Jingga tetap bekerja seperti biasa. Pagi tadi dia mengalami syok karena dia mengetahui kenyataan kalau dirinya hamil. Tapi dia pikir tidak boleh ada yang tahu. Jingga menyembunyikan kehamilannya pada siapapun.
"Jingga, kamu udah baikan?" tanya Rizky.
"Udah, Mas. Terima kasih kemaren udah mengantar saya."
Rizky tersenyum. "Jangan sungkan. Ya sudah aku ngajar dulu," pamit Rizky.
Selesai mengajar Jingga buru-buru balik karena badannya kurang fit. Tapi ketika dia sedang menunggu taksi, sebuah mobil berhenti di depan gadis itu. Jantung Jingga berdebar karena dia tahu siapa pemilik mobil tersebut.
Fabian membuka kaca jendela mobilnya. "Masuk!" perintah Fabian pada Jingga. Jingga agak trauma jika bertemu dengan Fabian.
Karena terlalu lama menunggu Jingga, Fabian pun turun kemudian membukakan pintu untuk Jingga. "Aku ingin bicara denganmu tentang sesuatu yang penting."
Akhirnya Jingga pun bersedia ikut dengan Fabian. Dari kejauhan Rizky melihat Jingga masuk ke sebuah mobil yang tidak dia kenali pemiliknya. "Apa dia kekasih Jingga?" Rizky bertanya-tanya. Ada rasa cemburu campur kecewa di hatinya.
"Ada apa, Mas?" tanya Jingga takut-takut ketika berada di dalam mobil Fabian.
"Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan ini. Tapi aku rasa kita perlu meluruskan sesuatu. Maaf atas kejadian malam itu, Jingga. Aku di bawah pengaruh alkohol. Sungguh aku tidak tahu kalau aku telah memaksa kamu." Fabian tak meneruskan perkataannya. Dia yakin Jingga sudah paham akan maksudnya.
Jingga meneteskan air mata kemudian mengusapnya dengan kasar. "Aku kira kamu tidak ingat, Mas."
"Aku akan memberi kamu uang. Tapi, tolong jangan sampai Lidia tahu. Aku tidak ingin dia mengira aku mengkhianati dirinya."
'Kamu begitu mengkhawatirkan Kak Lidia tapi kamu sama sekali tidak peduli pada nasibku, apalagi nasib anak ini.'
Jingga tiba-tiba memegang perutnya. Pemandangan itu tak luput dari perhatian Fabian. "Jingga ini sudah sebulan dari kejadian pada malam itu. Kamu tidak hamil bukan?" tanya Fabian.
"Tidak," jawab Jingga dengan tegas. Dia membuang wajah dan menghadap ke jendela.
"Syukurlah. Aku akan berada di posisi sulit jika sampai kamu hamil."
'Keterlaluan kamu, Mas.' Jingga mengepalkan tangannya.
Jingga mengatur nafasnya. "Mas Fabian tenang saja. Aku tidak hamil dan soal Kak Lidia aku tidak akan bilang apapun padanya karena dia orang yang paling aku sayangi. Aku tidak mungkin menyakiti dia, Mas."
"Baguslah kalau kamu pengertian. Aku jadi tidak merasa khawatir." Ada rasa lega di hati Fabian.
Sesaat kemudian mobil Fabian berhenti di depan rumah kontrakan Jingga. "Berikan nomor rekeningmu!" Fabian menyodorkan handphonenya sebelum Jingga turun. Namun, Jingga mendorong ponsel Fabian.
Wanita itu tersenyum miring. "Tidak perlu. Jika Mas membayarku berarti mas menganggap aku wanita murahan. Aku bukan wanita seperti itu. Terima kasih atas tumpangannya."
Jingga turun dan segera masuk ke dalam rumah. Tubuhnya merosot setelah menutup pintu. "Tega kamu, Mas. Padahal kamu telah merusak masa depanku tapi kamu tidak merasa bersalah sedikitpun."
Jingga kembali memegang perutnya. "Mama akan merawat kamu dengan baik walau tanpa ayahmu."
Dia menangisi nasibnya yang malang. Tiba-tiba Jingga merasa lapar. Dia pun mencuci muka kemudian dia keluar untuk membeli makanan. Jingga berjalan ke arah penjual bakso yang mangkal tak jauh dari rumahnya.
"Mau beli berapa bungkus, Neng?" tanya penjual bakso tersebut.
