Fabian memainkan pulpennya ketika dia sedang berada di kantor. Dia merasa aneh dengan kejadian semalam. "Sebenarnya semalam aku tidur dengan siapa? Kenapa aku malah mengingat wajah Jingga? Ah tidak mungkin. Sewaktu aku bangun tadi pagi Lidia ada di kamar. Berarti aku melakukannya dengan Lidia," gumam Fabian yang bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Bos, tanda tangan nih. Kita dapat tender besar," seru Imam, sahabat yang sekarang membangun perusahaan bersama Fabian.
Fabian membaca berkas itu kemudian menandatanganinya. "Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkan, Bos?" tanya Imam. Sikapnya memang santai pada Fabian meski Fabian adalah atasannya.
"Sesuatu yang nggak penting," jawab Fabian. Sesaat kemudian Fabian menerima telepon dari istrinya, Lidia.
"Kamu boleh keluar, aku dapat telepon dari Lidia." Imam mengangguk patuh.
"Mas, tolong Jingga. Dia sedang sakit datanglah ke rumah kontrakannya sekarang!"
"Ck, aku tidak bisa sayang," tolak Fabian. Jujur dia sangat malas jika berurusan dengan Jingga. Terlebih setelah istrinya menjodoh-jodohkan dia dengan sepupunya itu.
"Mas, kamu tega ya. Tidak ada yang bisa aku andalkan. Apa perlu aku telepon papa?" ancam Lidia.
"Baiklah. Tunggu di sana!" perintah Fabian. Laki-laki itu menyambar jas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
"Mau ke mana, Bos?" tanya Imam.
"Tugas kemanusiaan," jawab Fabian asal. Imam mengerutkan keningnya.
Tak sampai tiga puluh menit Fabian sampai di rumah kontrakan Jingga. Ketika Lidia mendengar suara mobil suaminya, dia segera menghampiri. "Mas, ayo masuk! Bawa Jingga ke rumah sakit. Badannya menggigil."
Fabian malas menggerakkan kakinya. Lidia menyeret suaminya masuk ke dalam. "Ayo, Mas! Gendong dia!" perintah Lidia.
Fabian pun terpaksa mengangkat tubuh Jingga. Tapi Jingga tiba-tiba beringsut ketika suami Lidia itu akan menggendongnya. "Tidak, tidak usah," kata Jingga.
"Tuh, Yang. Nggak usah katanya."
"Jingga, ayo kita ke dokter. Kamu perlu diperiksa," bujuk Lidia.
"Nggak usah, Kak." Jingga memeluk kakinya di atas kasur. Dia seperti orang ketakutan. Lidia bukannya tidak menyadari ketakutan yang dialami Jingga. Tapi dia harus pura-pura tidak tahu agar rencananya berhasil.
Fabian merasa sia-sia datang ke rumah itu. Waktunya terbuang percuma hanya untuk membujuk Jingga.
"Jingga, aku menyayangimu seperti adikku sendiri. Jadi percayalah kalau aku tidak akan menyakiti kamu."
Jingga akhirnya mau diajak ke dokter. Lidia menuntunnya berjalan dengan perlahan. Kakinya masih sakit jadi jalan Jingga menjadi pincang.
Sesampainya di rumah sakit, perawat mengobati luka di bagian lutut Jingga. "Kenapa luka separah ini dibiarkan saja. Pantas saja infeksi," omel perawat yang mengobati lutut Jingga yang terluka.
"Sus, apa dia harus dirawat?" tanya Lidia.
"Nanti kita tanya dokter ya, Bu."
Namun, setelah ditanyakan pada dokter umum di sana, Jingga tidak perlu dirawat. "Syukurlah kamu boleh pulang." Lidia merasa lega karena Jingga tidak apa-apa.
Fabian sedari tadi diam saja. Dia merasa tidak nyaman ketika berdekatan dengan Jingga. "Perasaan apa ini?" tanya Fabian pada dirinya sendiri.
Usai mengantar Jingga, Lidia dan Fabian pamit pulang. "Maaf, Jingga aku tidak bisa menemani kamu. Jika kamu butuh apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi aku." Lidia berpesan pada Jingga sebelum dia pergi.
Fabian kasian melihat Jingga, tapi dia tidak bisa berbuat banyak untuknya. Tentu saja karena dia tidak mau kalau Lidia salah paham padanya.
Sejenak mata Fabian bertemu dengan Jingga. Dia bisa melihat kesedihan di mata gadis itu. Tapi Jingga terlihat ketakutan setiap kali melihat Fabian. "Sebenarnya dia kenapa?" Fabian tak bisa mengartikan tatapan mata Jingga.
Setelah kepergian Lidia dan Fabian. Jingga menangis sejadi-jadinya. Dia kembali mengingat kejadian pahit yang ditorehkan oleh Fabian padanya. Jingga merasa jijik pada dirinya sendiri.
Lidia merasa bersalah pada Jingga. Dia terus memikirkan Jingga. "Mas, kamu lihat sendiri bukan? Jingga tidak ada yang jaga. Setidaknya jika kamu menikahinya, kita bisa menjaga Jingga sama-sama," bujuk Lidia.
"Lidia, aku bosan kamu terus memaksaku menikahi Jingga. Aku tidak akan pernah menikahi wanita manapun selain kamu. Aku hanya mencintai kamu Lid." Fabian meyakinkan istrinya.
"Aku tahu, Mas. Tapi pernikahan kita ini tidak sempurna. Setiap pasangan pasti menginginkan buah hati. Aku tidak bisa memberikannya padamu untuk itu aku ingin kamu bisa memiliki keturunan dari wanita lain."
Walau mulutnya berkata tegar tapi dalam hati Lidia begitu hancur ketika menyuruh suaminya menikah lagi. Tidak ada satu wanita di dunia ini yang ingin dimadu.
"Sebaiknya kamu pikirkan lagi permintaan kamu itu. Jangan sampai kamu menyesal nanti."
Fabian masuk ke ruang kerjanya. Dia malas berdebat dengan Lidia. "Aku sangat membencimu Jingga. Apa yang membuat Lidia begitu menyayangi kamu hingga dia merelakan suaminya sendiri untuk dinikahkan denganmu?" gumam Fabian seraya mengusap wajahnya frustasi.
Fabian pun memutuskan untuk tidur di kamar lain. Kemudian keesokan harinya Fabian mendatangi rumah ayahnya. Dia malas berdebat lagi atau membahas tentang pernikahan keduanya.
"Tumben kamu pagi-pagi ke sini?" tanya Erik.
"Lagi suntuk di rumah, Pa," jawab Fabian.
"Kenapa, Fab? Kalau kamu ada masalah kamu bisa bilang sama papa."
"Nggak, Pa. Aku sudah dewasa. Aku bisa menyelesaikan urusanku sendiri," tolak Fabian.
"Fab, sudah tujuh tahun kamu menikah tapi kalian belum punya anak. Apa kamu tidak ingin menjalani program hamil?" tanya Erik.
"Bukankah itu urusan Lidia sebagai seorang perempuan?" Fabian bertanya balik.
"Betul, tapi kamu sebagai suaminya sudah seharusnya mendukung. Apa kalian tidak pernah memeriksakan kondisi kandungan Lidia?" tanya Erik.
Fabian menggeleng. "Aku tidak mau memaksa Lidia. Aku takut menyakiti hatinya, Pa."
"Kamu salah, Fab. Jika kamu tidak usaha mana bisa kalian memiliki keturunan. Aku curiga Lidia mandul."
Prank
Fabian meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar. "Jangan bicara seperti itu, Pa. Meskipun kami tidak punya anak. Aku tetap mencintai istriku apa adanya." Fabian tidak terima dengan perkataan ayahnya ketika dia menghina Lidia.
"Maafkan papa, Fab. Papa hanya menduga saja. Kalau kamu ingin buktikan dia subur atau tidak periksalah ke dokter. Aku akan buatkan janji dengan Om David kalau perlu."
"Aku akan bicarakan pada Lidia."
"Fab, pernahkah kamu berpikir untuk menikah lagi?"
Uhuk
Fabian tersedak ketika mendengar perkataan ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Sulis Tyawati
kasihan jingga, dia jd korban keegoisan Lidia.
2024-12-17
0