Lidia pergi ke sebuah restoran untuk menyendiri. Dia memesan kopi panas karena malam itu hujan begitu lebat sehingga hawa malam ini sangat dingin.
Lidia mengeluarkan ponselnya. Dia mengecek CCTV yang terhubung dengan ponsel yang saat ini sedang dia pegang. "Come on Lidia, kamu harus kuat."
Dia meyakinkan dirinya mengenai hal buruk yang akan terjadi. Lidia telah mempersiapkan hatinya jika Fabian melakukan sesuatu pada Jingga karena Lidia sendiri yang merencanakan semua ini.
Lidia melotot kemudian memejamkan matanya ketika sang suami menyentuh Jingga malam itu. Dia melihat suami yang dicintai tengah memper*kosa sepupunya. "Maafkan aku, Jingga. Aku hanya ingin Mas Fabian memiliki keturunan dari kamu," gumam Lidia sambil menangis.
Tak hanya merasa bersalah, tapi Lidia merasakan dadanya begitu sakit melihat suami yang sangat dicintainya menyentuh wanita lain walaupun itu atas kemauannya sendiri. "Jangan menangis, Lidia. Ini yang terbaik untuk semua orang."
Lidia menghapus jejak air matanya dengan tangan. Setelah cukup lama, Lidia pulang ke rumahnya.
Di tempat lain, Jingga sampai di rumah kontrakannya. Dia agak kesulitan berjalan karena merasakan perih di bagian pangkal paha. Gadis itu segera masuk dan mengunci pintu.
Usai mengunci pintu, tubuh Jingga merosot ke lantai. "Aaaa ... Kenapa nasibku seburuk ini?" Dia menangis di rumah kontrakannya.
Di saat seperti ini tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan sandaran olehnya. Jingga benar-benar gadis malang. Sejak belia dia sudah banyak menderita. Kini di usianya yang hampir menginjak 24 tahun, dia mengalami kekerasan sek*sual. Naasnya, perbuatan be*jat itu dilakukan oleh orang yang sangat dia kenal.
Setelah lelah menangis dia pergi ke kamar mandi. "Aku tidak boleh lemah. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi. Semoga Kak Lidia tidak mengetahuinya," gumam Jingga seraya menghapus air matanya.
Keesokan harinya, Jingga tetap mengajar. Dia adalah guru di sekolah dasar Internasional yang dikelola oleh April.
April adalah adik Fabian dari ibu yang berbeda. April telah mendirikan sekolah itu cukup lama. Jingga masuk ke sekolah itu atas rekomendasi dari Lidia sehingga usai lulus kuliah Jingga bisa langsung bekerja.
"Jingga," panggil April.
"Iya, Mbak April," jawab Jingga.
"Kamu kenapa jalannya begitu?" April menatap aneh pada gadis yang mengenakan rok selutut itu.
"Kaki saya sedang sakit, Mbak." Jingga memperlihatkan lututnya yang diperban.
"Ya ampun, Jingga. Lutut kamu kenapa sampai begitu? Seharusnya kamu izin saja kalau lagi sakit," tegur April. Dia merasa kasian pada Jingga.
"Jatuh, Mbak. Kemaren pas jalan kurang hati-hati jadi kaya gini deh," jawab Jingga setengah berbohong. Dia memang jatuh tapi bukan karena jalan yang tidak hati-hati melainkan saat ingin kabur dari Fabian.
"Lain kali hati-hati ya. Sebaiknya nanti kamu periksa ke dokter takutnya infeksi dan bertambah parah." April memberikan saran.
"Baik, Mbak. Saya masuk ke kelas dulu," pamit Jingga.
April melihat aneh pada diri Jingga. Selain lututnya yang sakit, kelopak mata Jingga juga lebam seperti habis menangis. "Semoga hanya perasaanku saja," gumam April seraya melihat punggung Jingga yang semakin menjauh.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Jingga pada murid-murid kelas satu di sekolah itu.
Jingga menjadi wali kelas satu di sekolah tempat dia mengajar. Setiap hari, dia harus dihadapkan pada kelakuan anak-anak yang masih belum bisa dikontrol. April sengaja menempatkan Jingga di kelas satu karena dia tahu Jingga wanita yang lemah lembut. April percaya menghadapi anak-anak bukanlah dengan cara kasar melainkan dengan cara halus.
