Bab 2

Kuparkirkan kuda besiku pada lahan parkir yang berjarak tak jauh dari Toko percetakan milikku.

Para karyawan sudah menunggu di depan, begitu juga dengan Hendi, sahabat sekaligus mitraku.

Ya, kami membuka usaha ini bersama, meski aku yang lebih banyak mengeluarkan modal.

Namun, Hendi lah orang di balik suksesnya percetakan kami.

"Tumben telat?" tanyanya santai, meski ada terselip sedikit rasa khawatir.

"Nganter istri dulu," jelasku sambil tersenyum dan menyerahkan kunci Toko padanya, karena aku yakin dia pasti lupa membawa kunci lagi.

"Tumben," jawabnya lirih. Namun masih bisa kudengar.

Bahunya menjadi sasaran tinju sebagai balasan karena yang meledekku. Dia balas mencebikkan bibirnya.

Kupandangi ponsel yang selalu sepi, riwayat pesanku dengan Hulya bahkan sangat memprihatinkan.

Tak pernah ada pertanyaan apa pun di sana, hanya ada pesan terakhir yang mengatakan kalau aku hendak pergi ke suatu tempat kemarin dan hanya di balas ‘ya’ saja.

"Cie ... Cie, baru juga ketemu dah kangen? Telepon ajalah bro!" sindir Hendi.

Aku memiliki lima karyawan termasuk Hendi, kami selalu bergantian entah dalam makan atau pun melakukan kewajiban ibadah.

Sebagai atasan aku pun tak pernah diam, aku juga ikut turun tangan dalam mengurus percetakan.

Siang ini seperti biasa aku akan makan bersama Hendi, tak ada yang merasa di anak tiri kan sebab mereka juga tau Hendi adalah mitraku, orang kepercayaanku.

"Maaf, bukannya mau ikut campur, aku liat dari tadi kamu banyak ngelamun, ada masalah?" selanya di tengah lamunanku.

Apa terlihat seperti itu? Namun apa yang bisa kuceritakan pada Hendi? Mengatakan jika aku seorang suami yang menyedihkan?

Suami yang tak pernah di cintai istrinya? Aku tak bisa membuka aib rumah tanggaku, mungkin tidak sekarang.

"Ah enggak, biasalah," elakku.

"Rumah tanggamu baik-baik aja kan?" cecarnya lagi.

Aku mengernyit heran, mengapa Hendi bisa menebak seperti seorang cenayang?

"Apaan sih Hen! Baik lah, emang ada masalah apa, masih pengantin baru ini!" ujarku sambil terkekeh mencoba menutupi kegugupan.

"Syukurlah, kata orang tahun pertama pernikahan itu berat, karena kita baru tau watak asli pasangan kita yang sebenarnya," sambungnya datar.

"Cih! Kaya udah ngerasain aja! Makanya nikah, jadi tau gimana asyiknya," ejekku.

Dia mendengus, "makanya aku belajar banyak dulu, supaya tau apa aku udah siap apa belum buat berumah tangga. Aku ngga mau tau-tau menikah padahal belum siap segalanya," jelasnya.

Hendi sangat dewasa, dia bahkan lebih memikirkan tentang pernikahan sebelum melangkah ke arah itu. Bukan sepertiku yang tanpa persiapkan lalu melangkah tanpa ragu.

"Memang apa yang harus kamu persiapkan?" tanyaku penasaran.

"Banyaklah bro! Materi dan mental juga pastinya," jawabnya cepat.

"Tapi kayak yang kamu bilang, satu tahun pernikahan adalah awal cobaan sebuah rumah tangga, berarti percuma juga kalau nantinya kamu juga terkejut tentang sifat pasanganmu," cecarku.

"Ya enggaklah, paling enggak kalau aku udah mengenal lebih dulu, adalah sedikit aku tau sifat baik atau buruknya, ya itu kan versiku, ngga jadi acuan juga," bebernya pongah.

"Kenapa? Kamu kaget dengan sikap istrimu?" tebaknya yang lagi-lagi tepat sasaran.

Aku rasa dia cocok jadi cenayang, mungkin juga dia adalah orang yang peka, tak sepertiku.

"Apaan sih ngapa jadi nebak macem-macem kamu!" dengusku.

"Ya udah lah aku kan cuma nanya, kalau mau cerita, ceritalah, kamu tau aku kaya gimana kan?" tawarnya serius.

Selesai makan siang kami memilih bergegas kembali ke Toko. Tak ada percakapan selama perjalanan kami, bukan aku marah, hanya banyak hal yang saat ini tengah aku pikirkan.

Sukanya aku dengan Hendi, dia tak pernah memaksa dan selalu memberikanku ruang untuk sendiri, tanpa banyak tanya.

.

.

Pulang bekerja, seperti biasa, Hulya sudah berada di rumah. Ia tengah sibuk di dapur, menyiapkan makan malam kami.

