Hari kedua bagi Maurice Anandratama Saputra Haryo. Di SMA Nusantara Senja yang terkenal angker dan misterius. Tapi, tidak untuknya.
Kali ini ia tiba lebih pagi sehingga bisa memasuki gerbang sekolah bersama anak lain. Di kejauhan tak tampak Pak Tua Penyapu. Mungkin ia hanya belum memulai aktifitas anehnya: menyapu dan kembali menghamburkannya kembali. Seperti orang sinting yang penuh makna.
Maurice melangkahkan kaki dengan wajah yang tertunduk muram. Tanpa alasan apa pun. Ia merasa akan ada sesuatu terjadi dalam hidupnya. SMA Nusantara Senja bukanlah pilihan untuk anak-anak yang memang telah bersekolah di sana sejak awal. Ini jalan hidup yang tak ada pilihan kedua. Tapi, untuk siswa seperti Maurice. Yang bisa dengan mudah masuk ke sekolah negeri bergengsi. Ini merupakan pilihan. Yang diambilnya guna menyelesaikan twist-twist dari misteri yang tersusun sendiri dalam pikirannya.
Bu Ressel. Ada apa dengan Bu Ressel? Ia percaya sepenuhnya berhubungan dengan lambaian tangan Millhewi yang tak terlihat ganjil. Namun, sarat makna. Lalu, Jethro juga. Reaksi anak-anak kelas 2-A. Perilaku guru yang tidak wajar. Kematian Pak Henry yang penyelidikannya dihentikan oleh pihak sekolah.
"Yo, Maurice, selamat pagi!" salam Jethro. Menepuk pundaknya akrab.
"Iya, selamat pagi," tunduknya lagi. Untuk pertama kalinya Maurice tidak tahu apa yang harus ia katakan pada teman baru. Jethro terlihat baik dan ramah. Seharusnya tak ada yang salah.
"Jethro, apakah ada hantu di sekolah ini?" tanya Maurice.
"Ada. Tapi, wujudnya manusia," jawab Jethro.
Maurice menenggak ludah. "Maksudmu?" tanyanya.
"Hantu itu yang selalu bersamamu." Jethro melongok jam tangannya. "Wah, aku duluan. Ada pertemuan klub sepak bola. Kalau mau bergabung hubungi aku, ya. Sampai jumpa." Ia berlari mendahului Maurice yang terdiam pasif diantara anak-anak lain yang bergegas menuju kelasnya masing-masing. Seperti gerak slow motion berlebihan yang membuatnya tertinggal dalam detak waktu.
Aku harus tetap memulai hari ini dengan orientasi akan kebahagiaan. Aku percaya kebahagiaan senantiasa akan mengikuti setiap orang yang mempercayainya. Aku tidak harus memikirkan semua itu.
Semua akan baik-baik saja.
🎭🎭🎭
Didorong pintu kelas yang sedikit berat pada engselnya.
"Pagi semua," salamnya berusaha seramah mungkin.
Millhewi sudah datang. Tetap pada pandangan ke luar jendela yang membosankan. Menopangkan dagu tanpa makna.
"Pagi," jawab Nismaya, gadis bertubuh gempal dengan kulit gelap dan rambut keriting. Sambil mendekati Maurice. Dan menghentikan langkahnya. "Hari ini Lina tidak masuk. Maukah kamu duduk bersama Lakstiara?" tawarnya.
Maurice berpikir sejenak. Dilihatnya Lakstiara di tempat duduk bersama teman-teman yang mengerumuninya. Gadis berkepang dua dengan bagian belakang rambut dibiarkan terurai. Menggunakan kacamata dan pemilik tahi lalat di atas bibir. Dilambaikan tangannya pada Maurice genit. Sebenarnya duduk dengan siapa saja bukan masalah untuknya. Hanya saja ia merasa lebih nyaman jika...
"Hari ini ada yang ingin kubicarakan dengan Millhewi." Maurice melepas tangannya dari pegangan Nismaya. "Lain kali, ya."
Apa dia bilang? Dalam batin Nismaya dan teman-temannya. Ini wujud pengibaran bendera perang dari pihak Maurice.