"Satu aja, Bang." Sambil menunggu bakso buatannya diracik Jingga duduk di dekat penjual bakso. Ketika dia mencium aroma kuah bakso yang baru dibuka tutupnya tiba-tiba dia muntah. "Hoeek."
Orang-orang yang membeli bakso pun merasa curiga pada Jingga. "Jingga, kamu hamil ya?" tanya salah satu warga yang mengenalnya.
"Nggak, Bu. Saya hanya masuk angin." Jika tetap membayar bakso yang dia pesan tapi dia tak mengambilnya. Jingga pun berjalan cepat menuju ke rumah.
"Maaf, nak. Malam ini kamu harus puasa dulu," ucap Jingga mengajak bicara anak yang ada di dalam kandungannya.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. "Jingga, keluar kamu!" seru warga yang tengah berkumpul di depan rumah kontrakan Jingga.
Jingga terkejut ketika dia melihat banyak orang berkumpul di depan rumahnya. "Katakan! Kamu sebenarnya hamil di luar nikah bukan?" desak salah seorang warga.
"Tidak. Itu tidak benar." Jingga masih menyembunyikan fakta. Dia takut mereka akan mengusirnya.
"Halah, akui saja."
Di saat yang bersamaan, Lidia kembali datang ke rumah Jingga. Dia ingin mengetahui kondisi terkini sepupunya itu. "Ada apa ini rame-rame?" gumam Lidia. Dia segera turun karena merasa curiga.
"Jingga." Lidia membelah kerumunan orang-orang tersebut.
"Kak Lidia." Jingga menangis sesenggukan.
"Apa anda keluarganya?" Lidia mengangguk.
"Bawa saja dia pergi. Dia sudah mencemari kampung ini."
"Ya benar," sahut orang beramai-ramai.
Lidia tak bertanya pada jingga. Dia membujuk agar Jingga ikut bersamanya. "Tapi, Kak..." Jingga ingin menolak karena dia takut pada Fabian.
"Aku tidak mau mereka mengambil tindakan yang lebih kejam dari pada ini. Tolong ikut saja denganku agar kamu aman." Jingga mengangguk.
Tak apa kalau fisiknya dilukai. Tapi dia takut orang-orang itu akan menyakiti buah hati yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. "Baiklah, aku ikut kakak."
Setelah Jingga masuk ke dalam mobil. Orang-orang itu bubar. Jingga menangis. Sejak remaja nasibnya tidak pernah beruntung. Dia selalu mengalami penderitaan yang berbeda. "Apakah aku tidak akan pernah bahagia?"
Sesampainya di rumah Lidia, Fabian menyambut kedatangan istrinya. Namun, senyum di wajahnya seketika surut ketika dia melihat Jingga berjalan bersama wanita yang dia cintai. Terlebih lagi Jingga datang dengan membawa tas besar.
"Ada apa ini?" tanya Fabian.
"Jingga akan menginap di rumah ini," kata Lidia memberi tahu.
"Kenapa? Bukankah dia sudah punya rumah sendiri?" tanya Fabian.
"Warga sekitar rumahnya mengusir Jingga." Fabian terkejut pada ucapan istrinya.
"Dia hamil," ucap Lidia.
Baik Jingga maupun Fabian terkejut bukan main. Jingga tidak pernah memberi tahu pada siapapun bagaimana Lidia tahu? Itu yang ada dipikiran Jingga.
Lalu Fabian baru saja mendapatkan pengakuan dari Jingga jika dia tidak hamil. Namun, Lidia berkata lain. "Lantas apa hubungannya dengan kita?"
Lidia menggelengkan kepala. Rupanya sang suami tidak mau mengakui anak yang ada di dalam perut Jingga. "Jingga katakan siapa ayah dari bayi yang sedang kamu kandung?" tanya Lidia. Fabian jadi berkeringat dingin. Dia takut kalau perbuatannya terbongkar.
'Tidak. Jangan katakan apapun!' batin Fabian seraya menatap mata Jingga.
Akankah Jingga mengatakan yang sebenarnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Nirwana Asri
kasian jingga ya
2023-03-06
0
Ana Ana
lebih baik jgn katakan jingga,Fabian gbpantas jadi ayah mungkin karna itu Tuhan blm memberikan dia anak bersama Lidia ,lebih baik km besarkan anak mu sendiri
2023-03-06
1