Jingga berangkat mengajar seperti biasa. Tidak seperti biasanya dia merasa canggung bertemu April karena semenjak Fabian resmi menikahinya, otomatis April menjadi adik iparnya sekarang.
"Jingga," panggil April.
"Ya, Mbak?" jawab Jingga.
"Kata Pak Rizky kamu udah nggak lagi tinggal di rumah kontrakan sekarang?" tanya April.
"Iya, Mbak. Saya pindah rumah," jawab Jingga.
"Oh ya sudah, aku tinggal dulu," pamit April. Jingga pun menuju ke kelasnya.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Jingga.
"Pagi, Bu Jingga," jawab anak-anak di kelas satu.
"Bu Jingga, aku lihat Bu Jingga makin hari makin cantik saja," puji Elia.
"Masa?"
"Iya, Bu. Apalagi kalau Bu Jingga jari ibuku, pasti tiap hari papa akan bayarin ibu ke salon."
"Huu..." sorak teman-temannya.
Elia memang suka sekali pada Jingga. Seingatnya Jingga masih lajang sehingga Elia menjodoh-jodohkan Jingga dengan ayahnya yang notabene seorang duda.
"Sudah tenang semuanya. Kita mulai belajar ya," seru Jingga.
Usai jam pelajaran selesai, Jingga mengambil tasnya lalu dia ingin pulang ke apartemen. Berdiri seharian membuat pinggangnya agak sakit.
"Jingga, mau bareng nggak?" tanya Rizky.
"Eh nggak usah, Mas. Aku mau mampir belanja ke super market sebentar sebelum pulang," tolak Jingga. Dia tidak mau kalau Rizky tahu tempat tinggalnya yang baru.
"Ya sudah, lain kali jangan menolak aku." Jingga tersenyum menanggapi ucapan Rizky.
Setelah itu, Jingga menaiki taksi. Dia mampir ke super market sebentar untuk membeli sesuatu yang dia butuhkan untuk memasak.
Ketika dia sedang memilih sayuran, dia tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita yang sama-sama mengambil wortel yang sama. "Maaf, apa Anda ingin mengambilnya? Silakan!" kata Jingga dengan sopan.
Wanita yang tak lain adalah Ibunda Fabian itu tersenyum pada Jingga. "Baiklah, terima kasih. Apa kamu belanja sendirian?" tanya Wanda. Jingga mengangguk.
"Suami saya masih bekerja. Saya sengaja belanja kebutuhan makanan agar nanti bisa menyediakan makanan untuknya."
"Wah, kamu istri yang baik. Bagaimana kalau kita mampir sebentar ke kafe di depan sana. Saya tidak punya teman jadi saya ingin mengobrol dengan kamu."
Jingga memenuhi permintaan Wanda. Lagi pula Fabian tidak tentu pulang ke apartemen jadi dia merasa tidak apa-apa pulang terlambat.
Wanda memesankan minuman teh rasa-rasa untuk Jingga. "Apa kamu menyukainya?" tanya Wanda. Jingga mengangguk.
"Setidaknya boleh diminum untuk orang hamil seperti saya," jawab Jingga.
"Jadi kamu sedang hamil muda? Pantas saja aura kamu beda." Jingga tersenyum mendengarnya.
"Nama saya Wanda. Siapa nama kamu?" tanya wanita paruh baya itu.
"Jingga, Tante."
"Suami kamu kerja apa?" tanya Wanda lebih jauh.
"Di kantor," jawab Jingga singkat.
"Orang sibuk rupanya. Pantas saja dia tidak bisa menemani kamu berbelanja. Oh ya bolehkah lain kali kita bertemu lagi seperti ini?" tanya Wanda. Dia sepertinya menyukai Jingga.
"Saya usahakan kalau bisa, Tante. Karena sehari-hari saya mengajar," jawab Jingga.
"Jadi kamu seorang guru?" Jingga mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, tidak masalah. Ini nomor teleponku. Jika kamu membutuhkan aku bisa hubungi aku di nomor itu." Wanda menyodorkan secarik kertas pada Jingga yang bertuliskan nomor teleponnya.
"Baik, terima kasih untuk traktirannya, Tante. Saya pamit pulang."
Jingga pun berjalan ke pinggir jalan raya. Ketika dia sedang menunggu taksi, tiba-tiba sebuah mobil yang dia kenali berhenti di depannya. Rizky membuka jendela mobil lalu menyapa Jingga.
"Ayo naik!" Jingga yang tak enak pun tak kuasa menolak ajakan Rizky.
"Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Mas Rizky dari mana?" tanya Jingga.
"Saya habis nyuci mobil di tempat langganan saya," jawab Rizky.
"Owh pantas saja."
"Jingga, kita ke mana? Maksud aku, aku tidak tahu kamu pindah ke mana."
"Nanti akan aku tunjukkan jalannya, Mas."
Rizky pun mengendarai mobilnya sesuai arahan Jingga. Mereka berhenti di sebuah gedung apartemen mewah. "Kamu pindah ke sini?" tanya Rizky.
"Iya, Mas. Aku membeli apartemen dengan cara mengangsur pembayarannya," jawab Jingga berbohong.
"Syukurlah kamu bisa tinggal di tempat yang lebih layak."
"Terima kasih atas tumpangannya, Mas," ucap Jingga setelah turun dari mobil.
"Kalau begitu aku pulang dulu," pamit Rizky. Dia pun melajukan mobilnya meninggalkan Jingga seorang diri.
Saat Jingga menoleh, dia terkejut ketika Fabian tiba-tiba berdiri di belakangnya. "Mas." Jingga merasa tidak enak karena diantar pulang oleh laki-laki lain.
"Jadi seperti ini kelakuan kamu di luar. Kenapa tidak langsung pulang? Kamu tahu aku menjemputmu di sekolah tapi kamu malah pacaran sama laki-laki itu," tunjuk Fabian.
Sakit, ketika suaminya menuduh Jingga berbuat yang bukan-bukan. Jingga berusaha menahan air matanya. "Maaf," ucapnya dengan lirih.
Fabian menarik tangan Jingga dengan kasar hingga barang bawaannya terjatuh. "Mas belanjaan aku." Fabian tak menghiraukan ucapan istri keduanya itu.
Dia membanting tubuh Jingga ketika sampai di kamarnya. "Katakan! Apa benar itu anakku? Atau dia anak kamu dengan laki-laki sialan itu? Oh aku tahu, kamu sengaja mengaku kalau itu anakku agar kamu bisa menguasai hartaku bukan? Jawab!" bentak Fabian.
Jingga tak dapat menahan lagi air matanya. Sungguh teramat sakit ketika suaminya menuduh dirinya dengan kejam. "Aku tidak seperti yang kamu tuduhkan, Mas."
Jingga ingin meraih tangan Fabian tapi laki-laki itu menepis tangan Jingga secara kasar. "Aku tidak percaya padamu. Lebih baik kamu gugurkan saja kandunganmu itu!"
Sesaat kemudian Fabian keluar dari apartemennya. Dia merasa frustasi menghadapi Jingga. Sedangkan Jingga terduduk di lantai sambil menangis karena suaminya berlaku kejam padanya.
"Ya Tuhan, kapan cobaan ini akan berakhir. Aku hampir tak sanggup menghadapinya," ucap Jingga di sela-sela tangisannya.
Fabian memilih pulang ke rumah Lidia. "Mas, kamu nggak tidur di rumah Jingga?" tanya Lidia.
"Malam ini aku ingin tidur bersamamu," jawab Fabian.
Lidia rasanya ingin bersorak karena suaminya itu tidak melupakan dia sebagai istri pertamanya. "Mas, apa mau aku pijat? Bagian mana yang sakit?" tanya Lidia sambil mengusap dada bidang suaminya.
Fabian langsung tersenyum melihat tingkah nakal istrinya itu. Dia kemudian menggendong Lidia dalam satu hentakan. "Ayo lanjutkan di kamar saja," bisik Fabian di telinga Lidia. Lidia tersenyum malu-malu. Wanita itu pun mengangguk.
Mereka akan menghabiskan malam panas kali ini. Lidia sudah lama merindukan suaminya. Semenjak kejadian Fabian yang merenggut kesucian Jingga malam itu, mereka terus bersitegang sehingga tidak ada waktu untuk bersentuhan. Kali ini Lidia memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Dia tidak ingin kehilangan momen romantis bersama sang suami meski telah beristri dua.
Sudah berhari-hari Fabian tidak pulang ke apartemen. Jingga tetap memasak untuk suaminya meski pada akhirnya dia akan membuang masakan itu karena porsinya terlalu banyak.
Ketika dia sedang memasak, tiba-tiba dua buah tangan memeluk dia dari belakang. "Mas."
Horor ya, tangan siapa itu? Othor jadi ngeri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Sumarni Sahir
tangan siapa itu.., penasaran akuuu..🤭
2023-03-09
0
Nirwana Asri
jangan lupa subscribe ya kak
2023-03-09
0
Wicih Rasmita
hayo tangan siapa itu🤔pinisirin aq thor and kipi😁😁😁
2023-03-09
0