"Bu Jingga, kenapa hari ini datangnya telat?" tanya salah satu muridnya.
"Oh maaf ya sayang, ibu kena macet," jawab Jingga. Dia memberikan jawaban yang tidak membuat anak-anak bertanya lagi.
"Besok aku akan bilang pada papa untuk membelikan Bu Jingga mobil," kata Elia.
Jingga tersenyum. "Terima kasih, Elia. Tapi sebaiknya uang itu ditabung saja untuk membayar sekolah Elia ketika di perguruan tinggi nanti," kata Jingga.
"No, ayahku seorang konglomerat." Elia menyombongkan kekayaan orang tuanya.
"Huuu..." Anak-anak lain menyoraki sikap Elia yang dianggap kampungan itu.
Elia menangis. Jingga pun memeluk Elia. "Teman-teman, jangan ejek Elia ya. Elia, kamu juga tidak boleh sombong. Meskipun kita kaya kita harus tetap rendah hati ya, sayang," ucap Jingga dengan lembut saat menasehati anak kecil itu.
Elia mengangguk. Jingga kesulitan berdiri setelah dia berjongkok ketika memeluk Elia. Tapi Jingga menahan rasa sakit agar anak-anak yang ada di kelas itu tidak khawatir padanya.
"Sekarang kita mulai belajar ya."
Ketika jam istirahat Jingga minta izin pulang. Kakinya benar-benar sakit. "Tidak apa-apa, Jingga. Kamu pulang saja. Biar Pak Rizky yang menggantikan kamu," kata April.
"Terima kasih banyak, Mbak." April mengangguk.
"Apa kamu bisa pulang sendiri? Kalau mau saya antar." April menawarkan tumpangan.
"Tidak usah, Mbak. Saya bisa naik taksi," tolak Jingga yang merasa tidak enak.
Setelah itu dia keluar dari ruangan April. Ketika dia berjalan di koridor sekolah, Jingga bertemu dengan Rizky, salah satu pengajar di sana. "Mas Rizky tolong gantikan saya mengajar di kelas satu. Saya tidak enak badan."
"Oh iya, tadi saya mendapatkan pesan dari Bu April. Jangan khawatir, Jingga. Saya akan menggantikan kamu."
"Terima kasih, Mas. Saya pamit pulang." Rizky mengangguk. Dia melihat Jingga jalan tertatih seraya memegangi kakinya.
"Sebenarnya dia kenapa?" gumam Rizky.
Jingga langsung pulang ke rumah. Badannya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Dia merebahkan diri di atas kasur.
Di tempat lain, Lidia sedang mencoba menghubungi Jingga. Dia merasa bersalah setelah kejadian semalam. Lidia yakin Jingga sedang tidak baik-baik saja. Namun, ponsel Jingga rupanya tertinggal di dapur. Dia melihat ponsel Jingga terjatuh di kolong meja.
"Pantas saja tidak bisa dihubungi rupanya ponselnya terjatuh semalam," gumam Lidia.
Setelah itu, dia pun berpikir untuk menemui Jingga dengan alasan mengembalikan ponselnya. Lidia menghubungi April tapi adik iparnya bilang Jingga sudah pulang ke rumahnya. Lidia pun menuju ke rumah Jingga.
Tiga puluh menit perjalanan dari rumahnya, Lidia kini sampai di depan rumah kontrakan sepupunya itu. Lidia memanggil Jingga tapi tidak ada balasan. Lidia pun mencoba membuka engsel pintu rumah tersebut. Dia mencari keberadaan Jingga.
Lidia terkejut ketika mendapati gadis yang dia cari meringkuk di atas kasur. "Jingga, Kakak ke sini ingin mengembalikan ponsel kamu. Kamu kenapa selimutan begini?" tanya Lidia cemas.
Lidia melihat bibir Jingga yang memucat. "Jingga apa kamu sakit?" tanya Lidia. Jingga menggelengkan kepalanya.
Lidia memeriksa kening Jingga. "Kamu demam."
Lidia merasa perlu membawa Jingga ke rumah sakit. Wanita itu pun menghubungi suaminya. "Mas, tolong Jingga. Dia sedang sakit datanglah ke rumah kontrakannya sekarang!" perintah Lidia pada Fabian melalui sambungan telepon.
Apakah Fabian akan datang sesuai permintaan Lidia? Apakah dia ingat kejadian malam itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments