Second Day in Nusantara Senja

Hari kedua bagi Maurice Anandratama Saputra Haryo. Di SMA Nusantara Senja yang terkenal angker dan misterius. Tapi, tidak untuknya.

Kali ini ia tiba lebih pagi sehingga bisa memasuki gerbang sekolah bersama anak lain. Di kejauhan tak tampak Pak Tua Penyapu. Mungkin ia hanya belum memulai aktifitas anehnya: menyapu dan kembali menghamburkannya kembali. Seperti orang sinting yang penuh makna.

Maurice melangkahkan kaki dengan wajah yang tertunduk muram. Tanpa alasan apa pun. Ia merasa akan ada sesuatu terjadi dalam hidupnya. SMA Nusantara Senja bukanlah pilihan untuk anak-anak yang memang telah bersekolah di sana sejak awal. Ini jalan hidup yang tak ada pilihan kedua. Tapi, untuk siswa seperti Maurice. Yang bisa dengan mudah masuk ke sekolah negeri bergengsi. Ini merupakan pilihan. Yang diambilnya guna menyelesaikan twist-twist dari misteri yang tersusun sendiri dalam pikirannya.

Bu Ressel. Ada apa dengan Bu Ressel? Ia percaya sepenuhnya berhubungan dengan lambaian tangan Millhewi yang tak terlihat ganjil. Namun, sarat makna. Lalu, Jethro juga. Reaksi anak-anak kelas 2-A. Perilaku guru yang tidak wajar. Kematian Pak Henry yang penyelidikannya dihentikan oleh pihak sekolah.

"Yo, Maurice, selamat pagi!" salam Jethro. Menepuk pundaknya akrab.

"Iya, selamat pagi," tunduknya lagi. Untuk pertama kalinya Maurice tidak tahu apa yang harus ia katakan pada teman baru. Jethro terlihat baik dan ramah. Seharusnya tak ada yang salah.

"Jethro, apakah ada hantu di sekolah ini?" tanya Maurice.

"Ada. Tapi, wujudnya manusia," jawab Jethro.

Maurice menenggak ludah. "Maksudmu?" tanyanya.

"Hantu itu yang selalu bersamamu." Jethro melongok jam tangannya. "Wah, aku duluan. Ada pertemuan klub sepak bola. Kalau mau bergabung hubungi aku, ya. Sampai jumpa." Ia berlari mendahului Maurice yang terdiam pasif diantara anak-anak lain yang bergegas menuju kelasnya masing-masing. Seperti gerak slow motion berlebihan yang membuatnya tertinggal dalam detak waktu.

Aku harus tetap memulai hari ini dengan orientasi akan kebahagiaan. Aku percaya kebahagiaan senantiasa akan mengikuti setiap orang yang mempercayainya. Aku tidak harus memikirkan semua itu.

Semua akan baik-baik saja.

🎭🎭🎭

Didorong pintu kelas yang sedikit berat pada engselnya.

"Pagi semua," salamnya berusaha seramah mungkin.

Millhewi sudah datang. Tetap pada pandangan ke luar jendela yang membosankan. Menopangkan dagu tanpa makna.

"Pagi," jawab Nismaya, gadis bertubuh gempal dengan kulit gelap dan rambut keriting. Sambil mendekati Maurice. Dan menghentikan langkahnya. "Hari ini Lina tidak masuk. Maukah kamu duduk bersama Lakstiara?" tawarnya.

Maurice berpikir sejenak. Dilihatnya Lakstiara di tempat duduk bersama teman-teman yang mengerumuninya. Gadis berkepang dua dengan bagian belakang rambut dibiarkan terurai. Menggunakan kacamata dan pemilik tahi lalat di atas bibir. Dilambaikan tangannya pada Maurice genit. Sebenarnya duduk dengan siapa saja bukan masalah untuknya. Hanya saja ia merasa lebih nyaman jika...

"Hari ini ada yang ingin kubicarakan dengan Millhewi." Maurice melepas tangannya dari pegangan Nismaya. "Lain kali, ya."

Apa dia bilang? Dalam batin Nismaya dan teman-temannya. Ini wujud pengibaran bendera perang dari pihak Maurice.

"Baiklah," respon Nismaya.

🎭🎭🎭

"Selamat pagi, Millhewi," sapa Maurice ramah beranjak duduk.

"Pagi," jawab Millhewi tidak ramah tanpa mengalihkan pandangan.

Maurice menopangkan dagunya pada kedua telapak tangan di atas meja. "Kamu tahu? Kata teman-teman di sekolahku dulu sekolah ini selalu ditutupi awan mendung. Ternyata tidak juga."

"Kenapa kamu menolak duduk bersama anak itu?" tanya Millhewi.

"Kalau aku bersamanya kamu sama siapa?" tanya Maurice balik tanya.

"Aku sudah terbiasa sendiri. Kumohon jangan buat posisimu terancam. Mereka tidak sebaik yang terlihat," peringat Millhewi.

"Bapak tukang sapu itu ke mana, ya?" tanya Maurice.

Millhewi tak menggubris pertanyaan Maurice.

"Oh, Millhewi, matamu kenapa?" tanya Maurice lagi.

Ia menutup eyepatch-nya dengan telapak tangan. Matanya yang satu lagi memandang kelabu. "Padahal kita baru kenal. Kenapa kamu baik sekali? Kamu belum tahu aku orang yang seperti apa."

Maurice tersenyum. "Menurutku semua orang itu baik."

Ia berkata lirih, anak kemarin sore. "Kata mereka aku setan. Padahal mereka yang telah menjadikanku seperti ini. Kamu akan menyesal kalau tidak mendengarkan nasihatku, Maurice."

Guru masuk. Pelajaran dimulai. Ditengah-tengah jam ke-empat speaker di pojokan kelas berbunyi, "Siswi dengan nama Millhewi dari kelas 2-A diharap datang ke ruang guru lantai 3."

Maurice melihat ke seisi kelas yang cengengesan aneh.

"Sudah datang, ya?" ucapnya sebelum berdiri. Ia berjalan keluar kelas tanpa meminta izin guru. Semakin aneh. Semoga ia baik-baik saja.

🎭🎭🎭

Kenyataan berkata lain. Ruang guru lantai 3 yang berarti ruang Kepala Sekolah. Millhewi menghadap wanita senja yang seluruh rambutnya telah beruban itu seorang diri.

"Dasar pembunuh," buka wanita itu dengan tatapan tajam.

Millhewi menjawab tenang, "Walau bukan saya yang melakukannya. Saya bersyukur Pak Henry telah mati mengenaskan. Ia pantas mendapatkannya. Sebuah akhir yang menyedihkan karena tak ditentukan sendiri oleh Tuhan."

"Saya bersumpah akan saya panjangkan usia kamu berada dalam penderitaan!" teriak wanita itu.

Ia menenggak ludahnya. "Seharusnya Ibu ingin membunuh saya."

Wanita itu menggigit bibirnya yang gemetar, "Akan saya lakukan. Akan saya habisi kamu sama seperti Henry..."

Ia bertampang menantang. "Ibu berkata begitu hanya untuk melarikan diri dari kenyataan bahwa Ibu telah membunuh Pak Herman."

"AAAAAH, DASAR ANAK BRENGSEK!!!!" DUAK! Sebuah buku hard cover melayang bebas dan menghantam kepalanya. Merintih. Dipegangi dahinya yang memar.

🎭🎭🎭

Berlari cepat ia kembali menuju kelas. Dibukanya pintu tanpa permisi dan langsung didudukkan tubuhnya. Seisi kelas—kecuali Maurice. Tercengir puas sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Ini hal biasa. Sosok bernama Millewi tak akan meneteskan air mata untuk sesuatu seperti ini. Jangankan buku. Kepalanya pernah menjadi landasan vas bunga. Ini hal kecil.

🎭🎭🎭

Jam istirahat tiba. Karena kantinnya terlalu jauh Maurice malas pergi ke sana. Dilihatnya Millhewi yang tidak terlihat ingin meninggalkan kelas. Dilanjutkan sesi investigasi.

"Aku masih penasaran tentang hantu yang kamu sebutkan. Sebenarnya apa?" tanya Maurice.

"Tidak usah banyak tanya. Suatu saat kamu akan melihatnya," jawab Millhewi.

"Jadi, hantu itu bukan kamu, 'kan?" tanya Maurice.

Millhewi memicing.

"E, eh maksudku, aduuh, ta, tadi..."

"Siapa? Jethro?" tanya Millhewi.

Saat sedang asyik mengobrol. Tiba-tiba Nismaya, Indah, Lakstiara, diikuti beberapa anggota kelas lainnya menghampiri mereka. Meskipun mereka datang. Millhewi tak menganggap mereka ada. Maurice malah salah tingkah. Buruk untuk Millhewi.

"Menyingkirlah, Maurice!" perintah Nismaya yang tingginya tidak mencapai dada Maurice angkuh.

Millhewi menggebrak mejanya, BRAK! "Apa sih yang kalian inginkan?!!!" tanyanya.

Maurice memundurkan kursinya. Menjauh. Dilihatnya Nismaya dengan kasar langsung menjambak rambut pendek Millhewi. "Gadis kotor. Dasar pembunuh!"

Millhewi mengerang kesakitan berusaha melepaskan cengkraman tangan besar Nismaya.

Dalam batin Maurice, apa yang terjadi? Dilihatnya sisa anak yang masih ada di kelas. Sama sekali tak ada pandangan bahwa yang Nismaya lakukan adalah kesalahan. Namun, sebagai laki-laki. Juga teman Millhewi. Ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Terlebih di hadapannya sendiri.

Didekati Nismaya yang meneriakkan berbagai ucapan kotor pada Millhewi. Didukung oleh semua anak. Berusaha dilepaskannya tangan Nismaya dari leher Millhewi. "Hentikan! Apa sih yang kalian lakukan?" tanya Maurice.

Dengan tangan satunya gadis berbadan besar itu menjambak rambut Maurice, "Anak baru sialan. Tidak usah ikut campur!" teriaknya.

Indah turut berteriak, "Dia pembunuh dan perempuan jalang."

Dengan kekuatannya Maurice berhasil melepaskan tangan Nismaya dari rambutnya. "Kalian itu ngomong apa?" teriaknya balik.

Lakstiara menyilangkan tangan. "Anak baru, kami beritahu, ya. Yang membunuh Pak Henry itu dia," tudingnya sambil menjambak poni Millhewi.

Nismaya menengok ke belakangnya dan berkata, "Jethro, urus anak baru menyusahkan ini!"

Jethro dan kedua temannya, Edi dan Panji, menghampiri Maurice. Dua orang memegang lengannya dari belakang. Maurice memberontak. Kemudian Jethro memegang pelipis Maurice dan mengadukannya dengan dinding, duak! Dalam sekali dorongan. Dengan kekuatan tangannya sebagai kiper. Tak ayal membuat Maurice kehilangan kesadaran.

"Maurice!" Nismaya mengencangkan cekikannya pada leher Millhewi. "O, ohok ohok, huek..."

Tubuhnya meronta. Tapi, dengan kepungan lebih dari sepuluh anak perempuan. Tak memberinya banyak pilihan. Plaak! Plak! Plak! Berulang kali semua anak yang ada di sana menampar pipi dan menonjoki perutnya tanpa ampun.

Indah berkata di daun telinga Millhewi, "Setan itu bertempat di neraka."

"Apalagi setan pembunuh," lanjut Nismaya.

"Buruk rupa dan biadab," lanjut Lakstiara.

"Ka, kalian semua brengsek."

"Oh ya?" tanya Nismaya. DUAK! Tinju besarnya mendarat tanpa ampun di perut gadis itu.

"Ohok!" Cairan asam melontar dari lambungnya.

"Iiiihh, najis! Jijik banget! Dasar manusia setan penghuni neraka!" teriak Lakstiara menyemarakkan suasana.

"Bu, bukan aku yang menyebabkan kematian Pak Henry. Ia mati karena orang lain!" ucap Millhewi. Berusaha membela diri.

"Oh ya? Siapa?" tanya Indah.

"Mana aku tahu," teriak Millhewi.

Nismaya menarik poni Millhewi lagi. "Kalau jawab pertanyaan orang jangan sambil teriak! Ambilkan kapur!" perintah Nismaya pada seorang siswi.

Millhewi memberontak menggunakan seluruh kekuatannya. Namun, tetap saja percuma. Nismaya mendongakkan kepala dan membuka rongga mulutnya. Indah menuangkan sekotak kapur ke mulut Millhewi. Saat ingin dimuntahkan. Lakstiara melakban mulut Millhewi. Memaksa menelan.

Semuanya puas.

Semuanya senang.

"Dasar cewek aneh!" teriak seorang siswi.

"Dasar cewek setan!" teriak seorang siswa.

"Cewek gila!" teriak yang lainnya.

"Pembunuh!" teriak mereka semua.

Nismaya tersenyum sinis memandang Millhewi. Memerintahkan anak lain untuk membawa ember berisi air. Tanpa ragu Nismaya membenamkan kepala Millhewi. Tubuhnya meronta. Nismaya menarik lagi kepalanya sebelum Millhewi mati. Dibenamkan lagi. Begitu terus berulang kali.

Waktu istirahat bagi kelas 2-A dihabiskan dengan kesenangan yang berbeda. Menyakiti orang lain menyenangkan untuk mereka. Apalagi kalau yang disakiti itu pendosa.

Beberapa penghuni SMA Nusantara Senja meyakini dengan sepenuh hati. Pembunuh Pak Henry guru fisika itu adalah, Millhewi. Karena suatu alasan. Hanya ia yang memiliki motif untuk melakukannya. Membuat Bu Ressel semakin stres setelah kematian putra pertamanya, Pak Herman. Di sekolah itu juga.

Nismaya menarik keluar kepala Millhewi. Kelihatannya ia sudah tak sadarkan diri juga.

"Membosankan. Masa begini saja dia juga pingsan, sih?" tanya Lakstiara.

"Lebih baik mereka kita biarkan saja sampai sadar sendiri," usul Indah.

Sebelum kembali ke tempat duduknya sendiri: Indah, Lakstira, dan Nismaya melihat Maurice. Mereka berkata, "Di SMA Nusantara Senja, kekuasaan absolut berada di tangan Kepala Sekolah dan tradisi."

"Mungkin kita bisa memberitahunya setelah ia sadar," kata Indah.

Nismaya melanjutkan, "Itu kenapa tidak dianjurkan menjadi murid baru di sekolah ini."

Di balik semua itu. Jethro bertampang sedikit prihatin. Juga bingung. Dunia memang jarang memberikan pilihan yang bersahabat.

🎭🎭🎭

Maurice mengerjapkan mata. Samar-samar dilihat guru yang tengah menerangkan. Dipegang kepalanya yang terasa sakit. Perlahan diingat semua yang terjadi. Ia langsung menengok Millhewi yang menelungkupkan kepala. Disenggol lengannya lembut. Tubuhnya sedikit bergerak dan melihat Maurice. Ia tenang.

Millhewi langsung terbatuk memuntahkan sisa kapur di atas meja. Membuat ketenangan Maurice lenyap. Cairan kental berwarna putih–beberapa merah muda dan kuning membasahi permukaan meja. Membawa Maurice pada kecurigaan.

"Apa yang sudah kalian lakukan padanya?!" teriak Maurice.

PLAAK!!! Penggaris kayu panjang yang menjawab.

"Kamu tidak tahu sekarang masih jam pelajaran? Malah muntah di kelas. Sekarang teriak-teriak. Tidak diajarkan sopan santun sama orang tua kamu?!" tanya guru yang sedang mengajar.

Maurice berusaha menjelaskan. "Tapi Pak, tadi saat istirahat mereka semua... mereka..."

Belum menyelesaikan ucapannya. Maurice melihat Jethro. Ia menggeleng pelan dengan wajah kalem. Ini benar-benar keterlaluan, pikir Maurice.

Millhewi berdiri dan berlari ke luar kelas, "Akan saya bersihkan."

Maurice mengamati muntahan itu. Kotak kapur yang tidak pada tempatnya. Baru hari kedua ia sudah mendapatkan bahan menarik untuk diselidiki.

Pasti terjadi sesuatu pada Millhewi saat aku pingsan. Penyebabku pingsan adalah mereka. Tidak bisa diampuni. Rupanya di luar duniaku selama ini. Ada bagian dunia yang gelap. Aku memang anak kecil yang belum mengetahui apa pun.

Ia kembali duduk dan mengamati penjuru kelas. Beberapa orang anak melihatnya balik. Pandangan penuh permusuhan.

🎭🎭🎭

Bel pulang berdering. Murid-murid berhamburan melepas waktunya sebagai pelajar di sekolah aneh. Dan siap memulai hidup sebagai manusia biasa. Maurice memegang erat pergelangan tangan Millhewi.

Millhewi melihat Maurice penuh tanya, "Ada apa?" tanyanya.

"Kamu tidak boleh keluar tanpa aku," putus Maurice.

Millhewi tersenyum hangat. Sesuatu yang menenangkan pemuda itu. Di balik wajah Millhewi yang memucat. Begitu kontras dengan warna rambutnya. Mereka berdua berjalan beriringan keluar kelas. Tanpa memerdulikan pandangan sinis anak-anak lain.

Indah di tempat duduknya berkata pada teman-temannya, "Teman orang aneh pasti orang aneh juga."

"Teman pembunuh pasti akan jadi pembunuh juga," lanjut Lakstiara.

Jethro sendiri yang mulai merasa tak nyaman. Memilih segera meninggalkan tempat itu.

"Sebenarnya apa sih yang terjadi?" tanya Maurice khawatir.

Gadis bertampang dingin itu tersenyum. "Kamu tahu? Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang tak begitu ingin dijawab," ucapnya.

"Begitu, ya. Apa?" tanya Maurice.

"Terkadang manusia tak begitu senang menceritakan penyebab dari kesulitan yang mereka alami. Seperti aku." Ia menutupi eyepatch-nya dengan punggung tangan. "Aku tidak pernah suka menceritakan alasanku mengenakan ini. Salah satu tugas manusia adalah memahaminya. Agar tidak menyakiti orang lain."

"Tapi, aku tidak menyesal sudah pindah kemari. Baru hari kedua aku sudah mengalami banyak hal menarik. Pengalaman kan lebih berharga dari berlian," kata Maurice.

"Tidak juga," balas Millhewi.

Maurice kukuh, "Itu kan peribahasa biasa?" tanyanya.

Millhewi tak merespon dan hanya menengok ke arah yang berlawanan dengan Maurice.

"Mau pulang bersama lagi?" tawar Maurice. Tanpa menunggu jawaban ditariknya pergelangan tangan Millhewi menuju mobil beserta mamanya yang telah menunggu.

Beberapa anak kelas 2-A menatap penuh kebencian. Selama ini mereka terbiasa melihat Millhewi menangis, diam, mengalah, kalah, dan menderita. Seukir senyum saja telah begitu mengganggu perasaan mereka.

Berbeda dengan Millhewi. Ia membenci anggota kelasnya. Maupun seluruh anggota SMA Nusantara Senja yang kerap kali melakukan bully padanya. Tapi, posisinya sejak awal memang lemah. Ia tak pernah punya kekuatan untuk menunjukkan kebenciannya.

Sabar itu kuat. Tapi, terlihat lemah. Di balik kelemahan itu. Tersimpan kekuatan yang mengerikan.

🎭🎭🎭

Di mobil Maurice.

"Kenapa kamu baik sama aku?" tanya Millhewi.

Wajah Maurice memerah, "So, soalnya kamu... soalnya kamu itu korban," jelasnya gelagapan, "dan korban itu harus... (suara hati Maurice: harus diapakan?) dibela. Aku kan pembela kebenaran." Ia tersenyum merasa menang.

Miranda menyeringai menopangkan pipinya di jendela sambil berpikir, dasar anak muda.

Millhewi terkikik kecil, "Kamu lucu banget."

"Ekhm, ekhm."

"Iiih, Mama kenapa, sih?" protes Maurice.

Maurice memikirkan pepatah tua jaman dulu, jangan berduaan. Kalau berduaan yang ketiga itu... Sudahlah.

