"Lidia kenapa kamu menampar Jingga?" tanya Wanda pada istri pertama Fabian itu.
"Mas Fabian masuk rumah sakit gara-gara kamu bukan?" bentak Lidia. Jingga tidak menjawab. Dia menunduk karena merasa bersalah.
"Bukan salah Jingga. Fabian hanya ingin menolong istrinya," sela Wanda.
"Aku nggak bicara sama Tante," balas Lidia dengan aura dingin.
"Bro, gue ke sana dulu. Bahaya kalau sampai Lidia nyakitin Jingga," pamit Imam pada Aksa. Dia berjalan cepat menghampiri Lidia.
"Lid, sebaiknya kita lihat kondisi Fabian," seru Imam ketika dia sampai di samping Lidia. Lidia balik badan meninggalkan Jingga dan Wanda.
Wanda mengajak Jingga duduk. Dia tidak mungkin masuk sementara Lidia ada di dalam. Dia takut kalau di dalam sana Lidia dan Jingga akan bertengkar.
"Lho kenapa kalian tidak masuk?" tanya Erik yang beberapa saat kemudian datang berkunjung.
"Di dalam ada istri pertama," sindir Wanda.
"Memangnya kenapa kalau ada Lidia?" tanya Erik bingung. Biasanya tidak masalah walau Fabian, Lidia dan Jingga berkumpul dalam satu waktu dan tempat yang sama.
"Kamu tidak lihat pipi Jingga sampai merah gara-gara ditampar sama Lidia?" Wanda membentak mantan suaminya. Erik jadi terkejut. Tidak biasanya Lidia bersikap demikian.
"Jingga, ikut papa masuk ke dalam!" perintah Erik pada menantunya dengan lembut. Wanda juga ikut karena Fabian anak kandungnya. Erik tidak keberatan dengan keberadaan Wanda. Karena wanita itu sudah berbaik hati menampung Jingga.
"Lidia," panggil Erik pada menantunya yang lain. Lidia yang sedang menggenggam tangan suaminya sejenak menoleh.
"Pa," sapa Lidia dengan lirih. Dia mengabaikan Jingga.
"Kamu tenang saja, Fabian baik-baik saja. Kita hanya menunggu dia sadar," ungkap Erik menjelaskan keadaan anak sulungnya.
"Jingga, sebaiknya kamu pulang. Biar Lidia yang menjaga Fabian di sini."
"Tapi, Pa..."
"Jingga kamu juga harus pikirkan kondisi kamu dan calon cucuku. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Erik.
"Dia tinggal di rumahku," sela Wanda.
Erik menghela nafas. "Pulanglah bersama Wanda. Kamu harus jaga kesehatan!" Jingga mengangguk patuh. Akhirnya Jingga pulang dengan perasaan tidak rela.
Semalaman Lidia menunggui suaminya. Tapi ketika Fabian bangun bukan namanya yang dia sebut pertama kali. Namun, Fabian menyebut nama Jingga.
"Jingga, Jingga mana?" tanya Fabian pada Lidia.
Hati Lidia sangat sakit ketika dia yang berada di sana tapi suaminya menanyakan istrinya yang lain. "Dia tidak datang ke sini," jawab Lidia dengan ketus.
"Apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan kandungannya?" tanya Fabian yang terlihat begitu cemas pada keadaan Jingga.
"Mas, jangan pikirkan hal lain. Fokus saja pada kesembuhan kamu saat ini." Lidia berusaha mengalihkan pembicaraan. Terus terang dia merasa cemburu karena Fabian begitu peduli pada Jingga.
"Mana handphoneku?" tanya Fabian.
"Untuk apa?" tanya Lidia.
"Aku harus tahu bagaimana kabar Jingga. Aku akan menelepon dia. Berikan handphoneku Lidia!" bentak Fabian. Sesaat kemudian Fabian merasakan sakit di kepalanya.
"Mas, kamu kenapa?" Lidia panik karena suaminya tiba-tiba merasa kesakitan di bagian kepalanya. Lidia pun memanggil perawat yang bertugas saat itu.
Setelah diberi obat pereda rasa sakit, Fabian kembali tenang. Lidia pun merasa lega.
Di tempat lain, Jingga terus memikirkan suaminya. Dia bahkan tidak bisa tidur karena dia belum tahu bagaimana kabar Fabian saat ini. "Mas, apa kamu sudah sadar?" gumam Jingga sambil meneteskan air mata. Dia merasa bersalah karena dirinya lah yang menyebabkan Fabian sampai masuk ke rumah sakit.
Dia pun memiliki ide agar bisa bertemu dengan Fabian. Pagi ini Jingga datang pagi-pagi ke rumah sakit. Dia membawakan makanan yang sengaja dia masak sendiri.
Namun, ketika dia datang ke ruang rawat Fabian, dia tidak menemukan laki-laki itu. "Pasien atas nama Fabian di mana ya, Sus?" tanya Jingga pada perawat yang bertugas.
"Sudah dipindahkan," jawab perawat itu.
"Pindah? Ke mana?" tanya Jingga lebih lanjut. Perawat itu menggedikkan bahu.
"Saya tidak tahu pasti. Tapi yang saya dengar keluarganya membawa dia berobat ke luar negeri."
Deg
Jingga menjatuhkan rantang makanan yang dia bawa. "Kenapa tidak ada yang mengabari aku?" tanya Jingga lirih.
Setelah itu dia berjalan gontai. Tak sengaja dia menabrak seorang laki-laki. "Ups, maaf saya buru-buru," kata laki-laki itu. Jingga tak menanggapi.
Sesaat kemudian pria berjas dokter tersebut mengamati wajah perempuan yang dia tabrak. "Jingga?" Gadis itu menoleh.
"Saya lupa dengan siapa saya bicara," kata Jingga dengan jujur.
Laki-laki tampan itu tersenyum. "Aku Adli, kakak kelas kamu di SMA. Bukankah dulu kita pernah satu organisasi," ungkapnya.
"Owh, maafkan saya. Saya sedang tidak fokus." Jingga mengamati laki-laki bertubuh tegap itu. "Anda bekerja di sini?" tanya Jingga.
Adli mengangguk. "Aku baru saja mendapatkan surat tugas untuk mengikuti praktek di sini," jawab Adli.
"Oh, baiklah kalau begitu saya permisi," pamit Jingga.
"Jingga," panggil Erik.
"Papa," balas Jingga.
"Ow, rupanya dia anak dokter senior di sini," pikir Adli. Adli tersenyum senang. Suatu kejadian yang tak terduga bisa bertemu dengan adik kelasnya yang sejak dulu dia taksir.
Kala itu, Adli sedang bermain basket di lapangan. Bolanya tak sengaja mengenai lengan Jingga. "Sorry, gue nggak sengaja," ucap Adli dengan lembut.
"Iya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati untung aja cuma kena tangan bagaimana kalau kena murid lainnya di bagian kepala. Nanti kamu bisa kena hukuman," cerocos Jingga.
Hal itu menarik perhatian Adli. Adli yang dua tingkat di atas Jingga jadi penasaran dengan gadis berambut panjang dan berbando merah itu.
Di lain hari Adli mulai menyelidiki semua yang berhubungan dengan gadis yang menarik perhatiannya kemaren. "Jadi namanya Jingga," gumam Adli setelah bertanya-tanya pada banyak orang.
Adli pun mulai aktif di berbagai kegiatan yang diikuti Jingga agar dia bisa selalu dekat dengan gadis itu. Namun, sayangnya Jingga tak pernah memperhatikan dia.
Adli jadi punya keinginan agar bisa menonjol dari teman-temannya yang lain. Dengan begitu, Jingga akan mudah mengingatnya. Adli bekerja keras hingga dia bisa sampai di titik ini. Menjadi seorang dokter adalah cita-citanya agar suatu saat dia punya nilai lebih ketika mendekati pujaan hatinya.
Sayangnya Jingga sudah menjadi milik Fabian. Adli tidak mengetahui akan hal itu. Dia mengira kalau Jingga masih lajang. "Jingga, aku yakin kali ini aku bisa mendapatkan hatimu," gumam Adli menatap punggung Jingga yang semakin menjauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments