5. Renang

Sungai Kedemangan ini dulu lebarnya bisa mencapai sepuluh meter, tetapi semenjak dibangun dam atau dibuat semacam dinding batu dan semen lebarnya berkurang menjadi sekitar enam meter saja.

Cerita orangtua dulu, jauh di bawah tahun 2000-an, sungai ini bisa dilalui perahu jukung dan berbagai jenis perahu dan kapal lain, sebab sejak zaman dahulu kala sebelum masuk pemerintahan Hindia-Belanda satu-satunya jalur transportasi di Palembang hanya menggunakan perahu.

Makanya Palembang sempat mendapat julukan Venesia dari Timur dikarenakan bentuk geografis Palembang yang banyak dikelilingi anak-anak sungai, kesemua anak-ana sungai kecil itu berhilir ke Sungai Musi. Itulah uniknya kota ini.

Salah satu anak sungainya adalah Sungai Kedemangan. Cerita dari orangtua juga kalau sungai ini dulunya bersih dan tidak ada sampah. Airnya begitu jerni. Sebelum adanya PAM, masyarakat menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci.

Nah, sore ini, Zahid akan mengajarkan Uzlah berenang di Sungai Kedemangan. Sepanjang sungai dipenuhi anak-anak dan remaja yang sedang asyik mandi bak di wahana air saja, layaknya sedang menghibur diri di fantasy island.

Kedalaman airnya bervariasi. Ada yang cuma setengah meter, satu meter, yang paling dalam ketika air pasang besar bisa mencapai dua meter. Karena masih belajar, tentu Uzlah akan mandi di kedalaman level terendah, sekitar setengah meter saja.

Sang mentor, si Zahid kecil, memberikan teori awal sebelum Uzlah menceburkan diri dan bergabung bersama anak-anak yang lain. Dia mengajarkan untuk tetap tenang, yakinlah bahwa badan kita akan tetap naik ke atas dan mengapung di permukaan.

Zahid terus mencuci otak Uzlah dan memberikan semacam believe system, agar Uzlah yakin bahwa dirinya akan bisa berenang, sebab ada sebagian orang yang sampai dewasa tetap tidak bisa berenang karena tidak ada kepercayaan dari dalam dirinya.

Zahid melakukan pemanasan. Dia meloncat-loncat melakukan gerakan jumping jacks, lalu meregangkan otot-otot tangan dan kakinya. Dia memerintahkan Uzlah agar meniru gerakannya. Selanjutnya dia menyuruh Uzlah terjun ke air yang dangkal.

“Ambil napas panjang-panjang dari mulut, tenggelamkan kepalamu sebentar, lalu hembuskan napas dari hidung, dan angkat lagi kepalamu, Uzlah!”

Uzlah mengikuti perintah itu dan mengulangi gerakannya sampai sepuluh kali.

“Pegang bibir jalan ini, Uzlah, dengan kedua tanganmu. Lalu biarkan badanmu mengapung, terus ayunkan kedua kakimu, kanan ke atas dan kiri ke bawah, berlainan arah maksudnya, terus menerus pokoknya....

Yakinkan pada dirimu, kau pasti bisa! Buat dirimu seolah terbang di atas air. Terus lakukan gerakan ini. Terus lakukan. Ingat, yakinkan dirimu pasti akan mengapung di atas air. Ingat juga, tetap tenang, atur napas.”

Selanjutnya Uzlah disuruh berdiri. Air sungai hanya sebatas keteknya.

“Angkat kakimu dan goyangkan seperti ingin menyepak. Jadikan kakimu ini sebagai kendali agar kau tetap mengapung. Terus pakai tanganmu juga, jangan diamkan tanganmu itu, goyangkan seperti mengayuh. Gerakan itu akan membuat tubuhmu terbang di atas air.”

Hampir satu jam praktikum berenang itu berlangsung. Tapi Uzlah masih belum berani untuk lebih ke tengah sungai yang agak lebih dalam. Dia masih mandi bersama anak-anak yang lain di pinggiran saja.

Sementara Zahid tak sabar ingin berenang ria. Dia melompat ke tengah-tengah pria remaja dan menghunjamkan tangan dan kepalanya ke air. Lalu, dia berenang guling. Hebat bukan main. Berenang guling.

Zahid biarkan badannya mengapung dengan posisi terlentang, persis seperti orang guling terlentang di atas kasur, sepakan-sepakan kedua kakinya membuat air sungai terpercik-percik, dan kedua tangannya berayun-ayun heboh menyetir tubuhnya supaya tetap bergerak.

Wajahnya menghadap langit. Kedua matanya berkedip-kedip seru menghalau rintik-rintik air yang menusuk-nusuk wajahnya. Jantungnya berdegup-degup. Mulutnya makin termonyong-monyong menarik dan menghembuskan napas.

Sama seperti belajar bersepeda, Uzlah butuh waktu juga untuk bisa berenang. Empat hari berturut-turut dia berkunjung ke kampung tempat tinggal Zahid agar bisa menimbah ilmu dari gurunya itu.

Hebat betul si Zahid. Kecil-kecil sudah jadi guru.

Sempat di hari ketiga Uzlah kelelep. Tanah yang dipijaknya sangat dalam, di luar perkiraannya. Awalnya dia mandi dipinggir, lalu terbawa arus sampai ke tengah. Untung sekali banyak orang yang sedang berenang dan Uzlah dengan mudah digotong ke pinggir lagi.

“Bagaimana rasa airnya? Enak?” Zahid tersenyum mekar.

Sampai satu minggu full akhirnya Uzlah memberanikan diri berenang ke tengah sungai, bahkan dia pun mengajak Zahid berlomba berenang dengan start-nya dari sini dan finish-nya Sungai Musi. Tentu Zahid menerima tantangan itu.

Di awal perlombaan begitu seru. Zahid dengan gaya kupu-kupunya mampu memimpin perlombaan selama satu menit. Uzlah agak kewalahan dengan gaya bebasnya. Sementara ini hanya gaya bebas yang bisa dia lakukan.

Sementara sang mentor, wah tentu saja bisa banyak ya. Gaya punggung, baya bebas, kupu-kupu, katak atau dada, gaya samping, crawl, gaya batu, dan tentu saja gaya guling. Semuanya dikuasai Zahid di usia lima tahun. Benar-benar anak sungai dia itu.

Dan benar saja Uzlah tertinggal jauh. Sampai akhirnya jelas Zahid yang menang. Dia duduk di atas jembatan, tak jauh dari pinggir Sungai Musi. Sambil tertawa riang, Zahid melambaikan tangan kanannya ke kiri dan kanan, semacam tanda: Akulah pemenangnya!

***

Selama berada di kelas satu di semester satu dan dua ini Uzlah tampil gemilang. Nilai di semua mata pelajarannya begitu bagus, hampir sempurna, seperti Al-Quran Hadits, Akidah Akhlak, Fikih, PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Matematika, dan Seni Budaya.

Terang saja, dia kembali mendapat peringkat pertama di semester dua ini, bahkan nilainya yang hampir sempurna membuat dia menjadi siswa dengan nilai paling tinggi di antara seluruh siswa-siswi.

Sementara Zahid pada semester dua ini berada di peringkat kelima, prestasinya agak menurun karena dari sini dia mulai jenuh dengan kurikulum pendidikan, dia agak sedikit risih dengan sistem-sistem yang sudah dibuat.

Meskipun tetap rajin jika diberi catatan, latihan, PR, dan mengikuti ujian, namun dia melakukannya tidak begitu sepenuh hati. Zahid si kecil terkadang suka malas-malasan mengerjakannya.

“Zahid, catat itu apa yang ditulis oleh guru!” perintah Uzlah. Waktu itu pas pelajaran PPKN, Zahid malah menggambar sesuatu di buku paling belakang, bukannya mencatat dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Uzlah sering membantu Zahid mengerjakan PR karena kalau tidak Zahid tentu akan malas-malasan juga. Terutama soal hitung-hitungan, Zahid si kecil entah kenapa tidak begitu fanatik dengan angka-angka.

Suatu ketika, pas pelajaran Akidah Akhlak, guru melemparkan sebuah pertanyaan kepada Zahid karena Zahid didapati sedang tertidur ketika jam pelajaran. “Sebutkan rukun-rukun iman?” tanya sang guru.

Zahid tersentak karena barusan namanya disebut. Dia mengucek-ngucek matanya. Segera Uzlah yang ada di sebelahnya memberikan sebuah kertas yang sudah tertulis jawabannya.

“Cepat jawab!” bisik Uzlah.

Zahid lalu berdiri dan berucap dengan keras, menyebutkan rukun-rukun iman. Tak sekali seperti itu, kalaulah Uzlah tak ada di sampingnya, entah Zahid akan berada di peringkat berapa.

Soal pelajaran, Uzlah sering mengajarkan dan memberi motivasi supaya Zahid tetap semangat mengikuti semua pelajaran yang diberikan oleh guru saat di kelas. Uzlah juga tahan berkunjung ke rumah Zahid, menanyakan apakah sudah buat PR atau belum.

Dari kecil mereka sudah kompak sekali. Tak hanya belajar, bermain, dan berjualan, tapi mereka juga klop dalam berdiskusi dan berdebat. Dua anak kecil itu benar-benar menjadi sahabat dan kompetitor sengit.

Pelajaran, perlombaan, adu argumen, atau saling menjagokan klub sepak bola idolanya. Pernah suatu malam Uzlah bermain di rumahnya Zahid. Bergadang nonton bola. Bahkan mereka pakai jersey klub idolanya.

“Liverpool pasti menang. Klub setan itu mending kalah saja!” cercah Zahid sambil tersenyum miring.

Uzlah tidak terima. “Tidak pernah juara liga padahal Indonesia sudah lima kali berganti presiden. Memalukan!”

“Emyu itu hebat pada era Ferguson. Sebelum dan awal tahun dua ribuan. Pas itu cuma Arsenal yang jadi saingan Emyu. Liverpool, Chelsea dan City masih jelek. Lalu masuk era kejayaan Chelsea pas Mourinho masuk. Selanjutnya kejayaan City itu pas itu tuh gol Aguero, pasti sakit banget tu, ujung-ujungnya Emyu gagal juara haha.....

Pas Ferguson cabut, yang jadi rival Liverpool bukan Emyu lagi, tapi City. Hei Uzlah, kalau Ferguson disuruh lagi melatih Emyu di era sekarang, Liverpool dilatih Klopp dan City dilatih Pepp, walaupun pemain Emyu yang top waktu itu dibawa juga, Emyu akan tetap kualahan ya walaupun Ferguson yang melatih.....

Itu analisa aku ya. Soalnya semakin lama persaingan di liga Inggris makin ketat. Semakin tidak bisa ditebak siapa yang akan jadi juara. Itulah indahnya sepak bola karena realita dan hasil bukan berdasarkan data di atas kertas. Bagaimana menurutmu?”

“Ya aku hampir sependapat denganmu, Zahid. Emyu bisa berkali-kali juara memang dilatih oleh pelatih hebat dan diisi oleh pemain-pemain top pada masanya, tetapi kalau dilihat dari sisi yang lain, memang pada saat itu lawan-lawannya pada tidak bagus semua, kecuali Arsenal.”

“Tapi Uzlah, aku yakin setelah kejayaan City dan Liverpool, nanti akan kembali seperti dulu, yaitu jayanya Emyu dan Arsenal. Prediksi aku, selaku penggemar Liverpool yang begitu. Harapanku, selaku fans berat The Reds, berharap tetap Liverpool la juaranya.”

Mereka lanjut menonton bola. Skor akhir 0 – 5. Emyu dipermalukan di kandangnya sendiri!

Pagi harinya Uzlah menantang Zahid bermain PES. Setelah sarapan roti dan susu yang tadi disiapkan oleh ibunya Zahid, lantas sekarang mereka duduk pas di depan tv lcd, tangan mereka memegang stik dan fokus pada pertandingan Minggu pagi ini.

Zahid yang memang kesehariannya adalah bermain PES ketika sedang di rumah tentu tak akan merasa kesulitan melawan Uzlah, sebab Uzlah bermain PES beberapa kali saja, itu pun pas bertamu ke rumah Zahid. Dia tidak punya dan tidak pernah pula berkunjung ke rental.

“Akan kubalas!” jerit Uzlah.

Sepanjang permainan, Zahid menerapkan gaya bermain tiki-taka ala Barcelona. At least, dia akan menguasai ball possession dan membuat Uzlah agak risih karena seolah dipermainkan. Formasi 4-3-3 yang diterapkannya membuat Zahid benar-benar menguasai permainan.

Sementara Uzlah menerapkan formasi 3-4-2-1. Sebenaranya formasi ini lebih cenderung bertahan dengan mengandalkan tiga CB. Jalur serangan lebih mengandalkan winger di kiri dan kanan, lalu memberikan umpan crossing dari sisi lapangan ke arah striker.

Karena tak begitu menguasai teknik passing, Uzlah menerapkan konsep pragmatic football, bola dari belakang langsung ditendang melambung jauh ke depan ke arah gelandang serang dan striker, melewati dua pivot di tengah.

Makanya ball possession-nya 65 – 35. Jauh sekali. Passingnya juga Zahid unggul jauh, 235 – 134. Babak kedua selesai dan skor masih kacamata. Zahid memprioritaskan teknik dan taktikal, sementara lawannya punya prinsip yang penting menang.

Di babak tambahan banyak sekali serangan yang dilancarkan Zahid dan ada satu peluang besar yang berhasil dikonversikan menjadi gol. Akhirnya Zahid unggul tipis, 1 – 0. Dalam laga selanjutnya Uzlah berhasil memberikan perlawanan.

Dari lima match itu, Uzlah berhasil menang dua kali. Di luar pelajaran sekolah, Zahid masih tetap unggul.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!