Mobil berhenti di persimpangan yang sama dengan kemarin. Dan sama seperti kemarin juga Millhewi melambaikan tangannya dari luar.

"Terima kasih ya, Maurice Anandratama Saputra Haryo," katanya sambil tersenyum sebelum membalik badan.

Maurice membalas lambaian tangannya sambil tersenyum.

Saat mobil telah berjalan. Miranda yang tidak sabar langsung menanyakan perasaan putranya, "Kamu menyukainya?"

"Tidak, kok. Kami hanya teman," jawab Maurice memandang pemandangan di luar jendela ala ala telenovela.

"Orangtua jangan dibohongi, Maurice. Aduh, sepertinya Mama harus siap-siap punya menantu, nih," goda Miranda.

"Mama apa-apaan, sih? Aku masih kecil. Juga masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dunia ini luas," ujarnya sambil bertopang dagu mengamati pemandangan berjalan di luar jendela.

Waktu memang absurd. Banyak orang hidup bertahun-tahun lamanya, tapi tidak mendapatkan apa pun. Tapi, ada juga yang hidupnya hanya sebentar. Tapi, sudah mengalami banyak hal. Meskipun relatif. Sudut pandangnya dari mana pun sama. Menurut wanita itu. Meski baru dua hari putranya pindah sekolah. Pasti sudah ada banyak yang terjadi.

🎭🎭🎭

Sesampainya di rumah. Maurice langsung melempar tas ke sofa. Dilonggarkan dasinya dan langsung duduk santai sambil menyetel TV.

"Mama tahu? Bully itu benar-benar nyata, lho," beritahu Maurice.

"Nyata bagaimana?" tanya Miranda.

"Korban bully biasanya orang yang terpinggirkan. Sehingga dunia tidak melihat mereka atau malah menganggap tindakan bully hal biasa. Di sekeliling kita banyak korban tindak kekerasan yang terabaikan. Manusia terlalu berat untuk menyadarinya. Jika korban bully melaporkan apa yang terjadi. Dan malah disalahkan karena penyebab ia diperlakukan begitu. Kan jahat," jawab Maurice.

"Kamu bicara apa, sih?" tanya Miranda lagi.

Mata Maurice menatap layar televisi dengan pandangan kosong. "Terkadang beberapa orang harus belajar untuk mengurusi dirinya sendiri."

"Maurice, apa yang sudah terjadi pada anak tadi?" tanya Miranda.

Ia menengok mamanya lembut. Ingin mengulangi ucapan Millhewi. Tapi, diurungkan. "Mama juga." Ia tersenyum sebelum berjalan ke tangga.

Sesampainya di kamar segera dilakukan ritual melempar tas dan langsung membanting tubuh di kasur empuk. "Ini semua sangat menarik." Ia membalik tubuhnya dan mengusap bed cover putih. "Apa hanya itu? Semua ini tidak boleh selesai. Tidaak... boleh."

🎭🎭🎭

Sementara Millhewi di rumahnya. Dibukanya pintu perlahan. Ia melongok sedikit. "I'm home."

Suasana di dalam rumah terlihat sepi. Dilangkahkan kakinya masuk. Dinaiki tangga kayu menuju lantai atas. Sebelum sampai kamarnya. Dilewati sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka. Terlihat pemandangan seorang wanita paruh baya yang menangis pelan sambil memeluk bantal di lantai. "Mama?"

"Pergi kamu!!!" jawab wanita itu sambil melempar bantal yang tadi dipeluknya ke tubuh Millhewi.

Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan berlari keluar. "Mama pasti bertengkar lagi dengan Papa," pikirnya singkat.

Entah sejak kapan. Ia tidak pernah memerdulikannya lagi.

(disclaimer)

Keadaan bertambah buruk.

Pertanyaannya semakin rumit.

Apa yang akan Maurice lakukan untuk mendapatkan jawabannya?

Ikuti terus ceritanya!

Terpopuler

Comments

Bobby Von Belpois

Bobby Von Belpois

ho ho ho, aku memiliki pertanyaan. kapur enak nggak dimakan?

