Bab 19

Mengapa sekarang dia suka sekali mengancam. Sebenarnya apa yang dia harapkan dariku.

"Kenapa kamu jadi begini Ya. Kamu pikir setelah semuanya, kamu bisa bersama dengan Azam? Pernikahan mereka lusa, apa kamu pikir bisa merusaknya!" tandasku.

"Urusan itu bukan urusanmu, aku hanya berharap kita berpisah dan Abi tak menyalahkan aku dan Azam," pintanya.

Aku tertawa meremehkan, " apa kamu lupa? Bahkan tadi Bang Zhafran bilang dia curiga semua gara-gara Azam! Kamu pikir bisa membodohi orang tuamu dan Mas Zhafran?" jelasku.

Hulya membuang muka, dia mungkin lupa akan kejadian tadi karena sibuk menyelamatkan dirinya.

"Sudahlah lebih baik jujur saja kalau kita ngga bisa bersama tanpa harus membuka aib kita," saranku.

"Ngga bisa mas, kamu ngga tau, aku memiliki perjanjian sama Abi bahwa akan menerima kamu, aku pikir itu mudah tapi ternyata sulit mas," jelasnya.

Hulya penuh dengan teka teki, dulu dia bilang ini demi keluargaku, lalu sekarang dia berkata bahwa dia memiliki perjanjian pada ayahnya yang aku tak tau itu apa.

Berarti semua hanya bualannya saja! Yang ada justru dia yang takut akan perpisahan ini karena pasti akan merugikannya.

"Jangan bawa-bawa orang lain dalam permasalahan kita Hulya! Aku bahkan bisa balik menyerangmu! Ingat, aku ada Sarah dan juga Farah yang bisa membungkammu!" balasku telak.

Aku tak mau lagi masuk dalam ancamannya. Kalau dia pikir selama ini aku diam karena takut akan ancamannya dia salah.

Aku hanya sedang memikirkan cara melepasnya baik-baik, dia saja yang tidak sabar dan mau memiliki segalanya. Wanita serakah! Kini aku menilai Hulya seperti itu.

"A-apa maksud kamu?" tanyanya gugup.

"Kamu tentu masih ingat tentang kelakuan cerobohmu tadi kan? Aku bisa meminta tolong mereka mengatakan pada Abi, kalau kamu berani mengancam keluargaku!" jelasku meski enggan.

Dia tertawa seperti orang gila, "baiklah-baiklah kalau kamu menolak, semoga kamu ngga menyesal nantinya!" kecamnya.

Setelah itu dia beranjak pergi ke kamar mandi, mungkin membersihkan diri bersiap untuk tidur.

Mataku terbelalak kala melihat penampilannya saat keluar dari kamar mandi. Dia menggunakan pakaian transparan yang menunjukkan kemolekan tubuhnya.

Jiwa kelelakianku sedikit berdesir tentu saja, sebab bagaimana pun aku laki-laki normal.

Sial! Aku yakin Hulya sengaja menggodaku. Tak kuhiraukan kelakuannya dan memilih bergegas memejamkan mata.

Bisa saja aku menuntut hakku padanya, toh kami masih suami istri, tapi aku bukan lelaki pecundang yang menggauli istrinya yang justru tak menginginkanku.

Setelah berpikir seperti itu, tiba-tiba kantuk menyerang dan aku bisa lelap tertidur.

Esoknya, Hulya bersikap hangat padaku. Membuat orang tuanya tersenyum bahagia.

Akting yang sangat bagus, dia bisa membuat orang tuanya bernapas lega karena mereka pikir bisa menyelamatkan rumah tangga kami.

.

.

Dua hari berselang, aku tengah menyiapkan diri untuk hadir di acara pernikahan Azam sesuai undangannya.

Kini aku kembali ke kamar kedua, berpisah lagi dengan Hulya.

Sepeninggal mertuaku, sikap Hulya kembali pada mode awal, dingin dan kaku.

Aku memilih mengenakan kemeja batik lengan panjang yang sempat kubeli kemarin. Tak ada seragaman antara aku dan Hulya, sebab aku sendiri tak tau dia akan mengenakan pakaian seperti apa.

Satu yang pasti, sejak kemarin aku melihat Hulya tampak sedih, mungkin karena semua rencananya gagal dan justru harus menerima kenyataan kalau hari ini pujaan hatinya justru menikah.

"Ya! Kamu mau hadir ngga di acaranya Azam?" pekikku setelah mengetuk pintu kamarnya beberapa kali.

Tak lama dia keluar dengan pakaian serba hitam, seperti orang yang tengah berkabung.

Mungkin itu definisi perasanannya. Untung saja pakaian kami tak terlalu timpang, karena dia memakai pakaian hitam.

Wajahnya dia poles dengan riasan yang cukup tebal. Cantik memang, meski kuakui, aku lebih suka melihatnya dalam riasan tipis yang natural.

"Pakai mobilku aja Mas!" sergahnya saat kami berjalan beriringan.

Mungkin dia malu dengan teman-temannya yang lain jika datang dengan mobil bututku.

"Mana kuncinya?" tanyaku mengabulkan keinginannya.

"Kamu yakin bisa memberi selamat sama mereka? Jangan merusuh Ya, di sana pasti ada Mas Zhafran dan Abi sebagai pemilik sekolah yang pasti di undang," kecamku.

"Aku tau! Siapa juga yang akan mengacau! Aku tau diri," elaknya, tapi dia membuang muka seolah menghindari tatapanku.

Biarlah, asal dia tak mengacau, aku bisa tenang.

Kami datang di sebuah Ballroom hotel yang cukup mewah. Meski hanya sebagai tenaga pengajar aku tak menyangka jika Azam bisa menghelat pernikahan besar seperti ini.

Saat pernikahanku dulu dengan Hulya bahkan tak semewah ini, mungkin dia memang berasal dari keluarga berada hingga bisa menyelenggarakan pesta yang cukup mewah bagiku.

Hulya menggandeng tanganku lalu mendekati meja penerimaan tamu.

Aku hanya bisa memberi mereka amplop, kulihat Hulya tak membawa apa-apa, semoga saja pemberianku tak di pandang remeh oleh mereka.

Setelahnya kami memasuki tempat resepsi. Akad nikah mungkin sudah berlangsung kemarin atau pagi tadi aku tak tau, karena di undangan hanya tertera pesta resepsi.

Mempelai pengantin sudah duduk di singgasananya. Mereka berdua tampak memukau, dengan pakaian khas pengantin.

"Kita mau mencicipi hidangan dulu atau mau menyalami mempelai?" tawarku.

Hulya masih menatap tajam pasangan yang tengah berbahagia di depan sana.

"Ya!" sentakku.

Dia menoleh lalu berkata dengan sedikit ketus, "ayo kita ke sana dulu! Berikan selamat!" jawabnya.

Dia kembali menggandeng tanganku. Kami berjalan antre di belakang rombongan yang juga ingin menaiki panggung pengantin.

Saat berada di barisan para orang tua, yang aku pikir adalah orang tua Azam, wanita paruh baya itu memandangku cukup tajam.

Tentu saja aku merasa heran, aku menyalami beliau. Namun beliau tak menjawab ucapanku, hanya menatapku saja. Membuatku salah tingkah.

Lalu tiba lah kami di hadapan kedua mempelai. Aura permusuhan kental sekali terasa, bahkan Sarah tak tersenyum menyapa kami.

"Selamat ya Pak Azam dan Mbak Sarah," ujarku memberi selamat pada keduanya.

Azam membalasku dengan senyum lebar seperti pertama kali kita bertemu.

"Terima kasih sudah datang Mas Ragil," jawabnya.

"Semoga selalu Samawa ya Pak Azam dan Mbak Sarah," ucapku mendoakan mereka.

Hulya masih diam, dia tak menjabat tangan Azam mau pun Sarah.

"Saya harap Mas Ragil bisa menjaga istrinya agar tak mengacau!" kecam Sarah padaku.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum kaku, lalu menggandeng Hulya untuk turun setelah kami menyalami orang tua Sarah.

Setelah mengambil hidangan yang di sediakan di sana, kami duduk di meja bundar yang letaknya dekat dengan panggung pengantin.

"Mas, kayaknya ibunya mas Azam liat ke sini terus!" ucap Hulya membuat pandanganku mengikutinya.

"Mungkin dia melihatmu karena kamu hendak merusak pernikahan anaknya!" tandasku asal.

"Ck! Aku bahkan ngga pernah tau orang tua Mas Azam mas! Baru kali ini aku melihat mereka!" jelas Hulya.

"Ya sudah biarkan saja. Aku mau ke toilet dulu!" ujarku lantas bangkit hendak meninggalkannya.

"Tolong jangan buat ulah!" ancamku.

"Apaan sih Mas! Aku ngga akan buat masalah, aku udah tau kalau perasaanku emang ngga bisa di paksakan!" jelasnya meski dengan berdecap sebal.

Saat aku keluar dari toilet, aku di kejutkan oleh seorang wanita paruh baya yang aku kira dia adalah ibunya Azam.

"Apa kamu anaknya Rukayah?" sambarnya membuatku terkejut, karena dia mengenal ibuku.

Terpopuler

Comments

Ratna Dadank

Ratna Dadank

cerita nya banyak teka teki...

next

2023-03-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!