"Baiklah," respon Nismaya.
🎭🎭🎭
"Selamat pagi, Millhewi," sapa Maurice ramah beranjak duduk.
"Pagi," jawab Millhewi tidak ramah tanpa mengalihkan pandangan.
Maurice menopangkan dagunya pada kedua telapak tangan di atas meja. "Kamu tahu? Kata teman-teman di sekolahku dulu sekolah ini selalu ditutupi awan mendung. Ternyata tidak juga."
"Kenapa kamu menolak duduk bersama anak itu?" tanya Millhewi.
"Kalau aku bersamanya kamu sama siapa?" tanya Maurice balik tanya.
"Aku sudah terbiasa sendiri. Kumohon jangan buat posisimu terancam. Mereka tidak sebaik yang terlihat," peringat Millhewi.
"Bapak tukang sapu itu ke mana, ya?" tanya Maurice.
Millhewi tak menggubris pertanyaan Maurice.
"Oh, Millhewi, matamu kenapa?" tanya Maurice lagi.
Ia menutup eyepatch-nya dengan telapak tangan. Matanya yang satu lagi memandang kelabu. "Padahal kita baru kenal. Kenapa kamu baik sekali? Kamu belum tahu aku orang yang seperti apa."
Maurice tersenyum. "Menurutku semua orang itu baik."
Ia berkata lirih, anak kemarin sore. "Kata mereka aku setan. Padahal mereka yang telah menjadikanku seperti ini. Kamu akan menyesal kalau tidak mendengarkan nasihatku, Maurice."
Guru masuk. Pelajaran dimulai. Ditengah-tengah jam ke-empat speaker di pojokan kelas berbunyi, "Siswi dengan nama Millhewi dari kelas 2-A diharap datang ke ruang guru lantai 3."
Maurice melihat ke seisi kelas yang cengengesan aneh.
"Sudah datang, ya?" ucapnya sebelum berdiri. Ia berjalan keluar kelas tanpa meminta izin guru. Semakin aneh. Semoga ia baik-baik saja.
🎭🎭🎭
Kenyataan berkata lain. Ruang guru lantai 3 yang berarti ruang Kepala Sekolah. Millhewi menghadap wanita senja yang seluruh rambutnya telah beruban itu seorang diri.
"Dasar pembunuh," buka wanita itu dengan tatapan tajam.
Millhewi menjawab tenang, "Walau bukan saya yang melakukannya. Saya bersyukur Pak Henry telah mati mengenaskan. Ia pantas mendapatkannya. Sebuah akhir yang menyedihkan karena tak ditentukan sendiri oleh Tuhan."
"Saya bersumpah akan saya panjangkan usia kamu berada dalam penderitaan!" teriak wanita itu.
Ia menenggak ludahnya. "Seharusnya Ibu ingin membunuh saya."
Wanita itu menggigit bibirnya yang gemetar, "Akan saya lakukan. Akan saya habisi kamu sama seperti Henry..."
Ia bertampang menantang. "Ibu berkata begitu hanya untuk melarikan diri dari kenyataan bahwa Ibu telah membunuh Pak Herman."
"AAAAAH, DASAR ANAK BRENGSEK!!!!" DUAK! Sebuah buku hard cover melayang bebas dan menghantam kepalanya. Merintih. Dipegangi dahinya yang memar.
🎭🎭🎭
Berlari cepat ia kembali menuju kelas. Dibukanya pintu tanpa permisi dan langsung didudukkan tubuhnya. Seisi kelas—kecuali Maurice. Tercengir puas sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Ini hal biasa. Sosok bernama Millewi tak akan meneteskan air mata untuk sesuatu seperti ini. Jangankan buku. Kepalanya pernah menjadi landasan vas bunga. Ini hal kecil.
🎭🎭🎭
Jam istirahat tiba. Karena kantinnya terlalu jauh Maurice malas pergi ke sana. Dilihatnya Millhewi yang tidak terlihat ingin meninggalkan kelas. Dilanjutkan sesi investigasi.
"Aku masih penasaran tentang hantu yang kamu sebutkan. Sebenarnya apa?" tanya Maurice.
"Tidak usah banyak tanya. Suatu saat kamu akan melihatnya," jawab Millhewi.
"Jadi, hantu itu bukan kamu, 'kan?" tanya Maurice.
Millhewi memicing.
"E, eh maksudku, aduuh, ta, tadi..."
"Siapa? Jethro?" tanya Millhewi.
Saat sedang asyik mengobrol. Tiba-tiba Nismaya, Indah, Lakstiara, diikuti beberapa anggota kelas lainnya menghampiri mereka. Meskipun mereka datang. Millhewi tak menganggap mereka ada. Maurice malah salah tingkah. Buruk untuk Millhewi.
"Menyingkirlah, Maurice!" perintah Nismaya yang tingginya tidak mencapai dada Maurice angkuh.
Millhewi menggebrak mejanya, BRAK! "Apa sih yang kalian inginkan?!!!" tanyanya.
Maurice memundurkan kursinya. Menjauh. Dilihatnya Nismaya dengan kasar langsung menjambak rambut pendek Millhewi. "Gadis kotor. Dasar pembunuh!"
Millhewi mengerang kesakitan berusaha melepaskan cengkraman tangan besar Nismaya.
Dalam batin Maurice, apa yang terjadi? Dilihatnya sisa anak yang masih ada di kelas. Sama sekali tak ada pandangan bahwa yang Nismaya lakukan adalah kesalahan. Namun, sebagai laki-laki. Juga teman Millhewi. Ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Terlebih di hadapannya sendiri.
Didekati Nismaya yang meneriakkan berbagai ucapan kotor pada Millhewi. Didukung oleh semua anak. Berusaha dilepaskannya tangan Nismaya dari leher Millhewi. "Hentikan! Apa sih yang kalian lakukan?" tanya Maurice.
Dengan tangan satunya gadis berbadan besar itu menjambak rambut Maurice, "Anak baru sialan. Tidak usah ikut campur!" teriaknya.
Indah turut berteriak, "Dia pembunuh dan perempuan jalang."
Dengan kekuatannya Maurice berhasil melepaskan tangan Nismaya dari rambutnya. "Kalian itu ngomong apa?" teriaknya balik.
Lakstiara menyilangkan tangan. "Anak baru, kami beritahu, ya. Yang membunuh Pak Henry itu dia," tudingnya sambil menjambak poni Millhewi.
Nismaya menengok ke belakangnya dan berkata, "Jethro, urus anak baru menyusahkan ini!"
Jethro dan kedua temannya, Edi dan Panji, menghampiri Maurice. Dua orang memegang lengannya dari belakang. Maurice memberontak. Kemudian Jethro memegang pelipis Maurice dan mengadukannya dengan dinding, duak! Dalam sekali dorongan. Dengan kekuatan tangannya sebagai kiper. Tak ayal membuat Maurice kehilangan kesadaran.
"Maurice!" Nismaya mengencangkan cekikannya pada leher Millhewi. "O, ohok ohok, huek..."
Tubuhnya meronta. Tapi, dengan kepungan lebih dari sepuluh anak perempuan. Tak memberinya banyak pilihan. Plaak! Plak! Plak! Berulang kali semua anak yang ada di sana menampar pipi dan menonjoki perutnya tanpa ampun.
Indah berkata di daun telinga Millhewi, "Setan itu bertempat di neraka."
"Apalagi setan pembunuh," lanjut Nismaya.
"Buruk rupa dan biadab," lanjut Lakstiara.
"Ka, kalian semua brengsek."
"Oh ya?" tanya Nismaya. DUAK! Tinju besarnya mendarat tanpa ampun di perut gadis itu.
"Ohok!" Cairan asam melontar dari lambungnya.
"Iiiihh, najis! Jijik banget! Dasar manusia setan penghuni neraka!" teriak Lakstiara menyemarakkan suasana.
"Bu, bukan aku yang menyebabkan kematian Pak Henry. Ia mati karena orang lain!" ucap Millhewi. Berusaha membela diri.
"Oh ya? Siapa?" tanya Indah.
"Mana aku tahu," teriak Millhewi.
Nismaya menarik poni Millhewi lagi. "Kalau jawab pertanyaan orang jangan sambil teriak! Ambilkan kapur!" perintah Nismaya pada seorang siswi.
Millhewi memberontak menggunakan seluruh kekuatannya. Namun, tetap saja percuma. Nismaya mendongakkan kepala dan membuka rongga mulutnya. Indah menuangkan sekotak kapur ke mulut Millhewi. Saat ingin dimuntahkan. Lakstiara melakban mulut Millhewi. Memaksa menelan.
Semuanya puas.
Semuanya senang.
"Dasar cewek aneh!" teriak seorang siswi.
"Dasar cewek setan!" teriak seorang siswa.
"Cewek gila!" teriak yang lainnya.
"Pembunuh!" teriak mereka semua.
Nismaya tersenyum sinis memandang Millhewi. Memerintahkan anak lain untuk membawa ember berisi air. Tanpa ragu Nismaya membenamkan kepala Millhewi. Tubuhnya meronta. Nismaya menarik lagi kepalanya sebelum Millhewi mati. Dibenamkan lagi. Begitu terus berulang kali.
Waktu istirahat bagi kelas 2-A dihabiskan dengan kesenangan yang berbeda. Menyakiti orang lain menyenangkan untuk mereka. Apalagi kalau yang disakiti itu pendosa.
Beberapa penghuni SMA Nusantara Senja meyakini dengan sepenuh hati. Pembunuh Pak Henry guru fisika itu adalah, Millhewi. Karena suatu alasan. Hanya ia yang memiliki motif untuk melakukannya. Membuat Bu Ressel semakin stres setelah kematian putra pertamanya, Pak Herman. Di sekolah itu juga.
Nismaya menarik keluar kepala Millhewi. Kelihatannya ia sudah tak sadarkan diri juga.
"Membosankan. Masa begini saja dia juga pingsan, sih?" tanya Lakstiara.
"Lebih baik mereka kita biarkan saja sampai sadar sendiri," usul Indah.
Sebelum kembali ke tempat duduknya sendiri: Indah, Lakstira, dan Nismaya melihat Maurice. Mereka berkata, "Di SMA Nusantara Senja, kekuasaan absolut berada di tangan Kepala Sekolah dan tradisi."
"Mungkin kita bisa memberitahunya setelah ia sadar," kata Indah.
Nismaya melanjutkan, "Itu kenapa tidak dianjurkan menjadi murid baru di sekolah ini."
Di balik semua itu. Jethro bertampang sedikit prihatin. Juga bingung. Dunia memang jarang memberikan pilihan yang bersahabat.
🎭🎭🎭
Maurice mengerjapkan mata. Samar-samar dilihat guru yang tengah menerangkan. Dipegang kepalanya yang terasa sakit. Perlahan diingat semua yang terjadi. Ia langsung menengok Millhewi yang menelungkupkan kepala. Disenggol lengannya lembut. Tubuhnya sedikit bergerak dan melihat Maurice. Ia tenang.
Millhewi langsung terbatuk memuntahkan sisa kapur di atas meja. Membuat ketenangan Maurice lenyap. Cairan kental berwarna putih–beberapa merah muda dan kuning membasahi permukaan meja. Membawa Maurice pada kecurigaan.
"Apa yang sudah kalian lakukan padanya?!" teriak Maurice.
PLAAK!!! Penggaris kayu panjang yang menjawab.
"Kamu tidak tahu sekarang masih jam pelajaran? Malah muntah di kelas. Sekarang teriak-teriak. Tidak diajarkan sopan santun sama orang tua kamu?!" tanya guru yang sedang mengajar.
Maurice berusaha menjelaskan. "Tapi Pak, tadi saat istirahat mereka semua... mereka..."
Belum menyelesaikan ucapannya. Maurice melihat Jethro. Ia menggeleng pelan dengan wajah kalem. Ini benar-benar keterlaluan, pikir Maurice.
Millhewi berdiri dan berlari ke luar kelas, "Akan saya bersihkan."
Maurice mengamati muntahan itu. Kotak kapur yang tidak pada tempatnya. Baru hari kedua ia sudah mendapatkan bahan menarik untuk diselidiki.
Pasti terjadi sesuatu pada Millhewi saat aku pingsan. Penyebabku pingsan adalah mereka. Tidak bisa diampuni. Rupanya di luar duniaku selama ini. Ada bagian dunia yang gelap. Aku memang anak kecil yang belum mengetahui apa pun.
Ia kembali duduk dan mengamati penjuru kelas. Beberapa orang anak melihatnya balik. Pandangan penuh permusuhan.
🎭🎭🎭
Bel pulang berdering. Murid-murid berhamburan melepas waktunya sebagai pelajar di sekolah aneh. Dan siap memulai hidup sebagai manusia biasa. Maurice memegang erat pergelangan tangan Millhewi.
Millhewi melihat Maurice penuh tanya, "Ada apa?" tanyanya.
"Kamu tidak boleh keluar tanpa aku," putus Maurice.
Millhewi tersenyum hangat. Sesuatu yang menenangkan pemuda itu. Di balik wajah Millhewi yang memucat. Begitu kontras dengan warna rambutnya. Mereka berdua berjalan beriringan keluar kelas. Tanpa memerdulikan pandangan sinis anak-anak lain.
Indah di tempat duduknya berkata pada teman-temannya, "Teman orang aneh pasti orang aneh juga."
"Teman pembunuh pasti akan jadi pembunuh juga," lanjut Lakstiara.
Jethro sendiri yang mulai merasa tak nyaman. Memilih segera meninggalkan tempat itu.
"Sebenarnya apa sih yang terjadi?" tanya Maurice khawatir.
Gadis bertampang dingin itu tersenyum. "Kamu tahu? Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang tak begitu ingin dijawab," ucapnya.
"Begitu, ya. Apa?" tanya Maurice.
"Terkadang manusia tak begitu senang menceritakan penyebab dari kesulitan yang mereka alami. Seperti aku." Ia menutupi eyepatch-nya dengan punggung tangan. "Aku tidak pernah suka menceritakan alasanku mengenakan ini. Salah satu tugas manusia adalah memahaminya. Agar tidak menyakiti orang lain."
"Tapi, aku tidak menyesal sudah pindah kemari. Baru hari kedua aku sudah mengalami banyak hal menarik. Pengalaman kan lebih berharga dari berlian," kata Maurice.
"Tidak juga," balas Millhewi.
Maurice kukuh, "Itu kan peribahasa biasa?" tanyanya.
Millhewi tak merespon dan hanya menengok ke arah yang berlawanan dengan Maurice.
"Mau pulang bersama lagi?" tawar Maurice. Tanpa menunggu jawaban ditariknya pergelangan tangan Millhewi menuju mobil beserta mamanya yang telah menunggu.
Beberapa anak kelas 2-A menatap penuh kebencian. Selama ini mereka terbiasa melihat Millhewi menangis, diam, mengalah, kalah, dan menderita. Seukir senyum saja telah begitu mengganggu perasaan mereka.
Berbeda dengan Millhewi. Ia membenci anggota kelasnya. Maupun seluruh anggota SMA Nusantara Senja yang kerap kali melakukan bully padanya. Tapi, posisinya sejak awal memang lemah. Ia tak pernah punya kekuatan untuk menunjukkan kebenciannya.
Sabar itu kuat. Tapi, terlihat lemah. Di balik kelemahan itu. Tersimpan kekuatan yang mengerikan.
🎭🎭🎭
Di mobil Maurice.
"Kenapa kamu baik sama aku?" tanya Millhewi.
Wajah Maurice memerah, "So, soalnya kamu... soalnya kamu itu korban," jelasnya gelagapan, "dan korban itu harus... (suara hati Maurice: harus diapakan?) dibela. Aku kan pembela kebenaran." Ia tersenyum merasa menang.
Miranda menyeringai menopangkan pipinya di jendela sambil berpikir, dasar anak muda.
Millhewi terkikik kecil, "Kamu lucu banget."
"Ekhm, ekhm."
"Iiih, Mama kenapa, sih?" protes Maurice.
Maurice memikirkan pepatah tua jaman dulu, jangan berduaan. Kalau berduaan yang ketiga itu... Sudahlah.
Mobil berhenti di persimpangan yang sama dengan kemarin. Dan sama seperti kemarin juga Millhewi melambaikan tangannya dari luar.
"Terima kasih ya, Maurice Anandratama Saputra Haryo," katanya sambil tersenyum sebelum membalik badan.
Maurice membalas lambaian tangannya sambil tersenyum.
Saat mobil telah berjalan. Miranda yang tidak sabar langsung menanyakan perasaan putranya, "Kamu menyukainya?"
"Tidak, kok. Kami hanya teman," jawab Maurice memandang pemandangan di luar jendela ala ala telenovela.
"Orangtua jangan dibohongi, Maurice. Aduh, sepertinya Mama harus siap-siap punya menantu, nih," goda Miranda.
"Mama apa-apaan, sih? Aku masih kecil. Juga masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dunia ini luas," ujarnya sambil bertopang dagu mengamati pemandangan berjalan di luar jendela.
Waktu memang absurd. Banyak orang hidup bertahun-tahun lamanya, tapi tidak mendapatkan apa pun. Tapi, ada juga yang hidupnya hanya sebentar. Tapi, sudah mengalami banyak hal. Meskipun relatif. Sudut pandangnya dari mana pun sama. Menurut wanita itu. Meski baru dua hari putranya pindah sekolah. Pasti sudah ada banyak yang terjadi.
🎭🎭🎭
Sesampainya di rumah. Maurice langsung melempar tas ke sofa. Dilonggarkan dasinya dan langsung duduk santai sambil menyetel TV.
"Mama tahu? Bully itu benar-benar nyata, lho," beritahu Maurice.
"Nyata bagaimana?" tanya Miranda.
"Korban bully biasanya orang yang terpinggirkan. Sehingga dunia tidak melihat mereka atau malah menganggap tindakan bully hal biasa. Di sekeliling kita banyak korban tindak kekerasan yang terabaikan. Manusia terlalu berat untuk menyadarinya. Jika korban bully melaporkan apa yang terjadi. Dan malah disalahkan karena penyebab ia diperlakukan begitu. Kan jahat," jawab Maurice.
"Kamu bicara apa, sih?" tanya Miranda lagi.
Mata Maurice menatap layar televisi dengan pandangan kosong. "Terkadang beberapa orang harus belajar untuk mengurusi dirinya sendiri."
"Maurice, apa yang sudah terjadi pada anak tadi?" tanya Miranda.
Ia menengok mamanya lembut. Ingin mengulangi ucapan Millhewi. Tapi, diurungkan. "Mama juga." Ia tersenyum sebelum berjalan ke tangga.
Sesampainya di kamar segera dilakukan ritual melempar tas dan langsung membanting tubuh di kasur empuk. "Ini semua sangat menarik." Ia membalik tubuhnya dan mengusap bed cover putih. "Apa hanya itu? Semua ini tidak boleh selesai. Tidaak... boleh."
🎭🎭🎭
Sementara Millhewi di rumahnya. Dibukanya pintu perlahan. Ia melongok sedikit. "I'm home."
Suasana di dalam rumah terlihat sepi. Dilangkahkan kakinya masuk. Dinaiki tangga kayu menuju lantai atas. Sebelum sampai kamarnya. Dilewati sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka. Terlihat pemandangan seorang wanita paruh baya yang menangis pelan sambil memeluk bantal di lantai. "Mama?"
"Pergi kamu!!!" jawab wanita itu sambil melempar bantal yang tadi dipeluknya ke tubuh Millhewi.
Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan berlari keluar. "Mama pasti bertengkar lagi dengan Papa," pikirnya singkat.
Entah sejak kapan. Ia tidak pernah memerdulikannya lagi.
(disclaimer)
Keadaan bertambah buruk.
Pertanyaannya semakin rumit.
Apa yang akan Maurice lakukan untuk mendapatkan jawabannya?
Ikuti terus ceritanya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments
Bobby Von Belpois
ho ho ho, aku memiliki pertanyaan. kapur enak nggak dimakan?
soalnya mau mukbang kapur
2021-02-09
0
💎khun khun💎
good
2020-07-06
0
john jono
hadirr kembali
2020-05-17
0