soalnya mau mukbang kapur

2021-02-09

0

💎khun khun💎

💎khun khun💎

good

2020-07-06

0

john jono

john jono

hadirr kembali

2020-05-17

0

lihat semua
Episodes
1 Voice in the Twilight
2 First Day in Nusantara Senja
3 Second Day in Nusantara Senja
4 Third Moment in Nusantara Senja
5 Fourth Day for Maurice Anandratama Saputra Haryo
6 Past for Maurice Anandratama Saputra Haryo
7 Today for Jethro Dick Rise Rivanno
8 Question for Sailendra Fathillah Amorgan 1
9 Question for Sailendra Fathillah Amorgan 2
10 Guilt for Jethro and Maurice
11 Song for Soul and Anxiety 1
12 Song for Soul and Anxiety 2
13 Sense of Life for Sense of Lost 1
14 Sense of Life for Sense of Lost 2
15 Sense of Life for Sense of Lost 3
16 Sense of Life for Sense of Lost 4
17 Immoral Memory of Pathetic Person 1
18 Immoral Memory of Pathetic Person 2
19 Immoral Memory of Pathetic Person 3
20 Immoral Memory of Pathetic Person 4
21 Immoral Memory of Pathetic Person 5
22 Vessel for Milquetoast 1
23 Vessel for Milquetoast 2
24 Vessel for Desperate 1
25 Vessel for Desperate 2
26 Vessel for Desperate 3
27 Vessel for Desperate 4
28 What They Want (1-A)
29 What They Want (1-B)
30 What They Want (1-C)
31 What They Want (2-A)
32 What They Want (2-B)
33 What They Want (3-A)
34 Menemukan yang Kau Cari?
35 Pengumuman novel Scenery Out the Window of CORRUPTION
36 Maurice pada: Bumi Cen Xi
37 Luka Bumi
38 @A_A_A_
39 Artelier's Canyon of Madness
40 Luka Bumi Cen Xi's End
41 Alasan Bumi
42 The Answer?
43 Doa Bumi
44 C111A46G571
45 Way of Me
46 Ally on the Blanket
47 Their Spirit
48 Their Decision
49 Rotten Apple
50 Bumi's Violation
51 Chen Xi's Deviations
52 Dream Vs. Dreaming
53 Morisery Offer
54 Among Them
55 Undergoing Suffering
56 Important Promise
57 Real Stupper
58 Equals
59 Their Minds
60 Going into Her Room
61 Reason for a Treason
62 Marcy's Wish
63 Meeting of Two Streams of Springs
64 False Dream
65 Fallen into Heaven
66 Their First Meeting
67 Curse of Hope
68 Their Bond
69 Patency
70 Human Hope
71 We Need to Talk About the Machine
72 The Beginning of a Disability
73 Gorge
74 That Happened to Him
75 Their Destiny
76 The Return of Earth's Destiny
77 The Dancing Hell
78 Reality Shun the Sun.
79 Morisery and Malika: Mereka
80 Pengumuman novel Scenery Out the Window of DESTRUCTION
81 Red Thread Blood Bonds
82 Serving Fate
83 Coercion
84 Fate to God
85 No Way Out
86 Tachyon
87 Death of Starlight
88 Reality of the Dim Star
89 Comparison
90 Absentis Fragmina
91 Dance of the Destiny of the Sun
92 Destroy or Get Rid of
93 The Meeting of Two Reverse Current
94 Mad Love
95 Trust in Wind Dust
96 The Storm's Implicit Smiles
97 Black Star Sheen
98 Manifestations of the Black Hole Ruler
99 Reluctance of the Black Hole Ruler
100 Madness Element of Furies
101 Not a Bit Ironic Apathy
102 Irony for the Ruler of the Black Hole
103 Light Shines on the Edge of a Cliff
104 Chaos
105 Esperano a-te
106 End or Beginning?
107 Scenery of Destruction
108 Bumi's True Plan
109 His Breakcity
110 Beginning of End for Light
111 tres Horae
112 Star Wound Optimistic Suggestions
113 Destiny
114 "Earth's" Destruction
115 Let Me In
116 Digital Destruction
117 Hurricane of Life
118 Destruction Preparation
