Hari perdana untuk Maurice menyiapkan dirinya sebagai siswa SMA Nusantara Senja. Dipandangi dirinya yang tersenyum sendiri di depan cermin. Menatap dirinya dari atas kepala hingga ujung kaki dengan seragam SMA Nusantara Senja. Berbeda dengan seragam SMAN 279. Yang seperti seragam SMA pada umumnya.
Dilihat celana panjangnya yang telah tersetrika rapi oleh Mbok Ratih, pembantunya. Sekilas terlihat seperti celana SMP dengan warna navi yang lebih gelap. Atasan kemeja putih panjang dan blazer hitam lengkap dengan lambang SMA Nusantara Senja di dada kanan. Berkali-kali dibenarkan posisi dasi yang bermotif strip hitam-merah. Untuk meyakinkan di hari pertamanya ia sudah tampil sempurna.
Senyum tak kunjung mengempis. Dilupakan semua ungkapan negatif orang-orang. Ia menatap kalem wajahnya sendiri di cermin. "Are you ready?"
Maurice menuruni tangga dan melihat mamanya tengah dengan telaten menyiapkan sarapan. Ia tersenyum sehangat nasi yang baru matang. Dilihat jam tangan G-Shock-nya. Tak ingin membuang waktu. Diambil tas selempang hitamnya. Mengajak Miranda bergegas.
🎭 🎭 🎭
Mereka berhenti di depan sebuah pagar besar berkarat yang terbuka lebar. Maurice menuruni mobil itu. Menginjak dedaunan lembab yang berserakan di tanah. Kenapa daunnya banyak sekali? gerutunya dalam hati.
Saat Maurice memutuskan untuk segera memasuki bangunan sekolah melalui sebuah pintu kayu gelap. Besar pandangannya menangkap seorang pria tua yang tengah serius menyapu. Dalam pikirannya, jika telah ada yang membersihkan mengapa harus seberantakan ini? Pak tua berjenggot putih itu mengangkat sampah yang telah dikumpulkannya. Menghamburkannya kembali. Maurice memutuskan tetap mengamati. Ia melakukan hal yang sama berulang kali. Terus menyapu, namun kembali menghamburkan. Pak tua itu menyadari dirinya tengah diawasi dan menatap balik. Dengan matanya yang tajam. Tanpa menunggu lagi Maurice berlari.
Sesuatu terjadi lagi. Saat akan dinaiki tangga menuju pintu. Ia melihat ke arah jendela. Jika pada sekolah negeri pada umumnya yang tampak dari bagian luarnya adalah lorong. Yang tampak dari sana adalah kelas dengan para muridnya yang sibuk bercanda.
Jika pada sekolahnya dulu jendela dari kelas itu cukup tinggi—setidaknya harus berdiri untuk melihat keluar. Jendela pada bangunan SMA Nusantara Senja pendek. Sebatas meja sehingga orang-orang dapat berpangku tangan di kusennya. Bersamaan dengan itu. Maurice menyadari ada seorang siswi dari kelas yang tengah dipandangnya mengamati balik. Dengan pandangan yang dingin. Dengan sebelah mata yang tertutup eyepatch. Sangat tidak bersahabat.
Maurice mulai tenang. Diangkat kepalanya dan dilihatnya pemandangan dalam sekolah. Sambil berjalan mencari ruang guru ia berpikir, interiornya mirip rumah.
Perasaannya jauh lebih hangat. Saat telah berjalan di samping seorang guru yang terlihat ramah menuju kelas barunya. Jika melihat pemandangan dari luar. Tak ada bedanya dengan sekolah mana pun, kok.
Guru itu membuka sebuah pintu kayu. Sebelum masuk Maurice mengamati papan kayu yang tergantung di atasnya. Memberitahunya identitas ruangan yang akan ditempatinya mulai saat ini, kelas 2-A. Dimasuki kelas itu dengan berdebar. Suasana kelasnya biasa.
Saat guru masuk. Kelas yang berisik mendadak tenang. Menurutnya itu wajar. Karena karakteristik pelajar di negara ini semuanya begitu.
Dengan semangat Maurice mengembangkan senyumannya. Hendak memperkenalkan diri, "Namaku..."
Seketika ucapannya terhenti. Saat melihat seorang siswi dengan eyepatch yang duduk sendiri paling belakang melihatnya sepintas. Lalu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Pandangan ke luar jendela yang dingin. Dan gelap.
Selesai sesi perkenalan. Maurice ditawarkan pada beberapa pilihan tempat duduk. Benar juga. Berbeda dengan sekolahnya dulu yang seluruh kelas penuh terisi murid. Ada dua bangku di ruang kelas 2-A yang kosong.
Satu bangku yang bersebelahan dengan seorang siswa. Satu bangku lagi bersebelahan dengan si gadis misterius. Sedikit berpikir... akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menuju tempat duduk bersama sang gadis.
Meski kesan pertamanya berlangsung kurang baik. Malah hal itu yang menariknya.
Hal aneh terjadi saat Maurice memutuskan untuk duduk bersama si siswi. Kelas yang semula masih sedikit ramai mendadak senyap. Dengan tampang salting. Maurice berjalan pelan menuju tempat duduk barunya. Dengan seisi kelas yang mengikutkan pandangan aneh. Ditaruh tas dalam kolong meja. Mengamati situasi yang masih terasa tidak enak. Dilepas blazer hitamnya dan duduk.
Saat ia telah duduk dipandanginya beberapa orang anak baik siswa maupun siswi membisikkan sesuatu ke telinga teman sebangkunya. Ditenangkan hati untuk reaksi yang jauh dari bayangan ini.
Dialihkan pandangannya melihat gadis itu. Diulurkan tangannya dan tersenyum mengajak berkenalan. Namun, gadis itu malah mengembalikan pandangannya. Pada pemandangan di luar jendela. Maurice menarik kembali tangannya sedikit kesal.
Sekolah ini jauh lebih mengerikan dari yang terlihat di luar sana. Dan meski orang-orang telah memberitahunya untuk berubah pikiran. Kini telah terlambat.
Pelajaran pertama: biologi yang diajarkan oleh wali kelas pun dimulai.
🎭 🎭 🎭
Saat tiba waktu istirahat. Dilihatnya gadis yang sejak tadi belum berucap sepatah kata pun itu tak meninggalkan tempatnya. Meski sebagian besar anak telah keluar untuk makan siang.
"Oh ya, nama kamu siapa?" tanya Maurice.
Di luar dugaan gadis itu menengok padanya. Lalu, ia menjawab lirih tanpa ekspresi, "Millhewi."
Maurice terkesiap sehingga tak langsung membalas ucapannya. "Aku Maurice. Ya, Maurice," ucapnya salah tingkah.
Gadis bernama Millhewi itu tersenyum hangat seolah memberi cahaya bagi tempat menyeramkan itu. Tapi, tidak dengan kata yang diucapkan selanjutnya. Yang seperti mengembalikan suasana kelam, "Mau apa kamu pindah ke sekolah ini?" tanyanya datar.
Diperhatikan lagi. Hanya Millhewi murid yang tak membuka blazernya. Maurice tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Kalau tidak mau dijawab. Tidak usah dijawab," ucapnya lagi.
Dunia seakan membeku dan pemandangan di luar jendela terasa semakin dingin. Dengan Pak Tua yang berulang kali menyapu dan hanya menghamburkannya kembali.
"Di sini tak sebaik bayanganmu. Sebaiknya berhati-hati," beritahunya beranjak berdiri.
Maurice terduduk diam hingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar juga. Sosialisasi. Penting, 'kan?
🎭 🎭 🎭
Di jalan menuju kantin. Ah, kantinnya jauh juga, gerutunya sambil beberapa kali menengok ke belakang.
"Halo, anak baru. Bagaimana aku harus memanggilmu?" Pemuda ini yang tempat duduknya tidak dipilih oleh Maurice. Seorang pemuda ramah berpostur ideal yang cukup tampan dan tampak menawan.
Maurice tersenyum. "Panggil saja Maurice. Bagaimana dengan kalian?" tanyanya balik.
"Namaku Jethro. Kalau mereka Edi dan Panji," jawab pemuda tampan itu.
Setelah cukup lama berjalan dalam diam. Anak yang bernama Edi bertanya, "Kenapa kamu tidak duduk bersama Jethro?"
Saat Maurice ingin melihat Edi ia memalingkan wajahnya."Memang kenapa?" tatapnya pada Edi yang belum melihatnya.
Maurice melihat Edi dan Panji. Postur mereka sangat terbanting dibanding Jethro. Mereka seperti karakter teman tokoh utama yang tidak begitu ganteng dan tugasnya hanya melawak atau memberi saran tidak berguna.
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegak dari Jethro. Ia merangkul pundak Maurice. "Tidak perlu dipikirkan, Maurice. Nanti kamu mau makan apa?" tanyanya ramah.
"Nasi goreng," jawab Maurice.
"Wah, selera kita sama," ucap Jethro ramah.
🎭 🎭 🎭
Sementara di sisi lain sekolah itu. Seorang siswi berambut pendek yang tengah dikeroyok oleh sekelompok siswi lain di kamar mandi perempuan SMA Nusantara Senja. Mencoba berteriak memohon pertolongan. Tendangan dan pukulan melemahkan suaranya. Ia hanya merintih.
"Apa kamu senang sekarang ada yang mau duduk bersamamu, heh? Gadis jalang," tanya seorang siswi seraya menendangi tubuh siswi itu.
"Dasar cewek aneh. Kenapa kamu tidak enyah saja ke neraka sana?" tanya yang lain sambil memukuli tubuhnya. Dari badan sampai kaki.
Byuur. "Dasar sampah!" kata seorang siswi lain setelah menumpahkan air pel lantai kamar mandi yang hitam dan bau ke tubuh siswi itu.
Mereka lantas tergelak dan meninggalkan Millhewi yang menangis pilu. Bagaimana ia harus meneruskan hari ini? Seharusnya ia tak ingin buang air kecil. Seharusnya ia tak ke mana pun. Namun, mengapa dunia ini seolah tercipta hanya untuk memberikan pilihan buruk padanya? Seperti... hidup selalu jahat.
Bel berdering pertanda para murid dan guru harus kembali memulai KBM. Pelajaran Matematika diawali dengan absensi. Sampai saat guru memanggil murid dengan nomor absen terakhir.
"Millhewi." Diulangi hingga tiga kali panggilannya itu. Namun, tak menuai jawaban. Guru berjenggot itu menggeram kesal. "Ke mana anak itu?" Seisi kelas hanya cengengesan.
Maurice mengamati bangku di sebelahnya. Perasaan khawatir muncul pada apa yang terjadi pada chairmate-nya.
Untuk Maurice sendiri. Istirahatnya berlangsung menyenangkan. Ia mendapatkan banyak teman. Diterima dalam pergaulan. Dan kebahagiaannya berlanjut dengan sukses. Tapi, apa yang terjadi pada Millhewi benar-benar mengganggu konsentrasinya.
Dipindahkan duduknya ke tempat Millhewi dan mengamati pemandangan di luar jendela. Kalau-kalau dirinya muncul. Maurice tetap setia mengawasi pemandangan di luar jendela.
Kurang lebih satu jam kemudian pintu terketuk. Guru matematika bertampang batak menjawab ketukan dengan teriakan, "Siapa?!"
Suara di luar menjawab pelan, "Millhewi."
Guru itu menurunkan tangannya yang menggenggam kapur. Melihat pintu dengan wajah sangar. Dengan berat ia berkata, "Masuk!"
Perasaan Maurice tak enak membayangkan apa yang akan terjadi. Pintu kelas terbuka perlahan dan Millhewi memasukinya. Sebelum beranjak ke tempat duduk ia membungkuk dengan raut takut.
"Habis dari mana kamu?" tanya guru.
"Kembali ke rumah. Tadi baju saya..."
Belum menyelesaikan ucapannya Millhewi mengamati empat orang siswi yang duduk berdekatan: Nismaya, Lakstiara, Indah, dan Lina, alias pelaku dari semua yang terjadi padanya bertampang percaya diri sambil memelototinya dan mengacungkan genggaman tangan. Melihat situasi. Ia sadar walaupun mengadukan yang sesungguhnya. Keadilan tak akan pernah berpihak padanya.
"basah kuyup karena terpeleset di kamar mandi. Tapi, sebelum meninggalkan sekolah saya telah meminta izin," jawabnya.
Guru itu langsung menjambak rambut Millhewi. "Kamu pikir saya percaya, anak sontoloyo? Guru piket tidak mengatakan apa pun soal kamu."
Millhewi jujur. Guru itu yang berbohong.
"Dasar anak nakal! Kamu berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki dan kedua tangan memegang telinga!" perintah guru itu.
Millhewi beranjak melakukan yang diperintahkan oleh guru. Seisi kelas tertawa terpingkal-pingkal. Karena hal yang terjadi. Menjawab sedikit banyak pertanyaan Maurice saat istirahat. Ada apa dengan Millhewi?
Dari tempat duduknya. Maurice melihat Millhewi yang menunduk. Kedua kakinya gemetar. Wajahnya dingin dan tidak memerdulikan apa pun. Seolah yang terjadi padanya adalah hal biasa. Apa yang sebenarnya terjadi pada sekolah ini? pikir Maurice sambil menyalin tulisan guru di papan tulis.
Menurutnya guru itu kejam sekali. Tidak wajar. Maurice pikir mungkin alasan ia pindah kemari adalah untuk menyelesaikan pertanyaan itu. Ia merasa sangat prihatin dengan kondisi sekolah. Millhewi terlihat menahan tangis. Dan ia berhasil. Tak setetes air mata pun menetes.
Dua jam berlalu. Posisi gadis berambut pendek itu mulai goyah. Murid lain tertawa kecil.
"Maaf, Pak, bolehkah saya duduk?"
Namun, guru itu tak menggubris dan terus menerangkan, "Ini akan ada di ulangan minggu depan. Harus kalian pelajari yang baik."
"IYA, PAAAK!!!" jawab anak sekelas semangat.
"Pak...?" panggil Millhewi lagi.
Tubuhnya gemetar. Maurice menyadari sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Mereka semua kenapa, sih? pikirnya emosi sambil mengamati sesisi ruangan. Semuanya seperti tidak melihat Millhewi. Ini keterlaluan.
BRAK. "Pak Guru," teriaknya. Seisi kelas memandang sinis.
Guru itu menaruh bukunya dan merespon, "Ada yang perlu ditanyakan?"
Maurice menunjuk Millhewi yang wajahnya terlihat pucat. "Mungkin saya anak baru. Saya tidak berniat lancang. Tapi, jika dibiarkan lebih lama dia bisa... dia bisa..."
Guru bertampang gahar itu menengok Millhewi. Ia berkata, "Sudah, kamu duduk."
Millhewi bertampang lega dan membungkuk pada guru bernama Eros itu. "Terima kasih."
Tampang Maurice pun berangsur tenang dan mempersilahkan Millhewi menduduki tempatnya.
Maurice mengamati lagi dan sinyal permusuhan kembali terpancar. Yang entah dari mana. Dan untuk siapa. Maurice merasa ada yang tak beres dengan sekolah ini.
🎭 🎭 🎭
Bel pulang berbunyi. Kelas berakhir. Saat semua pelajar keluar dari kelas. Maurice kembali melihat ketidakseimbangan antara sekolah dengan jumlah pelajarnya. Kalau di sekolahnya dulu satu tingkat bisa diisi hingga sepuluh kelas. Di SMA Nusantara Senja kelas 2 hanya diisi oleh 5 kelas dengan anggota perkelas kurang-lebih 30 anak. Untuk kelas 3 keadaannya sama. Jika kelas 1 setiap kelasnya diisi 40 orang anak, tapi jumlah kelasnya hanya 4.
Alhasil banyak kelas kosong bernuansa horor. Wajar sih, peminatnya sedikit. Andai saja sekolah ini mau survive sedikit. SMA Nusantara senja bisa jadi sekolah yang terkenal.
"Kamu tahu apa alasannya?" tanya Millhewi yang sejak tadi berjalan di sisinya.
"Eh, apa? Memangnya aku bicara apa?" tanya Maurice.
Millhewi melanjutkan. "Semua karena sejarah kelam yang melingkupi SMA Nusantara Senja. Itu membuat Kepsek SMA Nusantara Senja gila."
"Maksudmu?" tanya Maurice.
Millhewi pun menceritakan asal usul julukan itu, "Sejak saat itu sekolah ini tidak pernah tenang. Tawa yang muncul pun hanya bohongan. Apalagi setelah kematian Pak Henry. Sikapnya semakin aneh. Sejak saat itu ia jarang datang."