Sepertinya dia tengah fokus memasak hingga tak menyadari kedatanganku.

"Assalamualaikum," sapaku membuat dia menoleh dan memegang dadanya.

Aku yakin dia terkejut karena wajahnya putihnya seketika memucat. Hanya sekejap, tak lama rona wajahnya kembali lagi.

"Maafkan mas. Mas ngga bermaksud mengejutkanmu," sesalku lalu mendekatinya.

Dia meraih tanganku dan menciumnya seperti biasa.

"Mas ih, untung aku ngga jantungan!" gerutunya.

Istriku layaknya seorang istri pada umumnya, mungkin, jika sedang berada di dalam rumah, dia memakai pakaian rumahan seperti daster dan santai lainnya.

Namun saat keluar rumah maka seluruh tubuhnya akan tertutup rapat dengan balutan hijab yang juga lebar.

"Kali ini aku masak buncis campur udang mas," jelasnya.

Aku hanya tersenyum, apa pun yang ia masak akan kuhabiskan tanpa mengeluh, meski itu bukanlah makanan favoritku.

"Maka sih Dek, mas mandi dulu ya," ujarku hendak berlalu, setelah mencium keningnya.

Saat makan malam kami melakukannya secara hening. Tak ada obrolan apa pun, istriku terlalu kaku, aku pun bingung hendak membuka obrolan.

Tiba-tiba sebuah ide terbesit dalam benakku.

"Emmm Dek, gimana kalau akhir pekan nanti kita ke rumah Abi dan Umi?" ajakku.

Biasanya seorang istri akan antusias mendengar suaminya mengajak pulang ke kediaman orang tuanya.

Namun sepertinya itu tak berlaku untuk istriku. Dia selalu menghela napas sebelum menjawab ajakkanku. Sepertinya dia enggan mendatangi kediaman orang tuanya.

"Baru minggu lalu kita ke sana mas, apa ngga papa? Atau mas mau ke rumah ayah dan ibu saja?" tawarnya mengeles.

Memang baru minggu lalu kami ke rumah abi dan uminya, tapi aku sendiri memiliki misi ingin mencari tahu siapa Azam.

Siapa tahu di rumah abi dan umi aku bisa menemukan petunjuk lain.

"Kamu enggan?" tanyaku hati-hati.

"Ah en-enggak mas, ngga papa kalau mas mau ajak Hulya pulang," jawabnya pura-pura antusias.

Kini setelah aku berpikir keras menebak segala sikapnya, aku banyak tau dia lebih sering menyembunyikan perasaannya.

Seperti saat ini, aku tau dia kecewa dengan ajakkanku, terlihat dari caranya menghela napas.

Hari-hari kulalui dengan hubungan yang semakin dingin. Mungkin aku yang baru merasakannya, padahal tak ada yang berubah dengan kebiasaan kami.

Sampai di ujung hari, akhirnya kami merealisasikan rencana untuk mengunjungi mertuaku.

Kedatangan kami di sambut dengan hangat oleh ibu mertuaku.

"Akhirnya kamu menuruti kami untuk berkunjung tiap akhir pekan Ya," sindir umi pada Hulya.

"Iya mi, maafkan kami yang ngga bisa nurutin permintaan umi terus, kapan kami punya waktu berdua kalau tiap akhir pekan kami harus ke sini?" gerutu Hulya yang justru di sahuti kekekan mertuaku.

Apa yang dia bilang? Waktu berdua? Mudah sekali ucapannya. Seingatku kami tak pernah menghabiskan waktu bersama.

"Gimana, kamu udah isi Hul?" tanya abi saat kami sampai di ruang keluarga.

Di sana abi sudah menunggu bersama dengan mas Zhafran beserta anak dan istrinya.

"Gimana kabar kamu Gil?" sapanya lantas memelukku setelah aku menyalami abi.

"Aku masih bingung loh Gil sama nama kamu, Ragil kan artinya bungsu, sedangkan kamu anak pertama," ledek kakak iparku Zahra.

Tak kuhiraukan ledekan kakak iparku itu, aku lantas menyapa balita kecil yang sedang asyik memainkan mainannya di atas karpet bersama dengan pengasuhnya.

"Halo ganteng," sapaku mengajak ponakanku berinteraksi.

"Ayo Hul, kita masak makan malam!" ajak umi pada istriku dan diikuti oleh kakak iparku.

"Kayaknya ada yang ngga sabar nih pengen nimang bayi," celetuk kakak iparku, menggoda kami lagi.

Kulihat Hulya membuang wajah, sepertinya dia tak senang dengan candaan kakak iparnya.

Terpopuler

Comments

Ratna Dadank

Ratna Dadank

baru kali ini aq baca novel yg laki² atw suami yg di posisi seperti ini..

😁😁😁

2023-03-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!