119 Digital Doomsday
120 Maurice's Conclusion 1
121 Scenery Out the Window of Avior
122 Visualitation of Hope
123 Wielder
124 His Identity
125 T Reason
126 Figure Behind the Name
127 Dynasty
128 Punishment
129 Arsa Offer
130 God's Right Hand Plan
131 Love Statement
132 Treachery
133 Relation entre les humains
134 Kaisar's Beliefs
135 Authentical Proof
136 Fil emmêlé
137 Holy Grail
138 Unreality
139 Fake Throne
140 Innovation for Destruction
141 Cross Sanguine
142 Writer Project
143 Secret Dimension
144 True Reaction
145 Duelity
146 Another Rate
147 Black Sample
148 Dualism Wielder
149 Tasa
150 Writer Uncompleted Reveal
151 Ozora
152 Dalang Dialang
153 Surmise
154 Defense
155 End of Battle
156 Avior
157 Welcher, Kaisar?
158 Ihr Schicksal
159 Ende von Mihal
160 Schatten
161 Naomi Schicht
162 그 얼굴의 소유자
163 Next Case
164 New Stage
165 Blast of Heart
166 Ghindara's Decision. Or Not?
167 Anastasia Love
168 Final Destination
169 Public Enemies
170 MIHAL
171 brOKen
172 Some Sick Bastard
173 Awaken
174 Macabre
175 Maurice's Pre-Conclusion 1
176 Maurice's Meeting Back
177 Which Part
178 Wicker Think
179 Maurice's Amisit Iterumque
180 Maurice's on Noir Grotesque: Noir
181 Maurice's on Noir Grotesque: Grotesque
182 Maurice's Today is
183 Scenery Out the Window of Acute Myself
184 Acute Myself Zero
185 Acute Myself One
186 Acute Myself Two
187 Acute Myself Three
188 Acute Myself Four
189 Acute Myself Five
190 Acute Myself Six
191 Acute Myself Seven
192 Acute Myself Eight
193 Acute Myself Nine
194 Acute Myself Ten
195 Acute Myself Eleven
196 Acute Myself Twelve
197 Acute Myself Thirteen
198 Acute Myself Fourteen
199 Acute Myself Fifteen
200 Acute Myself Sixteen
201 Acute Myself Seventeen
202 Acute Myself Eighteen
203 Acute Myself Nineteen
204 Acute Myself Twenty
205 Acute Myself Twenty One
206 Acute Myself Twenty Two
207 Acute Myself Twenty Three
208 Acute Myself Twenty Four
209 Acute Myself Twenty Five
210 Acute Myself Twenty Six
211 Acute Myself Twenty Seven
212 Acute Myself Twenty Eight
213 Acute Myself Twenty Nine
214 Acute Myself Thirty
215 Acute Myself Thirty One
216 Acute Myself Thirty Two
217 Acute Myself Thirty Three
218 Acute Myself Thirty Four
219 Acute Myself Thirty Five
220 Acute Myself Thirty Six
221 Acute Myself Thirty Seven
222 Acute Myself Thirty Eight
223 Acute Myself Thirty Nine
224 Acute Myself Fourty
225 Acute Myself Fourty One
226 Acute Myself Fourty Two
227 Acute Myself Fourty Three
228 Acute Myself Fourty Four
229 Acute Myself Fourty Five
230 Acute Myself Fourty Six
231 Acute Myself Fourty Seven
232 Acute Myself Fourty Eight
233 Acute Myself Fourty Nine
234 Acute Myself Fifty
235 Acute Myself Fifty One
236 Acute Myself Fifty Two
237 Acute Myself Fifty Three
238 Acute Myself Fifty Four
239 Acute Myself Fifty Five
240 Acute Myself Fifty Six
241 Acute Myself Fifty Seven
242 Acute Myself Fifty Eight
243 Acute Myself Fifty Nine
244 Uncertainty of Maurice's Predestination
245 (Acute) Maurice's Pre Conclusion 2
246 Maurice's Little Trick
247 Acute Myself Sixty
248 Acute Myself Sixty One
249 Acute Myself Sixty Two
250 Acute Myself Sixty Three
251 Pengumuman... haseyo!
252 Pengumuman: HOROR BARU!!!
Episodes

Updated 252 Episodes

1
Voice in the Twilight
2
First Day in Nusantara Senja
3
Second Day in Nusantara Senja
4
Third Moment in Nusantara Senja
5
Fourth Day for Maurice Anandratama Saputra Haryo
6
Past for Maurice Anandratama Saputra Haryo
7
Today for Jethro Dick Rise Rivanno
8
Question for Sailendra Fathillah Amorgan 1
9
Question for Sailendra Fathillah Amorgan 2
10
Guilt for Jethro and Maurice
11
Song for Soul and Anxiety 1
12
Song for Soul and Anxiety 2
13
Sense of Life for Sense of Lost 1
14
Sense of Life for Sense of Lost 2
15
Sense of Life for Sense of Lost 3
16
Sense of Life for Sense of Lost 4
17
Immoral Memory of Pathetic Person 1
18
Immoral Memory of Pathetic Person 2
19
Immoral Memory of Pathetic Person 3
20
Immoral Memory of Pathetic Person 4
21
Immoral Memory of Pathetic Person 5
22
Vessel for Milquetoast 1
23
Vessel for Milquetoast 2
24
Vessel for Desperate 1
25
Vessel for Desperate 2
26
Vessel for Desperate 3
27
Vessel for Desperate 4
28
What They Want (1-A)
29
What They Want (1-B)
30
What They Want (1-C)
31
What They Want (2-A)
32
What They Want (2-B)
33
What They Want (3-A)
34
Menemukan yang Kau Cari?
35
Pengumuman novel Scenery Out the Window of CORRUPTION
36
Maurice pada: Bumi Cen Xi
37
Luka Bumi
38
@A_A_A_
39
Artelier's Canyon of Madness
40
Luka Bumi Cen Xi's End
41
Alasan Bumi
42
The Answer?
43
Doa Bumi
44
C111A46G571
45
Way of Me
46
Ally on the Blanket
47
Their Spirit
48
Their Decision
49
Rotten Apple
50
Bumi's Violation
51
Chen Xi's Deviations
52
Dream Vs. Dreaming
53
Morisery Offer
54
Among Them
55
Undergoing Suffering
56
Important Promise
57
Real Stupper
58
Equals
59
Their Minds
60
Going into Her Room
61
Reason for a Treason
62
Marcy's Wish
63
Meeting of Two Streams of Springs
64
False Dream
65
Fallen into Heaven
66
Their First Meeting
67
Curse of Hope
68
Their Bond
69
Patency
70
Human Hope
71
We Need to Talk About the Machine
72
The Beginning of a Disability
73
Gorge
74
That Happened to Him
75
Their Destiny
76
The Return of Earth's Destiny
77
The Dancing Hell
78
Reality Shun the Sun.
79
Morisery and Malika: Mereka
80
Pengumuman novel Scenery Out the Window of DESTRUCTION
81
Red Thread Blood Bonds
82
Serving Fate
83
Coercion
84
Fate to God
85
No Way Out
86
Tachyon
87
Death of Starlight
88
Reality of the Dim Star
89
Comparison
90
Absentis Fragmina
91
Dance of the Destiny of the Sun
92
Destroy or Get Rid of
93
The Meeting of Two Reverse Current
94
Mad Love
95
Trust in Wind Dust
96
The Storm's Implicit Smiles
97
Black Star Sheen
98
Manifestations of the Black Hole Ruler
99
Reluctance of the Black Hole Ruler
100
Madness Element of Furies
101
Not a Bit Ironic Apathy
102
Irony for the Ruler of the Black Hole
103
Light Shines on the Edge of a Cliff
104
Chaos
105
Esperano a-te
106
End or Beginning?
107
Scenery of Destruction
108
Bumi's True Plan
109
His Breakcity
110
Beginning of End for Light
111
tres Horae
112
Star Wound Optimistic Suggestions
113
Destiny
114
"Earth's" Destruction
115
Let Me In
116
Digital Destruction
117
Hurricane of Life
118
Destruction Preparation
119
Digital Doomsday
120
Maurice's Conclusion 1
121
Scenery Out the Window of Avior
122
Visualitation of Hope
123
Wielder
124
His Identity
125
T Reason
126
Figure Behind the Name
127
Dynasty
128
Punishment
129
Arsa Offer
130
God's Right Hand Plan
131
Love Statement
132
Treachery
133
Relation entre les humains
134
Kaisar's Beliefs
135
Authentical Proof
136
Fil emmêlé
137
Holy Grail
138
Unreality
139
Fake Throne
140
Innovation for Destruction
141
Cross Sanguine
142
Writer Project
143
Secret Dimension
144
True Reaction
145
Duelity
146
Another Rate
147
Black Sample
148
Dualism Wielder
149
Tasa
150
Writer Uncompleted Reveal
151
Ozora
152
Dalang Dialang
153
Surmise
154
Defense
155
End of Battle
156
Avior
157
Welcher, Kaisar?
158
Ihr Schicksal
159
Ende von Mihal
160
Schatten
161
Naomi Schicht
162
그 얼굴의 소유자
163
Next Case
164
New Stage
165
Blast of Heart
166
Ghindara's Decision. Or Not?
167
Anastasia Love
168
Final Destination
169
Public Enemies
170
MIHAL
171
brOKen
172
Some Sick Bastard
173
Awaken
174
Macabre
175
Maurice's Pre-Conclusion 1
176
Maurice's Meeting Back
177
Which Part
178
Wicker Think
179
Maurice's Amisit Iterumque
180
Maurice's on Noir Grotesque: Noir
181
Maurice's on Noir Grotesque: Grotesque
182
Maurice's Today is
183
Scenery Out the Window of Acute Myself
184
Acute Myself Zero
185
Acute Myself One
186
Acute Myself Two
187
Acute Myself Three
188
Acute Myself Four
189
Acute Myself Five
190
Acute Myself Six
191
Acute Myself Seven
192
Acute Myself Eight
193
Acute Myself Nine
194
Acute Myself Ten
195
Acute Myself Eleven
196
Acute Myself Twelve
197
Acute Myself Thirteen
198
Acute Myself Fourteen
199
Acute Myself Fifteen
200
Acute Myself Sixteen
201
Acute Myself Seventeen
202
Acute Myself Eighteen
203
Acute Myself Nineteen
204
Acute Myself Twenty
205
Acute Myself Twenty One
206
Acute Myself Twenty Two
207
Acute Myself Twenty Three
208
Acute Myself Twenty Four
209
Acute Myself Twenty Five
210
Acute Myself Twenty Six
211
Acute Myself Twenty Seven
212
Acute Myself Twenty Eight
213
Acute Myself Twenty Nine
214
Acute Myself Thirty
215
Acute Myself Thirty One
216
Acute Myself Thirty Two
217
Acute Myself Thirty Three
218
Acute Myself Thirty Four
219
Acute Myself Thirty Five
220
Acute Myself Thirty Six
221
Acute Myself Thirty Seven
222
Acute Myself Thirty Eight
223
Acute Myself Thirty Nine
224
Acute Myself Fourty
225
Acute Myself Fourty One
226
Acute Myself Fourty Two
227
Acute Myself Fourty Three
228
Acute Myself Fourty Four
229
Acute Myself Fourty Five
230
Acute Myself Fourty Six
231
Acute Myself Fourty Seven
232
Acute Myself Fourty Eight
233
Acute Myself Fourty Nine
234
Acute Myself Fifty
235
Acute Myself Fifty One
236
Acute Myself Fifty Two
237
Acute Myself Fifty Three
238
Acute Myself Fifty Four
239
Acute Myself Fifty Five
240
Acute Myself Fifty Six
241
Acute Myself Fifty Seven
242
Acute Myself Fifty Eight
243
Acute Myself Fifty Nine
244
Uncertainty of Maurice's Predestination
245
(Acute) Maurice's Pre Conclusion 2
246
Maurice's Little Trick
247
Acute Myself Sixty
248
Acute Myself Sixty One
249
Acute Myself Sixty Two
250
Acute Myself Sixty Three
251
Pengumuman... haseyo!
252
Pengumuman: HOROR BARU!!!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!