7. Ekspektasi

Setelah shalat subuh di masjid, sekitar pukul lima Uzlah menghampiri ibunya di dapur. Beliau sedang membuat adonan pempek yang akan dijual nanti. Uzlah duduk tepat di samping ibunya.

“Kalau nanti Uzlah sekolah di SMP Negeri Sekali Plus, berarti tidak akan satu sekolah bersama Zahid, Bu. Cuma ada tiga saja yang bisa masuk sekolah itu. Seandainya Zahid ikut tes, lintas rayon tidak berlaku untuk sekolah itu.”

Sambil menuangkan air ke adonan sagu dan ikan giling, beliau berucap lembut, “Ibu bangga sekali Uzlah satu di antara tiga murid yang bisa masuk SMP unggulan di kota ini. Jujur Ibu bersyukur sekali kepada Allah. Ibu tidak bisa memaksakan, Nak. Yang penting kau kejar beasiswa di sana. Supaya beban Ibu tidak begitu berat.”

“Berarti tidak apa-apa Uzlah tidak masuk SMP unggulan, asal dapat beasiswa. Kata Kepala Sekolah, Uzlah bebas pilih SMP negeri mana saja, Bu. Karena otomatis mereka pasti akan menerima. Ya sudah nanti Uzlah tanya sama Zahid, kira-kira dia akan tes di SMP mana.”

“Ibu juga harap kau satu sekolah lagi sama Zahid. Dia baik sekali. Ayahnya juga baik. Susah cari teman seperti itu, Nak. Sepertinya dia akan menjadi sahabat setiamu sampai kau dewasa nanti. Setahu Ibu, temanmu tidak banyak. Dan yang paling akrab ya sama Zahid itu.”

“Benar Bu, Uzlah sama dia memang benar-benar akrab. Uzlah harap bisa terus berteman dengan dia sampai kuliah dan sampai kerja. Nah, balik lagi. Berarti Uzlah pinginnya satu SMP dengan Zahid. Terimakasih, Bu.”

Dan hari itu pun tiba, pengumuman bagi para calon siswa-siswi SMP Negeri Sedikit. Di sana, Zahid melihat namanya terpampang jelas bahwa dia lulus. Segera dia menemui Uzlah memberi tahu soal kabar tersebut. Selanjutnya Uzlah mendaftarkan diri untuk masuk di SMP Negeri Sedikit tanpa ikut tes.

Siswa berprestasi mah bebas yah......

Sisanya mereka harus berdoa banyak-banyak supaya dapat satu kelas, tiga tahun lah kalau bisa satu kelas. Zahid sangat berharap sekali bisa satu kelas bersama Uzlah. Masih banyak persoalan ilmiah yang ingin dia bahas.

Sekarang sulit mencari teman yang satu frekuensi, satu mimpi dan satu visi. Pas tamat dari madrasah ibtidaiyyah tempo hari, mereka berdua berikrar untuk selalu bersama, satu sekolah dan satu kelas, lalu masuk PTN ternama, kemudian lanjut S2 dan S3 di luar negeri, terakhir menjadi ilmuwan besar abad 21.

Tinggi sekali mimpi mereka.

Zahid dan Uzlah bercita-cita ingin sekolah setinggi-tingginya, mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan bermimpi sebagus mungkin. Ya, mereka berdua ingin menjadi saintis besar, menjadi ilmuwan besar seperti Newton dan Einstein. Hebat sekali mimpi mereka itu.

Dan hari pertama masuk SMP itu pun tiba.

Seragam yang dikenakan Uzlah serba baru. Semuanya hadiah dari ayahnya Zahid. Termasuk kaos kaki, sepatu, tas, buku, dan semua perlengkapannya. Ayahnya Zahid terus menjanjikan hadiah selama Uzlah mendapat prestasi di sekolah.

Dag-dig-dug.

Mereka ketar-ketir, sembari menunggu nama-nama siswa-siswi yang dipanggil. Akankah mereka tetap satu kelas selama SMP ini? Apakah mereka akan terus bersama? Inilah chemistry persahabatan mereka, begitu kental, hangat, dan selalu mencair.

Makanya, sistem dan alur pun seirama dengan apa yang mereka cita-citakan. Jalan yang lurus itu akan mereka lalui, sesuai dengan harapan mereka, semua terizini. Ya, mereka akan terus bersama, tidak hanya tiga tahun kedepan, bahkan tiga tahunnya lagi mereka akan tetap satu kelas, bersama, hal yang sulit dipercaya.

Terkadang juga, logika sulit menerima realita.

Terkadang lagi, ekspektasi sejalan dengan mimpi.

***

Konsekuensi dari menyalahkan, adalah harus mencari yang benarnya. Itu sebuah argumen yang pas untuk Zahid di hari pertamanya di kelas VII pelajaran fisika.

“Apa yang salah dari Hukum ini?” tanya Bu Dewi Sartika sembari mengawasi Zahid.

Zahid tersentak. Sang guru semakin dekat dengannya yang kursinya itu paling belakang dan pojok.

“Ayo jawab, Zahid! Katanya penjelasan yang di buku itu salah.”

Tadi pas Bu Dewi menjelaskan materinya soal fisika yang sangat dasar sekali, yakni soal Hukum Gerak-nya Newton, tiba-tiba logika Zahid membelokkan hukum tersebut. Baginya itu kurang bisa diterima. Ada yang mengganjal.

Namun tiba-tiba dia sulit berkata-kata, tidak seperti biasanya. Sebenarnya tadi benar-benar seperti ada sebuah intuisi berisi semacam paradoks, argumen ilmiah untuk melabrak Hukum Gerak itu, tapi sekarang tiba-tiba hilang.

Zahid hanya bisa melongok dengan mata serius dan mencoba mengingat-ingat hal barusan itu. Tadi tebersit, pikirnya. Zahid lalu menutup matanya dengan telapak tangan. Sementara Bu Dewi melenggang menuju kursi dan mejanya lagi sembari menggeleng-geleng.

Nah, inilah awal pertama masa SMP Zahid dinilai aneh oleh para guru dan para murid. Bahkan nantinya semua akan meremehkan dia karena keanehan-keanehan lain. Tapi untungnya ada Uzlah. Jadi semua tidak akan berjalan seburuk yang dibayangkan.

“Bu!” jerit Uzlah. “Saya setuju dengan apa yang dikatakan Zahid barusan. Itu ada yang salah.”

“Oke, apa itu yang salah? Bisa dijelaskan!”

Uzlah lantas berjalan ke arah papan tulis. Tulisan nama ISAC NEWTON kemudian dia ubah menjadi ISAAC NEWTON.

“Cuma kurang huruf A, Bu. Sebenarnya Zahid tadi pengen bilang itu, tapi dia grogi karena hari pertama sekolah kan. He he. Permisi Bu.”

Bu Dewi mengangkat alisnya. Dan terus akan mengangkat alisnya selama waktu yang lama selama waktu SMP Zahid dan Uzlah, sebab Bu Dewi akan terus terfokus perhatiannya kepada dua murid itu, sampai tamat sekolah.

...

Zahid dan Uzlah pulang sekolah mengendarai sepeda. Selama perjalanan, Uzlah terus menanyakan kepada Zahid soal apa yang tadi disalahkannya. Uzlah jadi penasaran. Pasti ada sesuatu yang aneh.

“Aku lupa!” teriak Zahid dari depan.

Uzlah terus mengayuh sepedanya dengan cukup kuat. Zahid pun juga. Sementara mobil dan sepeda motor berganti-gantian menyalip mereka. Sesekali Zahid menyeka keringat yang menetes di keningnya.

“Ayo mampir ke rumah aku!” ajak Zahid.

“Aku mau jualan es. Mau ikut gak?”

“Maaf Uzlah, aku lagi pingin main bola hari ini. Kalau mau ikut ayo kita main.”

“Terimakasih, Zahid. Lain kali saja main bolanya.”

“Katanya mau ikut tanding futsal. Minggu nanti tandingnya.”

“Hari ini aku mau jualan dulu. Besok dan lusa kita latihan bola. Terus Minggu nanti aku ikut tanding.”

“Oke siap!” jerit Zahid semangat.

Sesampainya di rumah, Uzlah segera mencopot seragam sekolahnya dan menggantinya dengan pakaian main. Dia pergi ke dapur, mengambil es bucket, lalu membuka freezer. Setidaknya hari ini Uzlah harus laku empat puluh es.

Setelah shalat dan makan siang, dia lantas berpamitan dengan ibunda tercinta. Diawali dengan menjajakan produk dagangannya di sekitar kampung, lumayan laku dua. Lalu Uzlah bergegas menuju SD Swasta Cukup.

Sekitar jam 2 waktunya bocil-bocil istirahat. Uzlah nangkring di sekitar pagar sekolah. Di sana sudah berjejer rapi penjual cilok, pempek, gorengan, buah, dan minuman. Semua pedagang itu orang tua berumur kisaran tiga puluh sampai enam puluh.

Cuma Uzlah sendiri yang masih kecil. Lantas Uzlah dikeroyok oleh segorombolan bocil-bocil kelas dua. Lebih dari sepuluh murid yang membeli es-nya. Ada juga yang beli dua. Laris manis dua puluh biji.

Ketika tak ada yang beli, Uzlah bercengkrama dengan para pedagang. Terlalu politis dan sok kesultanan kalau mereka disebut kapitalis. Ya, omset mereka paling ada yang lima puluh ribu, seratus ribu, dua ratus ribu, paling segitulah rata-rata.

Bagaimana dengan Uzlah, omsetnya hari ini paling mentok dua puluh ribu. Sesuai umurlah. Bocil baru tumbuh ya omset jangan besar-besar juga. Lanjut, Uzlah ngobrol antar sesama pedagang.

“Lancar, Dik?” tanya penjual cilok.

“Alhamdulillah, Kak, baru laku separuh.”

“Berguyur bae. Salut sama kamu ni. Kecil-kecil sudah cari duit. Sekolah gak?”

“Ya Kak, sekolah baru kelas satu SMP. Pagi sekolahnya.”

“Jangan sampai putus sekolah. Kalau bisa nanti dapat kerja yang enak. Gaji besar. Tidak usah jualan seperti ini. Kalau mau buka usaha, ya usaha yang besar. Ada toko sendiri.”

“Benar Kak. Untuk sementara ya begini dulu.”

“Menurut kamu. Enak kerja apa usaha? Kakak bingung nih masih. Kata orang, enak buka usaha, kita jadi bosnya, tidak ada yang suruh-suruh seperti kita kerja di pabrik atau di kantor.”

Uzlah menjawab, “Tergantung, Kak. Kakak buka usaha seperti ini, berpanas-panasan dan capek, pendapatan bersih sebulan hanya tiga juta, memang santai, tidak ada tekanan, dan jadi bosnya. Terus Kakak kerja di kantor ruangan berAC depan komputer, kerja santai tidak berpanas-panasan, dan pendapatan bersih tiga puluh juta. Kakak pilih mana?”

Si tukang cilok tidak mikir lagi. “Jelas gaji tiga puluh juta.”

“Begitulah Kak. Bukan cuma soal nyaman atau tidak nyaman, tapi soal hitung-hitungan duitnya juga, Kak.”

Si tukang cilok berpendapatan bersih sehari seratus lima puluh ribu ini manggut-manggut.

Uzlah melanjutkan, “Kalau bisa, dapat semuanya, Kak. Ya kita jadi bosnya, terus pendapatannya tiga puluh juta sebulan. Tugas kita santai, depan komputer, di ruangan berAC. He he he.”

Tukang cilok tergelak tawa, “Wong Palembang nian kau ni Dek, hobi berkelakar.”

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!