Maurice memegang dagunya serius. "Itu semua seperti kasus yang harus dipecahkan. Seharusnya seseorang bisa menjelaskannya. Aku akan menyelidiki semua itu. Pasti!" ujarnya semangat sambil menonjokkan kepalan tangannya ke telapak tangan satunya lagi.
"Ha-ha. Jangan. Di sini ada setan pembalas dendam. Kalau kamu mengganggu. Nasib kamu akan sama seperti Pak Henry," peringat Millhewi.
"Oh, ya? Memangnya setan bisa membunuh?" tanya Maurice.
"Bisa, dong. Kalau setannya merasuk ke manusia. Kan ada namanya. Manusia setan," jawab Millhewi.
Dari kejauhan beberapa anak lain di kelas 2-A mengamati kedekatan Maurice dan Millhewi. Mereka melihat wajah Millhewi yang menikmati kedatangan dan keberadaan Maurice dengan benci. Karakteristik orang yang membenci itu sama, 'kan? Tidak suka melihat orang yang dibenci bahagia.
"Anak itu menyebalkan, ya?" kata Nismaya seraya menyilangkan kedua tangannya.
Lakstiara melanjutkan, "Bukankah seharusnya sekolah ini jadi neraka untuknya?"
"Tidak ada teman di neraka," sambung Lina.
Maurice yang merasa cocok dengan Millhewi. Merasa nyaman di sisinya. Mengajak pulang bersama. Walau gadis itu menolak. Sisi pemaksa Maurice berkata lain. Langsung ditarik paksa tangannya. Maurice paham sejak awal. Millhewi bukan tipe yang akan ngambek hanya karena hal begini.
"Oh, teman barunya Maurice?" tanya Miranda dari jok kemudi.
Millhewi dengan sopan menyalami tangan Miranda.
"Sebenarnya apa saja yang sudah terjadi di sekolah? Soal hantu itu kamu serius? Lalu, kamu tahu mengapa polisi dilarang mengungkit kasus itu lebih jauh?" tanya Maurice memburu.
"Beberapa tahun yang lalu ada kematian yang sama. SMA Nusantara Senja bukan sekolah yang suka mengurusi hal kecil. Jika cuma orang mati, sih, biasa. 'Keberadaan polisi cuma akan mengganggu', begitu kata Bu Ressel," cerita Millhewi.
"Sepertinya ada komplikasi," ucap Maurice yakin.
Wajah Millhewi berubah khawatir. Melihat Maurice yang bertopang dagu. "Komplikasi apa?" tanyanya.
"Antara Bu Ressel. Kasus kematian Pak Henry dan dilarangnya polisi untuk turut campur. Semua berhubungan. Ditambah dengan sikap guru yang tidak wajar. Sesuatu disembunyikan oleh seluruh penghuni SMA Nusantara Senja. Kamu tahu si tukang sapu tua? Aku yakin hal yang dilakukannya bukan tanpa makna. Tapi, ia menunggu seseorang untuk menyadari bahwa terjadi kesalahan."
"Sebaiknya kamu buang semua itu kalau sudah masuk SMA Nusantara Senja. Kamu benar-benar akan dihabisi. SMA Nusantara Senja itu sekolah tua. Lebih baik hidup biasa saja kalau tidak mau menderita," peringat Millhewi.
Mobil berhenti di persimpangan yang dimaksud Millhewi. Dari luar mobil ia melambaikan tangannya.
"Anak tadi matanya kenapa?" tanya Miranda.
Benar juga. Kenapa tidak terpikirkan?
"Sepertinya ia orang yang sangat ceroboh," jawab Maurice tersenyum kalem.
(Disclaimer)
"Apakah pemandangan di luar jendela menampilkan kebenaran?"
Apa yang terjadi pada Millhewi?
Apa yang akan Maurice lakukan?
Terus ikuti ceritanya!~~~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments
Nadine Sabrina
suka bangett oyyy 💓💓💓💓💓💓💓
2021-10-13
0
syaa
tulisannya bagus, jelas....
2021-06-14
0
@aini*_Thalita
aku suka dengan novelnya
semangat buat author
2021-04-28
1