(disclaimer)
Beberapa hari kemudian. Edi dan Panji masih belum bisa mencerna ucapan Sailendra dengan baik. Memilih untuk bersikap seperti biasa. Meski begitu mereka berdua tetap membayar Sailendra dengan permintaan tak masuk akalnya.
Maurice bersama penyelidikannya sendiri menambahkan satu orang dalam daftar perkiraan pelaku kasus Pak Henry dan Pak Eros. Sebenarnya terlihat tidak begitu penting atau mencurigakan. Apalagi bertampang pembunuh. Karena orang itu adalah Sailendra.
Mengapa Sailendra? Karena sejak terakhir Maurice berhubungan dengannya. Ia telah menaruh kecurigaan pada kata mahal yang Sailendra sebutkan. Sebutir bola mata? Bukankah mengerikan? Mungkin ia hanya bercanda untuk menggambarkan kata mahal yang mustahil terjangkau kantong anak SMA. Namun, kenyataan berkata lain.
Karena penasaran akhirnya Maurice memutuskan mengintrogasi beberapa orang anak dari kelas B. Jawaban yang muncul setelah itu tidak berbeda dari perkiraan awalnya. Sailendra mirip Millhewi. Tidak begitu suka membaur dengan yang lain. Seperti Millhewi, Sailendra selalu menjadi anak pertama yang datang. Menurut pernyataan beberapa anak yang datang setelahnya: tak jarang mereka melihat Sailendra tertawa sendiri saat membaca buku-buku aneh yang disebutnya sebagai Kitab Ramalan Suci atau Buku Sakral Pesan Penguasa Langit Malam. Ia bahkan sering membawa boneka voodoo, jarum santet, silet, jarum dan pisau berukiran aneh. Lain kali ia membuat kelas berbau kemenyan. Bukan hanya itu. Ia menggunakan Death Note sebagai buku catatan pelajaran. Dan aktifitas anehnya yang lain... terlalu sulit digambarkan dengan kata-kata.
Pemuda itu tepatnya disebut eksentrik. Malah tidak berlebihan hal-hal yang dilakukannya seperti dukun. Kerennya disebut sorcerer. Hal itu jelas berhubungan erat dengan perkiraan Millhewi yang menyatakan kemungkinan Pak Eros dipanggil dengan ilmu hitam atau semacamnya. Maurice memang tidak percaya ilmu hitam-ilmu hitaman. Apalagi setan-setanan. Tapi, untuk kasus seaneh ini rasanya sulit juga kalau tidak melibatkan makhluk halus. Apalagi Pak Ridwan sendiri tidak pernah membukakan pintu bagi siapa pun saat waktu perkiraan kematian Pak Eros.
Mungkin masih ada penjelasan rasional untuk memecahkan kasus ini. Tapi, keberadaan Sailendra membuat kata rasional jadi kurang tepat. Hal lain yang menguatkan pendapat Maurice. Bahwa Sailendra berhubungan dengan kematian Pak Eros maupun Pak Henry adalah matanya hilang. Sailendra anak yang pernah dibuat hampir dikeluarkan oleh Pak Henry. Dan pernah dibuat menjalani skors oleh Pak Eros. Jelasnya ia memiliki motif. Meski masih terlalu aneh untuk memutuskan membunuh dengan alasan sesederhana itu.
"Millhewi, kamu kenal Sailendra?" tanya Maurice.
"Mustahil tidak. Sepenjuru gedung SMA Nusantara Senja mengenalnya. Mulai dari yang kasat mata. Sampai yang tidak," jawab Millhewi.
"Oh, begitu." Waduh. "Kamu tahu soal hobi anehnya itu?" tanya Maurice.
"Aku tidak tahu apa pun soal dia. Tapi, dia mengetahui apa pun soal kita," jawab Millhewi.
"Menurut kamu kematian Pak Henry dan Pak Eros yang kehilangan sebuah bola matanya itu berhubungan dengan Sailendra?" tanya Maurice.
"Hmm... Bisa jadi, sih. Tapi, kenapa kamu hanya mencurigai orang dalam SMA Nusantara Senja? Bisa saja ini perbuatan orang luar, tapi sengaja dibuat agar mencurigai orang dalam. Jika mau jadi detektif kamu harus berpikir luas," respon Millhewi.
Maurice kembali melihat bindernya yang penuh dengan coretan hipotesa kasus pembunuhan Pak Henry dan Pak Eros.
"Kamu lupa soal anak kelas 1? Kita tahu terjadi kasus pembunuhan padanya karena kita yang paling cepat datang ke TKP. Sesuai perintah Bu Ressel. Kasus segera ditutup. Bisa jadi anggota kelas lain tidak tahu apa yang terjadi pada anak itu. Intinya bisa jadi sebenarnya terjadi pembunuhan lain di sekolah ini. Tapi, kita tidak tahu, benar? Seram juga. Pembunuhnya banyak."
"Kenapa kamu bicara begitu?" tanya Maurice.
"Habis guru itu ditemukan di kolam renang. Sementara siswa di lorong sekolah. Pelakunya jelas berbeda, 'kan? Ha-ha-ha," jawab Millhewi diiringi tawa serak.
Ucapannya terlihat asal. Tapi, matanya menampilkan keyakinan. Seolah-olah ia yakin pelakunya benar-benar bukan satu orang. Ah, apa hanya asumsiku saja? Kan wajar Millhewi berpikir begitu. Sama sepertiku.
"Kenapa tidak ada yang mati lagi, ya? Membosankan," katanya memandang kecewa.
Gadis itu mengalihkan pandangannya. Dari pemandangan ke luar jendela. Dan melihat Maurice yang menaruh kedua tangannya di belakang kepala. Aneh. Maurice melihat Millhewi balik dengan cepat seolah tersadar oleh sesuatu. Ia tersenyum.
"Katamu... kamu telah disakiti oleh mereka sejak lama, 'kan?" tanya Maurice berbisik. "Memangnya kamu tidak mau membalas mereka semua? Mereka kan jahat."
"Kamu bicara apa, sih?" tanya Millhewi terusik.
"Ayolah, Millhewi. Sudah terjadi tiga pembunuhan dan pelakunya belum diketahui. Bukannya menarik jika tambah satu?" tanya Maurice nanar.
Millhewi tetap melihat Pak Ridwan melakukan aktifitas anehnya. Tanpa memerdulikan ucapan Maurice yang mulai ngaco.
"Ahahaha, bercanda. Tapi, kamu baik sekali. Tidak pernah punya keinginan untuk menghabisi mereka," "puji" Maurice.
Bel berdering. Seorang pria muda bertampang hangat memasuki kelas itu dengan penuh senyuman. Dari balik meja guru ia berkata, "Selamat pagi, anak-anak. Nama saya Sachiko Haru Narenthra. Guru mata pelajaran kesenian. Mulai hari ini saya akan menjadi wali kelas kelas 2-A. Mohon bantuannya untuk sisa setahun ke depan."
Jethro mengangkat tangannya. "Karena sebagai ketua kelas kelas 2-A. Tidak mendapatkan pemberitahuan apa pun. Saya rasa saya pantas menanyakan. Siapa Anda?" tanyanya.
"Baiklah, anak-anak. Saya adalah guru baru yang ditugaskan di sini untuk menggantikan posisi Pak Haz. Kalian bisa memanggil saya Pak Haru."
Siiing...
Suasana sepi menyelimuti sesi perkenalan itu. Pandangan dingin para murid di kelas itu membawanya pada pertanyaan, apa yang terjadi?
"Kalian kenapa? Haha, itu tidaklah penting. Kalian bisa perkenalkan diri kalian satu persatu. Dari dep..."
Jethro menerangkan, "Tradisi nomor 38 SMA Nusantara Senja menyatakan: peniadaan nama kedua, ketiga, maupun selanjutnya. Apakah Bapak belum membuka buku penghubung Guru, Murid, dan Sekolah dan menghafalkan seluruh peraturannya?" tanyanya.
Guru itu termenung resah. Ada perasaan aneh yang belum pernah dirasanya. Sekelas kembali menunjukkan keheningan yang ganjil. Beberapa anak berbisik ke teman sebangkunya. Psst psst psst.
"Baiklah. Sekarang perkenalkan diri kalian."
Dalam pikirannya Maurice menebak-nebak. Apakah wali kelas baru ini akan mendapatkan terapi yang sama dari penjuru kelas 2-A. Karena tempat duduknya juga ia memilih untuk membaca hasil penyelidikan terlebih dahulu. Millhewi tetap memandang ke luar jendela. Dalam batin Maurice sesungguhnya menanyakan apa yang menarik dari luar sana. Sayang pertanyaan itu hanya muncul dalam benaknya.
🎭🎭🎭
"Nama saya Maurice. Cita-cita detektif. Kesukaan kamar tidur dan makanan manis. Yang tidak disukai perundung. Untuk saat ini hanya itu."
Millhewi berdiri dengan pandangan tak bersahabatnya. "Saya Millhewi. Cita-cita undertaker. Kesukaan salib. Yang tidak disukai warna pelangi."
Saat Millhewi kembali duduk. Selain membawa suasana sepi bagi kelas itu juga keheranan Sachiko. Dengan gugup ia berkata, "Pelajarannya kita mulai minggu depan saja, ya. Sekarang kalian ceritakan pada saya tentang sekolah ini. Hal keren apa saja yang pernah terjadi di sini, oke? Mulai!"
Siiing...
Tampaknya guru baru itu tak begitu berhasil. Atau malah tak berhasil sama sekali. Seharusnya ia membuka "Mbak Wiki" dan mencari tahu apa yang telah terjadi pada sekolah itu.
"Saya dengar di sini pernah ada yang meninggal. Kenapa polisi tidak boleh ikut campur?" tanyanya pada akhirnya.
Seorang siswa di barisan depan menjawab, "Karena kematiannya tidak penting."
Siswi di sampingnya melanjutkan, "Selain itu karena Kepala Sekolah yang mengatakannya."
Sachiko menaikkan sebelah alis dan ujung bibirnya. Ia bergegas kembali ke tempat duduk dan mengeluarkan buku penghubung SMA Nusantara Senja. Yang berwarna hitam. Ia rasa semua hal aneh yang diucapkan murid-murid barunya pasti berhubungan dengan hal konyol bernama tradisi dan peraturan SMA Nusantara Senja. Yang terkenal sangat ketat.
Tradisi pertama, kedua, ketiga hingga terakhir dibacanya baik-baik. Hmm, unik.
Di tengah semua itu. Maurice mengangkat tangan. "Pak Sachiko, memangnya Wali Kelas kami ke mana?" tanyanya.
Anak-anak lain berpikir, benar juga. Pak Haz tidak pernah melakukan sesuatu sebagai guru tanpa memberitahu kelas 2-A. Mustahil jika tiba-tiba ia mengundurkan diri tanpa berita atau semacamnya.
"Saya kurang tahu. Saya hanya ditugaskan untuk ini," jawab Sachiko.
Maurice kembali duduk dengan senyum mengerikan terukir di bibir. Ooh... Menarik sekali... Pak Haz pasti mati... Pasti mati... Ia pasti dibunuh Setan itu. Pasti...
🎭🎭🎭
Saat jam istirahat tiba. Maurice segera menuju kelas B. Di kelas B sendiri sedang ada keramaian karena seorang siswanya tidak kembali saat izin ke toilet. Karena merasakan keterkaitan. Maurice mendekati mereka.
Saat siswa itu keluar ia sendirian. Tak ada yang keluar lagi setelahnya. Sama dengan keadaan kelas A. Tak ada yang meninggalkan kelas saat pelajaran berlangsung.
"Sailendra mana?" tanya Maurice.
"Dia mencari bersama Rivan dan Anto. Mereka belum kembali sejak tadi dan tak bisa dihubungi."
Lebih baik aku ikut mencari juga, pikirnya beranjak pergi. Saat sampai di depan pintu. Maurice berpapasan dengan tampang Sailendra yang biasanya ceria berubah murung.
"Te, teman-teman... Keadaan Bakri... Keadaannya... Keadaannya...," ucapnya menahan air mata sambil menunjuk ke arah lorong.
Sontak beberapa anak kelas B termasuk guru keluar untuk memeriksa.
Sailendra mengangkat wajah dan menghapus air matanya. Ia berjalan ke tempat duduknya. "Lho, ada Maurice. Ada apa?" tanyanya santai.
"Aku ingin melakukan transaksi lagi denganmu," jawab Maurice.
"Silahkan. Kebetulan aku sudah lama tidak makan mi ayam," respon Sailendra.
"Kemana Pak Haz?" tanya Maurice.
"Dia mati. Ditemukan empat hari hari lalu. Jam sembilan lebih tiga belas menit oleh Pak Ridwan yang sedang bersih-bersih. Di depan ruangan kunci. Dengan luka tusukan di punggung dan dahi. Senjata pembunuh diperkirakan pisau berburu. Statusnya di kepolisian masih orang hilang. Soalnya Pak Haz memiliki anak dan istri. Dua mangkok," jawabnya mengacungkan dua jari: jempol dan telunjuk.
A, a, ah,ini terdengar tidak masuk akal. "Dari mana kau mengetahui semua itu?!" tanya Maurice.
"Jika kuberitahu nanti kau bisa merebut pekerjaanku, dong. Ini adalah sumber pengahasilan utamaku. Jika kau tahu," jawabnya datar.
Maurice belum menyerah, "Semahal apa pun akan kubayar. Aku juga tak tertarik jadi informan. Kumohon beritahu aku."
"Kau pelanggan pertama yang bersikap begini. Kalau begitu permintaanku sama. Sebutir saja bola matamu yang hidup dan cantik," tunjuk Sailendra ke wajah Maurice.
Mataku? Aku sudah memerkirakan ini permintaannya. Tapi... "Kenapa yang kau minta harus bola mataku? Kenapa tidak ja, jari atau te, telinga?" tanya Maurice.
"Karena mata itu lucu. Apalagi yang sudah keluar dari rongganya. Empuk-empuk kenyal begitu. Seperti squishy. Apa kejahatan jika aku memikirkannya? Tidak, 'kan? Toh aku tidak meminta paksa."
"Lalu, kenapa guru yang mati itu kehilangan sebelah matanya juga?" tanya Maurice.
"Informasi terlarang. Untuk yang ini kau harus memberikan sepasang mata. Dan telingamu padaku," jawab Sailendra.
Maurice amat geram. Digigit bibirnya. Keringatnya menetes deras. "Pasti kau pelakunya!" tudingnya.
"Jaga ucapanmu, anak baru! Jika kau tetap ingin tahu. Kau harus memberikan nyawamu untuk Anes," kata Sailendra.
Maurice memasukkan tangannya ke kantong celana dan mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Ditaruhnya di hadapan Sailendra.
Melihat uang itu Sailendra berkata, "Cinderamata perpisahan? Cantik juga. Selera anak itu bagus."
🎭🎭🎭
Maurice yang telah kembali kekelasnya.
"Sebenarnya ada apa dengan anak itu?" tanyanya sambil mengacak-acak rambut. Dari raut wajahnya Millhewi menangkap bahwa Maurice amat gelisah. "Dari mana dia bisa mengetahui bermacam informasi soal SMA Nusantara Senja?" tanya Maurice.
"Dia pernah membaca seluruh folder di ruang arsip mungkin," tebak Millhewi.
"Sejak kapan ia terkenal sebagai informan?" tanya Maurice.
"Jangan katakan kamu mencurigai Sailendra. Dalam investigasi konyolmu ini."
Maurice berdiri dan sebelah tangannya menggebrak meja, brak! Ia berteriak, "Ya, aku mencurigainya. Ia pantas dicurigai. Bukan hanya Sailendra. Tapi, kau dan Jethro juga. Sekolah ini memang dipenuhi pembunuh!"
Teriakannya mendiamkan kelas. Semua anak yang berada di kelas melihat Maurice seperti ia bukan dirinya. Maurice yang berteriak. Maurice yang membentak Millhewi. Maurice yang ucapannya sukar dipahami. Yang sebenarnya... Maurice yang sesungguhnya.
Millhewi kaget Maurice berteriak seperti itu padanya. Tapi, ia tidak sedih. Sejak awal ia tahu semua orang dapat berubah dengan cepat. Maka ia telah mengantisipasi untuk perubahan Maurice juga. Setelah itu ia kembali melihat pemandangan di luar jendela. Satu-satunya hal yang menampilkan kenyataan.
Maurice berjalan menuju koridor di dekat tangga. Ia menyenderkan punggung dan mengamati setiap murid yang berseliweran. Diamatinya para siswi. Ada yang menggunakan pita. Ada juga yang menggunakan dasi. Itu hanya peraturan tak tertulis yang menyatakan siswi boleh menggunakan dasi maupun pita setiap hari. Kecuali hari Senin di mana seluruh siswi diwajibkan menggunakan pita. Sekolah ini hanya memiliki sebuah seragam.
Mereka semua terlihat biasa dan bahagia.
Ah, nanti aku harus meminta maaf pada Millhewi. Aku keceplosan. Ia pasti marah sekali, pikirnya tertunduk. Saat diangkat kepalanya. Sosok gadis yang terkenal dekat dengan Sailendra kebetulan melintas.
"Sandra!" panggilnya.
Gadis bernama Sandra itu membalik tubuhnya dan berjalan ke arah Maurice. Meninggalkan teman-temannya. Mereka berdua berjalan ke kantin.
"Katanya hubunganmu dengan Sailendra cukup dekat. Aku ingin menanyakan beberapa hal. Seperti... Anes. Apa kamu tahu siapa dia?" tanya Maurice.
"Uhm, informasi dariku tidak gratis, ya," jawab Sandra.
"Baiklah. Apa?" tanya Maurice.
"Kau harus bersedia menjadi pacar bohonganku selama satu minggu. Bagaimana?" jawab Sandra.
"Baiklah."
"Sebenarnya kami satu sekolah saat SMP. Anes adalah nama seorang gadis yang sangat berarti untuk Sailendra. Saat itu ia belum sependiam sekarang. Anes juga beberapa kali datang menjemput Sailendra saat kelas 7."
"Setelah itu?" tanya Maurice.
"Aku tidak tahu bagaimana kronologisnya. Sepertinya keadaan Anes memburuk saat kami naik ke kelas 9. Ia tidak pernah terdengar lagi ceritanya. Sejak saat itu Sailendra jadi sedikit 'aneh'."
Setelah berterima kasih Maurice bersiap cabut. Namun, Sandra menghentikannya.
"Hati-hati. Barusan Dewan Guru mengumumkan untuk tidak ke bagian sepi di sekolah atau pergi sendirian," peringat Sandra.
"Aku akan jaga diri. Sebaiknya kamu juga hati-hati, Sandra."
Maurice meninggalkan Sandra dan kembali ke kelasnya.
Diduduki kursinya dengan canggung pada Millhewi. Sementara keadaan anak-anak lain di kelas bersikap seolah tak terjadi apa pun. Yah, sejak awal ia bukanlah siapa pun. Millhewi tetap memandang keluar jendela tanpa memerdulikan kedatangannya.
"Aku hanya ingin menguak kasus ini, Mill..."
"Menguak kasus apa? Untuk apa kamu begitu semangat. Sementara tak ada yang memerdulikannya. Aku tidak tahu apa dasarmu untuk mengatakan itu semua."
Benar juga. Millhewi hanyalah gadis lemah yang tak bisa melawan saat anak-anak lain mem-bully-nya. Bagaimana caranya ia akan melawan para korban yang jauh lebih besar?
Dengan berat Maurice mencoretkan sebuah garis di atas nama Millhewi. Dari perkiraan daftar pelaku pembunuhan-pembunuhan ini.
Mungkin benar. Maurice terlalu terobsesi. Entah obsesinya pada apa. Yang jelas itu semua berbahaya.
Kalau dipikir-pikir lagi jika Millhewi pelakunya. Korban-korbannya seharusnya berasal dari kelas ini. Tapi, seperti yang kita lihat. Kelas ini utuh sejak awal.
Maurice menelungkupkan kepalanya dan memikirkan betapa pembunuhan dan misteri adalah hal yang menarik. Ia melihat gadis yang memunggunginya. Memandang pemandangan di luar jendela.
"Millhewi," panggilnya pelan. Gadis itu enggan untuk merespon balik. "Besok sepulang sekolah aku tunggu di depan kolam renang."
Tiba-tiba ia membalik tubuhnya. "Apa yang mau kamu lakukan?" tanyanya penuh curiga.
Millhewi juga suka menikmati kisah detektif semacam Agatha Christie atau Sherlock Holmes. Dengan tergesa-gesa ia menyimpulkan pelaku dari seluruh pembunuhan misterius ini adalah Maurice. Untuk menutupinya ia berpura-pura terobsesi pada penyelidikan pelakunya. Trik psikologis sederhana untuk mengecoh penyelidikan.
Setidaknya kalau pun ia ingin membunuhku aku akan menyiapkan suatu rencana untuk menggagalkannya. Jika aku bisa menangkap pelaku pembunuhan brengsek ini mungkin tuduhan terhadapku bisa hilang.
Tapi, mustahil Maurice pelaku kasus Pak Henry. Bagaimanapun ia pasti tidak mengenalnya. Jika begitu setidaknya aku bisa mendapatkan pelaku dari kegelisahan ini.
Kesalahsangkaan yang jahat.
(disclaimer)
Pemuda itu sangat mencurigakan!
Apa yang akan Maurice lakukan untuk mencari jawaban akan pertanyaan soal Sailendra?
Ikuti terus ceritanya!
Jangan lupa share, like, vote, dan comment.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments