"Tidak, Kak. Aku tidak hamil," elak Jingga. Namun, dia memegang perutnya. Lidia mengamati pergerakan Jingga. Gadis itu seperti ketakutan.
"Aku tidak percaya. Ayo kita periksa ke dokter." Lidia menarik tangan Jingga dengan paksa. Fabian meraup mukanya kasar.
"Sial. Kenapa ini bisa terjadi?" gumamnya kesal.
Lidia membawa Jingga masuk ke dalam mobil. Jingga hanya bisa pasrah. Lidia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. "Kenapa kamu tidak mengakui saja kalau itu anak Mas Fabian, Jingga?"
Deg
Jingga terkejut ketika dia mendengar ucapan Lidia. "Mbak."
"Jangan berbohong lagi padaku. Aku mengetahuinya, Jingga. Aku lihat dari CCTV rumah. Malam itu Mas Fabian mabuk dan dia memper**samu bukan?"
Mata Jingga berkaca-kaca. Dia ingin melupakan kejadian itu tapi Lidia malah mengingatkan dia lagi. "Aku, aku..." Jingga menangis sesenggukan.
Sesampainya di rumah sakit, Lidia menarik paksa Jingga agar keluar. "Ayo Jingga kita harus dapatkan bukti agar suamiku mengakui anak dalam kandunganmu ini? Dia tidak akan percaya jika kita tidak memiliki bukti," bujuk Lidia.
Jingga hanya pasrah tentang apa yang akan dilakukan Lidia padanya. Usai menjalani sejumlah pemeriksaan, mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Lidia memegang sebuah foto USG milik Jingga.
"Mas Fabian tidak akan bisa mengelak lagi setelah ini," gumam Lidia. Rencananya seolah berjalan lancar.
Jingga tak menanggapi ucapan Lidia. Jiwanya seolah pergi dari raganya. Dia hanya bisa pasrah. Ingin sekali dia kabur membawa anak yang dia kandung tapi Lidia pasti tidak tinggal diam.
Sesampainya di rumah Lidia berjalan cepat meninggalkan Jingga kemudian menemui suaminya. "Nikahi Jingga segera!" Lidia melempar hasil USG ke wajah suaminya.
Fabian gemetar melihat hasil USG tersebut. "Dia bukan anakku." Fabian menyangkalnya.
Lidia tidak tinggal diam. Dia sengaja merekam kejadian malam itu. "Kamu masih menyangkal, hah?" bentak Lidia. Jingga hanya menangis sambil menunduk. Tapi akhirnya dia buka suara mendengar Fabian terus menyangkal.
"Kak, tolong jangan paksa Kak Fabian. Aku akan merawat anak ini sendiri."
"Jangan gila kamu Jingga. Dia darah daging suamiku. Dia harus bertanggung jawab padamu. Mas..." rengek Lidia.
"Jadi kamu rela aku menikahi wanita lain? Kamu rela aku berbagi cinta dengannya." Fabian menunjuk Jingga dengan tangannya.
"Ya, aku rela. Jingga gadis baik-baik aku tidak akan menyesal jika berbagi suami dengannya."
Baik Fabian maupun Jingga tidak menyangka kalau ucapan Lidia benar-benar serius. Tiba-tiba Jingga merasa lemas. Mungkin karena dia sedang hamil dan kelelahan jadi tubuhnya merosot ke lantai.
"Jingga," teriak Lidia. Dia menopang kepala Jingga. "Mas jangan hanya mematung tolong dia!" bentak Lidia.
Mau tak mau Fabian mengangkat tubuh Jingga. Dia meletakkan Jingga di atas sofa. Lidia mengambil minyak angin dan memberikan bau ke depan hidung Jingga. "Ah, kepalaku."
Sesaat kemudian Jingga sadar. "Kamu sudah baikan?" tanya Lidia dengan lembut.
"Jangan berpura-pura pingsan agar mendapatkan simpati kami," cibir Fabian. Jingga merasa sakit di bagian ulu hatinya. Tuduhan Fabian membuat dirinya tersakiti. 'Dasar laki-laki tidak punya hati,' umpat Jingga di dalam hatinya.
"Mas, jangan bicara seperti itu. Tujuh tahun kita menunggu akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah. Apa kamu tidak bahagia?" tanya Lidia.
"Aku hanya ingin memiliki anak darimu. Sudahlah aku malas berdebat." Fabian pun naik ke lantai atas.
"Jingga, tubuh kamu lemah. Aku antar ke kamarmu. Aku pastikan Mas Fabian menikahi kamu besok."
Jingga tersenyum smirk. "Mbak, kenapa mbak ngotot ingin menjadikan aku madumu? Apa mbak tidak akan menyesal nantinya?"
Lidia tersenyum. "Ini yang terbaik untuk kita semua, Jingga." Jingga pun masuk ke dalam kamarnya.
Keesokan harinya, Jingga bekerja seperti biasanya. Meskipun Lidia melarang tapi Jingga menolak.
"Jingga, aku tadi ke rumah kamu berniat mengajak kamu berangkat bersama tapi aku melihat rumah kamu terkunci." Rizky baru saja datang kemudian menegur Jingga.
"Aku menginap di rumah Kak Lidia semalam," jawab Jingga.
"Owh, apa kamu nanti mau pulang bareng? Aku juga tidak ada acara setelah pulang kerja." Rizky masih berusaha mendekati Jingga.
Jingga tersenyum. "Terima kasih banyak, Mas Rizky. Tapi, aku akan dijemput Kak Lidia sepulang kerja nanti. Kami janjian pergi bersama," bohong Jingga.
"Oh, aku kira kamu akan pergi dengan laki-laki yang kemaren menjemput kamu?" sindir Rizky.
Jingga tidak menyangka kalau Rizky melihatnya menaiki mobil Fabian. "Mas, sudah waktunya aku mengajar. Aku permisi." Rizky mengangguk paham.
Siang hari, Elia, salah satu murid Jingga menawarkan tumpangan. "Bu Jingga, ayo aku antarkan pulang. Aku dijemput sama Pka Sopir."
Jingga tersenyum. "Terima kasih, Elia. Nanti Bu Jingga bisa naik taksi," tolak Jingga dengan halus.
"Lain kali Bu Jingga harus mau aku antar," paksa Elia. Jingga tersenyum menanggapinya.
Ketika semua orang sudah pulang, Jingga baru keluar dari sekolah. "Jingga," panggil menoleh.
"Kamu menunggu seseorang?" tanya April. Jingga gugup menjawabnya.
"Tidak, saya hanya bingung mau pulang ke mana?" April mengerutkan keningnya.
"Bukankah kamu menyewa rumah?"
"Rumah itu terkena sengketa tanah jadi saya tidak punya tempat tinggal lagi sekarang." Jingga terpaksa berbohong.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanya April.
"Tidak perlu, Mbak. Ah saya harus pergi sekarang," pamit Jingga meninggalkan April begitu saja.
Namun, ketika dari kejauhan April heran ketika melihat Jingga menaiki mobil Fabian. "Itu bukannya mobil Kak Fabian," gumam April yang mengenal plat mobil tersebut.
"Lidia tidak bisa menjemput kamu jadi dia menyuruhku menjemputmu."
"Seharusnya Mas Fabian tidak perlu repot-repot."
"Jingga, kamu sudah berjanji kalau kamu akan bungkam. Kenapa Lidia bisa sampai tahu kalau kamu hamil anakku?" tanya Fabian tanpa basa-basi lagi.
"Aku tidak bilang apa-apa pada Kak Lidia. Dia melihat kejadian malam itu dari CCTV rumah kalian."
"Oh, shiit. Aku lupa menghapus rekaman itu." Fabian merutuki kebodohannya.
"Baiklah aku akan menikahi kamu tapi hanya sampai anak itu lahir. Setelah itu kita bercerai." Jingga memicingkan matanya.
"Lebih baik jangan nikahi aku sekalian. Aku bisa merawat anakku seorang diri."
Fabian tersenyum miring. "Sombong sekali. Apa kamu yakin dengan ucapan kamu barusan? Aku akan senang jika itu memang benar. Aku jadi ragu apakah itu benar anakku atau bukan."
Ucapan Fabian melukai hati Jingga. "Aku tidak butuh pengakuan kamu, Mas," balas Jingga.
Jingga membuka pintu mobil. Fabian pun mengerem secara mendadak. "Kamu gila ya?" bentak Fabian. Jingga tak menghiraukan laki-laki itu. Dia keluar padahal hujan baru turun dengan derasnya. Jingga tak menghiraukan cuaca.
Tiba-tiba tubuhnya terangkat seolah melayang di udara.
Lah itu tadi ada makhluk astral apa gimana kok tiba-tiba melayang, Thor?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments