2. Lari

Hari kedua sekolah di kelas 1.D

Uzlah kesiangan. Pamannya sedang sakit dan tidak ada yang mengantarnya sekolah. Uzlah harus berjalan kaki dari kontrakannya ke sekolah. Jaraknya hampir dua kilometer. Jarang ada anak umur lima tahun mempunyai ingatan sekuat itu. Ini adalah awal mula kecerdasan dan kedewasaannya.

TOK TOK TOK !!!

Ibu Emilia membuka pintu kelas. Uzlah mengucapkan salam sambil menyalami tangan beliau. Ibu Emilia dan para murid menjawab salam. Uzlah dipersilakan duduk oleh beliau.

“Hukum aja Bu. Dia telat masuk. Cuma dia yang telat,” jerit Masagus agak kesusahan bicara karena tekanan dari perutnya yang cukup besar.

“Pasti habis rebut-rebutan sepatu sama kakaknya. Ha ha,” olok Toni. Seisi kelas hampir semuanya tertawa kecuali beberapa, termasuk Zahid, dia malah marah. Seharusnya Uzlah duduk di belakang saja, itulah yang diharapkan Zahid.

Hari ini Ibu Emilia memperkenalkan huruf-huruf alfabet kepada anak muridnya. Mereka semua yang pernah belajar di TK atau PAUD tak akan kesulitan dalam menangkap setiap penjelasan yang disampaikan oleh Ibu Emilia.

Sebagian besar mereka masuk TK atau PAUD kecuali segelintir saja, termasuk Uzlah. Sebelumnya dia hanya diajarkan oleh ayah dan ibunya di rumah. Memang kedua orangtuanya tidaklah mengenyam pendidikan sampai sarjana atau lebih, tetapi untuk pendidikan anak usia dini, dikira bisa mereka ajarkan kepada Uzlah.

Uniknya, Uzlah dengan cepat mampu mencerna setiap pelajaran yang dikasih oleh ayah dan ibunya. Belum masuk usia tiga tahun, Uzlah sudah lancar berbicara. Sekitar usia empat tahun dia sudah mampu membaca dan berhitung serta menamatkan iqro satu sampai enam.

Sekarang di usianya yang ke lima, dia sudah mampu melakukan apa yang dilakukan oleh anak SD atau MI kelas enam. Uzlah mampu membaca, menulis, berhitung, menggambar, dan lebih dari itu, dia mampu memahami setiap rumus dasar tentang fisika, kimia dan matematika.

Namun, semenjak ditinggal ayahnya, Uzlah menjadi pribadi yang kaku dan pendiam. Otaknya sudah melewati pencapaian, namun mentalnya jatuh, lemah. Anak kecil itu kehilangan semangat karena kehilangan kasih sayang.

Terang saja, di kelas, Uzlah mencatat semua apa saja yang disampaikan guru, baik itu pelajaran bahasa, berhitung, menggambar, dan agama. Hampir semua dibabat abis oleh kecerdasan Uzlah. Ibu Emilia tercengang melihat kecerdasan anak satu ini. Beliau yakin suatu saat nanti Uzlah akan menjadi anak yang sangat berprestasi dan dibanggakan.

Ketika waktu istirahat tiba, Masagus, Toni dan Budi menghampiri Uzlah yang sedang duduk di kursinya. Uzlah dan sebagian kecil siswa tidak pergi ke kantin sekolah karena mereka bawa bekal makan dari rumah

“Hei Peci kebesaran,” olok Masagus. “Miskin nian cuma makan gorengan tahu tempe.”

Uzlah hanya diam. Sebetulnya Uzlah orangnya periang dan energik, tapi situasi yang berat membuat kondisi mental dan tubuhnya makin lesu. Dia tak menggubris olokan itu.

“Mending sekolah pakai sendal saja. Ha ha,” ejek Budi sambil ngakak. Toni mengambil pecinya, lalu melemparnya keluar kelas.

Menyaksikan kejadian itu, Zahid berdiri dari kursi belakang, menuju ke depan. Dia mendorongi Masagus yang berbadan besar, Budi dan Toni.

“Kamu bertiga ini dari kemarin mengolok dia. Pergi sana!”

Kemudian Zahid mengambil peci yang tadi habis dilempar. Saat itu juga Masagus lari lalu menyepak kaki Zahid. Zahid berdiri lalu membalas dengan tonjokan tepat ke arah pipi Masagus. Toni dan Budi mengeroyoki Zahid. Terjadi pertengkaran hebat antar anak Madrasah Ibtidaiyah itu. Uzlah memegangi Zahid supaya berhenti berkelahi.

Akhirnya, mereka berlima kena hukuman, berdiri terpancang di tengah lapangan sambil menghadap bendera, dua jam.

***

Saat ini pelajaran olahraga. Dua puluh siswa dan lima belas siswi tengah berada di lapangan. Pak Heru, guru olahraga tersebut, berada di hadapan siswa yang sedang berbaris rapi, memberikan arahan gerakan pemanasan. Semua murid mengikuti gerakan-gerakan yang diberikan Pak Heru.

Selanjutnya Pak Heru menyuruh setiap siswa agar memilih satu temannya yang dijadikan sebagai rival atau lawan lomba lari. Tentu Zahid akan memilih Uzlah sebagai rivalnya. Secara bergilir sepasang murid berlari dua putaran mengelilingi lapangan.

Sampai akhirnya Zahid dan Uzlah.

“Hei Jambul, kau siap?” tanya Zahid

Uzlah hanya senyum.

“Kau boleh unggul di setiap pelajaran Uzlah, tapi tidak untuk lomba lari. He he.”

Dua anak kecil itu bersiap dan mengambil posisi kuda-kuda. Mereka menghembuskan napas kuat. Zahid melirik ke kirinya. Dia yakin akan menang.

Pak Heru berteriak, “Siap. Satu. Dua. Tiiigaa.”

Zahid mengambil start duluan dengan mengeluarkan seluruh chakra-nya. Uzlah berusaha keras menyusul Zahid yang sudah agak jauh dari posisinya sekarang. Satu putaran pertama Uzlah tertinggal sejauh dua puluh meter.

Sempat-sempatnya Zahid menoleh ke belakang sambil berlari. Dengan terengah-engah akhirnya dia berhasil mengalahkan Uzlah untuk perlombaan kali ini. Tak lama berselang Uzlah juga finish, meski urutan kedua, ya karena memang mereka berdua.

“Kau kuat, Zahid.”

“Tapi kaulah juaranya, Uzlah.”

Beberapa hari selanjutnya, ketika pelajaran olahraga lagi, Pak Heru mengambil nilai ketangkasan dari murid dengan memerintahkan agar setiap murid melakukan gerakan jungkirbalik dan koprol.

Sebagian murid bisa melakukannya, termasuk Zahid, dia energik sekali di masa kecil ini. Larinya kencang, tubuhnya lentur, lompatannya tinggi, napasnya panjang, tendangannya kuat, lemparannya jauh, dan suaranya keras membahana. Dia ditunjuk sebagai ketua kelas tapi menolak.

Pas disuruh, Zahid dengan gampang melakukan gerakan jungkirbalik. Awalnya dia jongkok, lalu memutar badannya ke depan dan menjatuhkan bagian tengkuk dan punggungnya ke matras, bahkan dia melakukan gerakan itu dua kali, padahal guru hanya memerintahkannya sekali.

Pas gerakan koprol juga begitu. Zahid si kecil tak sedikitpun nervous. Tak ada kata demam panggung baginya. Dia koprol sampai lima kali. Semua siswi yang imut-imut itu termehek-mehek pada Zahid. Melihat gerakannya yang lincah dan gesit, para murid perempuan terkagum-kagum.

Nah, dari sinilah Zahid mulai digandrungi oleh banyak wanita. Bukan hanya dari psikomotriknya yang menakjubkan, namun otaknya juga encer, nyalinya kuat dan rasa percaya dirinya level conqueror. Bocah itu sejak dini sudah mendoktrin dirinya agar mempunyai karakter gagah dan intelektual.

Pas giliran Uzlah. Dia jongkok agak lama, sebentar dia melamun menghadap matras yang terbentang pas di hadapannya. Entah kenapa Uzlah si kecil ragu untuk menjungkirbalikkan badannya. Dia rasa badannya begitu keras untuk dilenturkan. Uzlah tidak percaya diri.

“Ayo, Uzlah, kamu pasti bisa!” seru Pak Heru sambil memegang buku nilai.

Beberapa saat Uzlah mengedarkan pandang ke arah teman-teman kelasnya. Mereka semua berdiri terpancang dan melihatnya sedang tertegun sambil jongkok. Ketika Uzlah mulai ingin menjatuhkan badannya, kepalanya justru menjadi tumpuan badannya sehingga kakinya yang lurus sulit untuk dinaikkan ke atas.

Kakinya kembali ke belakang mengikuti irama tubuhnya. Semua murid menertawainya kecuali Zahid, dia justru memberi semangat kepada Uzlah. Dan Uzlah melakukan percobaan kedua, kali ini dia benar menjadikan kedua telapak tangannya sebagai tumpuan, tetapi karena kaku jadi badannya miring dan akhirnya terjatuh ke kiri.

“Ha ha ha ha...”

Sampai percobaan kelima Uzlah tetap gagal. Sekarang koprol. Dan ini agaknya sedikit lebih sulit daripada jungkirbalik. Uzlah berdiri, masih tersengal-sengal karena kehabisan energi, sekarang dia harus melakukan gerakan yang tidak pernah dia lakukan sama sekali.

Dan benar saja, saat dia menjatuhkan telapak tangan kanannya ke tanah sambil menaikkan kaki kirinya ke atas dan berusaha untuk mengangakat tubuhnya, badan Uzlah terasa berat sekali, sehingga membuatnya terjatuh berdebam. Uzlah selalu gagal.

Ketika di kelas, Masagus, Budi dan Toni benar-benar mengejek Uzlah habis-habisan.

“Lucu sekali ya. Kayak perempuan,” ejek Masagus.

Lantas Zahid marah sekali. “Sudah pindah ke kursi belakang sana. Duduk di samping aku.”

Uzlah menuruti permintaan Zahid. “Kau benar Zahid. Seharusnya dari awal masuk aku duduk di sini. Terimakasih.”

“Sama-sama. Kau tau kenapa aku mau kau duduk di samping aku?”

“Karena ingin jadi teman.”

“Karena, aku ingin nyontek. Ha ha. Kau kan pintar.”

Mereka tertawa. Baru kali ini Uzlah tertawa.

***

Waktu itu ketika pelajaran matematika.

Ibu Emilia memberi soal, “Berapa lima ditambah lima ditambah sepuluh ditambah dua puluh ditambah tiga puluh ditambah empat puluh?”

Setelah satu menit, tidak ada satu murid pun yang mau ke depan menjawab soal tersebut. Mereka masih sibuk menghitung dengan menggunakan lidi. Ada juga di antara mereka yang menulis di kertas orek-orek.

“Aku tahu jawabanya. Tapi tidak berani maju,” bilang Uzlah kepada Zahid.

“Aku berani. Berapa jawabannya?”

“Seratus sepuluh.”

Zahid mengangkat tangan.

“Iya itu, Zahid. Ayo maju kedepan, Nak.”

Zahid langsung menulis angka seratus sepuluh dengan kapur di papan tulis.

Zahid mendapat tepuk tangan meriah. Uzlah hanya tersenyum girang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!