan bahunya dan melihat Zahid dari kejauhan. “Astaga anak ini!!”
“Ha ha ha.” Zahid meniru cara tertawa Squidward. Lalu dia naik ke dermaga dan menghampiri Uzlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments