Pagi ini di kelas.
“Siapa yang tahu apa yang dimaksud dengan energi?” Bu Dewi Sartike melemparkan pertanyaan kepada semua anak muridnya.
Uzlah mengangkat tangan.
“Ya silakan, Nak! Terus sebutkan pembagiannya juga!”
Uzlah berucap, “Energi adalah kemampuan suatu benda untuk melakukan usaha. Terbagi menjadi tiga, yaitu energi kinetik, energi potensial, dan energi mekanik.”
“Bagus. Jelaskan maksud dari energi kinetik dan sebutkan contohnya dalam kehidupan sehari-hari!”
Uzlah menjawab lagi. “Energi kinetik adalah energi yang dimiliki oleh suatu benda yang mempunyai massa karena geraknya. Contoh, bola yang ditendang dan planet yang beredar mengelilingi matahari.”
“Benar sekali. Mana yang lain ini?” tanya Bu Dewi Sartika sambil menghamburkan pandangannya ke penjuru kelas.
Tiba-tiba Zahid mengangkat tangan, melakukan interupsi dan berujar, “Contoh yang kedua itu kurang tepat. Lebih baik kalau contohnya bulan yang mengelilingi Bumi, karena teori heliosentris masih diperdebatkan.”
Bu Dewi lagi-lagi dibuat pusing oleh anak satu itu. Karena Zahid tidak fokus belajar melalui LKS dan buku cetak alias dia belajar dari banyak sumber baik di buku-buku lain maupun internet, maka Zahid sering berbeda pendapat dengan para guru.
Lantas Bu Dewi mengalihkan isu. “Energi potensial, jelaskan definis dan tolong sebutkan contohnya dalam kehidupan sehari-hari!”
Lagi-lagi Uzlah menjawab, “Energi potensial adalah energi yang dimiliki oleh suatu benda karena ketinggian atau posisinya terhadap titik acuan. Contohnya bola basket yang jatuh dari titik tertentu.
“Lanjutkan Energi Mekanik!”
“Total dari energi kinetik dan energi potensial dalam suatu benda yang digunakan untuk melakukan usaha. Contohnya pembangkit listrik tenaga air.”
Selanjutnya beliau menulis soal di papan tulis. Sepeda motor dengan berat 110kg bergerak dengan kecepatan 5 m/s. Hitung berapa jumlah energinya?
Sekonyong-konyong Zahid berdiri. “Bu, untuk apa sih kita memecahkan soal seperti itu? Kalau pakai motor, ya yang penting mesin bagus dan bensinnya cukup. Terus yang penting kita tahu berapa kecepatannya saja. Tidak perlu cari tahu energi kinetik segala.”
Tapi Bu Dewi Sartika tetap tenang. Guru tidak boleh gegabah menjudge jelek murid-muridnya. Lagipula ini masih awal-awal sekolah. Tetap slow.
“Kita perlu mempelajari sesuatu yang sangat dasar sebelum tahu bagaimana caranya televisi bisa hidup dan sepeda motor bisa berjalan, Zahid.”
Uzlah menulis di kertas jawaban atas soal di papan tulis. Takut nantinya Zahid dinilai jelek oleh guru, Uzlah memberikan kertas itu kepada Zahid, biar Zahid menjawab soal tersebut.
“Maju sana!” bisik Uzlah.
Zahid mengambil kertasnya lantas maju ke depan.
EK \= ½ m.v^2
EK \= ½ (110kg).(5m/s)^2
EK \= ½ (110kg).(25m^2/s^2)
EK \= ½ (2750kg. m^2/s^2)
EK \= 1375 kg.m^2/s^2
EK \= 1375 J
Bu Dewi tercengang sambil tersenyum getir. Pikirnya, aneh anak ini, tadi protes tapi sekarang bisa jawab. Selanjutnya beliau memberi soal lagi tentang mencari nilai energi potensial dan energi mekanik.
Uzlah menulis semua jawabannya dan Zahid yang maju kedepan.
Diketahui
Ketinggian benda \= 5 m
Massa benda \= 0,1 kg
g \= 10 m/s^2
maka,
EP \= m.g.h
EP \= 0,1 kg x 10 m/s^2 x 5m
EP \= 5 J
Diketahui
EK \= 5 J
EP \= 5 J
Maka,
EM \= EK + EP
EM \= 5 J + 5 J
EM \= 10 J
***
Pagi ini dikelas, pelajaran biologi.
Bu Sri ingin tampil beda di awal-awal sekolah ini. Beliau menghidupkan laptop dan menampilkan slide yang tervisual jelas dekat papan tulis.
“Hari ini kita belum buka. Silakan lihat kedepan!”
Di layar terpampang jelas seekor hewan laut besar dan asing sekali. Mungkin sebagian besar mereka belum pernah melihatnya di buku, tv atau internet.
“Siapa yang tahu tentang ikan ini? Jelaskan!”
Kelas bungkam selama sepuluh detik. Sang guru mengawasi murid-muridnya yang ada di depan dan belakang, sisi kiri dan sisi kanan. Semuanya diam membatu.
Zahid menyenggol Uzlah. “Itu kan.”
Uzlah berbisik. “Buku yang tempo hari dibelikan ayah. Kan waktu itu kita baca bareng di rumahmu, Zahid.”
Zahid manggut lalu mengangkat tangan. Dia berdiri dan menjawab, “Paus Humpback. Atau paus bongkok. Nama latinnya Megapetra Novaengliae. Panjangnya bisa mencapai enam belas meter dan beratnya bisa sampai empat puluh ton.”
Lantas Bu Sri mengapresiasi keberanian remaja satu itu. Tapi tiba-tiba dan sekonyong-konyong.
“Bu,” ucap Zahid dengan kencang. “Siapa yang sudah menamai ikan itu Paus Humpback? Dan siapa pula yang memberi nama latinnya?”
“Semua penjelasan sudah tertuang di buku-buku sains, Nak. Kita tinggal mempelajarinya.”
“Bukan begitu Bu. Kenapa kita selalu mempelajari sesuatu yang ditemukan oleh orang Barat. Memangnya orang-orang Indonesia ini tidak ada yang pintar apa?!”
“Kita pintar, Zahid. Hanya saja para peneliti dari luar lebih dulu melakukan riset dan menemukan sebuah penemuan.”
“Apa kita tidak pernah melakukan riset?”
“Orang-orang kita setiap saat melakukan riset. Guru, dosen, dan mahasiswa melakukan riset.”
“Nah kenapa tidak ada nama kita di sana? Selalu saja nama orang Barat. Apa ini semua persekongkolan atau konspirasi saja?”
“Tidak ada konspirasi Zahid. Malah kita mesti berterimakasih kepada para ilmuwan yang sudah bersusah payah melakukan riset, eksplorasi di laut, menulis jurnal, dan memaparkannya sehingga kita dengan sangat mudah mengetahui sebuah ilmu.”
Tidak ingin ada diskusi yang terlalu lama bersama Zahid, akhirnya beliau menggeser slide selanjutnya. “Nah kalau ini ikan apa? Tolong dijelaskan!”
Lantas Uzlah mengangkat tangan. “Dugong atau sapi laut atau sering disebut Duyung. Banyak juga ditemukan di Indonesia. Beratnya bisa mencapai empat ratus kilogram. Nama bukunya Dugong Dugon. Filum Chordata. Kelas Mammalia. Ordo Sirenia. Famili Dugongidae. Genus Dugong.”
“Oke. Selanjutnya. Coba yang lain!”
Sampai dua puluh detik tidak ada yang jawab.
“Zahid atau Uzlah, jawab!”
Mereka berdua malah saling senggol. Bukan karena lupa, tapi takut dikira sok pintar saja. Mereka berdua geli sekali pas tahu materi awal sekolah ini rupanya pernah mereka pelajari. Bisa jadi sumbernya sama. Ya bisa jadi.
Dengan alasan win win solutions, akhirnya Uzlah yang menjawab. “Ikan Barakuda. Nama ilmiahnya Sphyraena. Punya gigi yang sangat tajam yang efektif untuk melumpuhkan hewan-hewan yang akan dimangsanya. Bisa ditemukan di perairan tropis dan subtropis.”
“Sekarang yang terakhir.”
Setelah melihat hewan yang tidak asing itu, semua murid serentak berteriak, “CUMI-CUMI....CUMI-CUMI!!!”
Sebentar sang guru mengangguk. “Kurang tepat. Ada yang bisa jelaskan?”
Zahid mengambil napas sebentar. Kedipan mata kiri Uzlah seolah tanda “Jawablah!”
“Nah itu Cumi-cumi raksasa. Nama latinnya Architheuthis. Dia hewan inverterbrata alias tidak punya tulang belakang. Dia tinggal di laut dengan kedalaman antara dua ratus sampai seribu meter, Bu.”
Lantas semua murid satu kelas dan sang guru dengan khidmat mendengarkan kuliah dari Zahid si bocah yang baru masuk masa pubertas ini. Uzlah tersenyum geli menyaksikan Zahid dan heran juga rupanya dia punya ingatan yang cukup bagus.
“Kawan-kawan,” Zahid mengerlingkan pandangannya. “Hati-hati lho sama tentakel nya itu. Bisa nyedot. Bisa-bisa otak kita nanti yang kena sedot. Nanti gak bisa mikir lagi dong kita. He he. Tentakel nya itu ada bintik-bintik, jadi lebih mirip gergaji, nah itu gunanya untuk memangsa hewan buruannya, Kawan-kawan.”
Satu kelas manggut-manggut paham. Tapi tidak seperti yang dibayangkan. Lagi-lagi Zahid membuat ulah. Kali ini bukan anti-tesis dan bukan pula semacam paradoks, tapi cuma luapan perasaannya saja terhadap pelajaran biologi, semacam autokritik bisa jadi.
“Bu, tapi saya tidak suka dengan pelajaran biologi!”
Uzlah yang ada tepat di sebelahnya ini tertunduk. Lalu dia menggaruk jidatnya. Mulai lagi, pikirnya.
“Bu, pelajaran biologi ini beda dengan sains pada umumnya, seperti kimia dan fisika. Kenapa? Karena di pelajaran ini aku tidak menemui rumus matematis. Semuanya definisi, klasifikasi, pembagian, dan penjelasan. Hanya teori. Tidak ada angka-angka. Jangan jangan biologi ini bukan bagian dari IPA.”
Bu Sri menurunkan kacamatanya. “Biologi ini bagian dari IPA, bagian dari sains alam. Karena yang kita pelajari sekarang ini berdasarkan penelitian-penelitian ilmiah yang terbukti secara objektif serta dapat diterima oleh banyak kalangan, terutama kalangan akademis, seperti kita-kita ini.”
“Tapi Bu, tugas kita cuma memahami dan menghafal. Kita tidak dituntut untuk membuat semacam analisa dan perhitungan. Bagiku ini tidak begitu menantang. Jadi biologi ini sains yang paling gampang deh Bu.”
Begitulah Zahid, dia sering membelokkan logika, memutarbalikkan fakta, mematahkan asumsi, dan nanti, nanti dia akan meralat sebuah hukum, yang mana hukum itu sudah diakui berabad-abad lamanya. Lihatlah nanti.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments