Bab 6

Aku benar-benar tak mengerti dengan sikap Hulya. Dia semakin menjadi-jadi, bukannya bertanya padaku tentang perkataanku semalam, dia justru masih diam seolah-olah akulah yang salah.

Bahkan sejak semalam, aku memilih tidur di sofa. Tak ada sapaan atau pun perbincangan kami pagi ini.

Dia seperti biasa, menghidangkan makanan. Sengaja aku tak memakan makanan yang ia masak. Dia tetap saja bungkam, ingin sekali aku meluapkan rasa amarahku tapi pada siapa?

Aku bergegas berangkat tanpa pamit padanya. Rumah tanggaku terasa tidak sehat, bahkan ada terbesit pikiran ingin memulangkannya pada orang tuanya.

Toh sepertinya dia juga lelah hidup bersamaku. Lalu segera kutepis, teringat akan janji pada orang tuaku bahwa aku tak boleh berpisah dengan Hulya.

Namun jika keadaan kami seperti ini, apa masih bisa kami menjalani rumah tangga.

"Kenapa lagi?" Hendi menghela napas jengah melihat aku yang beberapa waktu terakhir ini selalu terlihat suntuk.

Sebaiknya aku menceritakan masalahku padanya, rasanya aku sudah tak mampu menahan beban ini.

"Ayo kita ngopi di depan?" ajaknya yang dia yakin aku ingin bercerita.

Kami pamit pada para karyawan, beruntung hari ini tak terlalu banyak pesanan, hingga mereka masih bisa menghandlenya tanpa kami.

"Ceritalah Gil, siapa tau aku bisa membantu. Kalaupun tidak, mungkin saja bisa sedikit melegakan hatimu," pintanya.

Benar katanya, jika tak bisa memberi solusi mungkin aku hanya butuh pendengar dan Hendi adalah pendengar yang baik.

Lalu mengalirlah cerita tentang rumah tanggaku. Rasanya sungguh menyesakkan dada saat kuceritakan semua beban yang mengimpit dada.

Ternyata rumit sekali keadaan rumah tanggaku. Hendi hanya mendengarkan tanpa menyela sedikit pun. Hanya terlihat beberapa kali dia mengernyitkan dahi.

Setelah kuceritakan semuanya, kulihat dia menghela napas.

"Sebenarnya kalau sudah berumah tangga harus saling membuka diri dan melupakan masa lalu. Itu kalau kamu yang di posisi Hulya, aku pasti akan menasihatimu begitu, sedangkan ini kasusnya Hulya ..."

"Kenapa kamu tidak meminta solusi pada keluarga mertuamu, siapa tau mereka yang akan menasihati putrinya," jelas Hendi.

"Aku pernah mendengar dia bahkan meminta keluarganya untuk tak lagi ikut campur. Sepertinya mereka tau Hen, tapi mungkin tak banyak yang bisa mereka lakukan," jawabku lemah.

"Tadi kamu bilang jika si Azam mau menikah bukan? Mungkin Hulya merasa belum mengutarakan perasaan padanya hingga dia tak tau bagaimana tanggapan Azam."

"Tapi menilik dari Azam yang justru akan menikah bukankah berarti lelaki itu tidak memiliki perasaan pada istrimu? Aishh pusing sekali istrimu ini!" kekehnya.

"Gil, sory mungkin ini terdengar gila," tiba-tiba Hendi berkata seperti itu, membuatku menautkan alis waspada.

"Tapi ya terserah kamu, cuma saran aja," ucapnya ragu-ragu.

"Apa?" tanyaku penasaran, mungkin saja aku bisa menerima idenya.

"Biarkan istrimu mengutarakan cintanya—"

"GILA!" pekikku, sinting sekali saran dari Hendi ini tak mungkin aku membiarkan Hulya menyatakan perasaannya pada Azam, meski malam tadi aku juga sempat berkata seperti itu padanya.

"Denger dulu!" sungut Hendi.

"Istri kamu itu penasaran sama si Azam karena dia ngga tau bagaimana perasaan si Azam itu sama dia. Meskipun dia tau Azam mau menikah, apa salahnya si Hulya mengutarakan, udah pasti di tolak dan patah hati, barulah setelahnya kamu jadi penghiburnya."

"Terkesan menjengkelkan, tapi mau gimana? Setidaknya kamu bisa jadi penghiburnya," sambungnya.

Benar-benar ide yang gila, meski kuakui ada benarnya apa yang ia katakan. Namun entah apa aku sanggup merealisasikannya atau tidak.

Sepulang dari toko, aku memutuskan untuk menemui keluargaku. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke sana.

Rumah orang tuaku memang lebih jauh di bandingkan rumah mertuaku.

Namun hatiku yang sedang kalut tak ingin bertemu dengan Hulya. Sungguh aku takut hilang kesabaran menghadapi istriku.

"Loh Gil, kamu sendirian? Mana Hulya?" tanya ibu saat menyambutku.

Kucium punggung tangannya dan tak lupa memeluknya sekilas.

Terasa beban berat di pundakku sedikit berkurang setelah memeluk tubuhnya.

"Ada apa?" tanyanya sambil menangkupkan kedua tangannya di wajahku.

"Bang Ragil?!" pekik Saeba riang. Senyum terkembang di bibirnya.

Matanya berkaca-kaca, dia semakin tambah gemuk, terlihat dari kedua pipinya yang seperti bakpao.

Ah, tak terasa dia sudah besar, mengingat baru kemarin aku selalu mengantarnya ke mana-mana. Kini dia sudah milik orang lain.

"Ih abang keterlaluan! Jarang banget main ke sini! Mana Ka Hulya Bang? Kok sendirian?" cecarnya.

Kuusap kepalanya yang berbalut hijab hijau lalu tersenyum, syukurlah hidupnya bahagia.

Dulu aku sempat cemas karena Saeba memilih menikah muda dengan sepupunya Hulya —Faisal.

"Suamimu belum pulang Ba?" tanyaku setelah mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

Kini ada yang berubah di ruang tamu ibuku. Ada foto pernikahanku dan Hulya, serta foto keluarga besar kami.

Aku menghela napas saat melihat foto itu, miris sekali rasanya.

"Rumah tanggamu baik-baik aja kan Gil?" tanya Ibu setelah ikut duduk bersamaku.

Dia mengusap punggungku, mungkin sekedar menyemangati.

"Memangnya kenapa sama rumah tangga Abang?" tanya Saeba bingung.

"Biasalah, namanya rumah tangga pasti ada aja ujiannya. Kuncinya harus sabar," sela ibu.

Benarkah harus seperti itu? Apa aku harus sabar lagi menghadapi sikap Hulya?

"Penasaran aja Bu, Bang Ragil sama Ka Hulya itu kan pasangan serasi dan selalu harmonis, kaget kalau tiba-tiba ada masalah," kekeh Saeba.

"Husst kamu ini, biarkan Abangmu menenangkan dirinya, sana jangan ganggu dia. Kamu siapkan saja makanan untuk suami dan Abangmu!" perintah ibu.

"Iya Bu, Bang aku siapkan makanan favorit abang ya," ucapnya semangat, aku pun balas mengangguk.

Bahagia sekali melihat kehidupan rumah tangganya yang sepertinya baik-baik saja.

Kini hanya tinggal kami berdua, ibu lalu menggenggam tanganku.

"Bersabarlah menghadapi Hulya, kamu harus ingat keluarganya sudah banyak membantu kita," jelas Ibu yang membuatku bingung.

Belum juga aku bercerita apa-apa tapi reaksi ibu seolah mengatakan aku harus mengalah dan bersabar, tanpa mau mendengarkan keluh kesahku.

Ada apa dengan ibuku? Apa jangan-jangan dia juga tau tentang masalah rumah tanggaku, seperti orang tua Hulya?

Lalu mengapa mereka dengan kejam menyembunyikannya dariku, ada apa sebenarnya ini?

Hidangan favorit yang di masak Saeba tak mampu menggugah seleraku. Niat hati ingin menenangkan diri di sini yang ada justru aku merasa tambah kecewa.

Aku merasa sendiri, sebab merasa aku harus memaklumi apa pun sikap Hulya tanpa tau permasalahan kami.

"Kamu kenapa Bang?" tanya ayah di sela makannya.

Ibu menepuk punggung tangan ayah, membuatnya menoleh pada ibu.

Ibu hanya menggeleng sebagai balasan agar ayah tak melanjutkan pertanyaannya padaku.

Ayah menuruti ibu, setelahnya kami semua kembali makan dalam diam.

Usai makan, kami menuju ruang keluarga untuk berbincang. Di sana kulihat Saeba bergelayut manja pada suaminya.

Hubungan yang sangat harmonis di mataku, berbeda sekali dengan kondisi rumah tanggaku, padahal seharusnya akulah yang masih manis-manisnya meneguk kebahagiaan sebagai pengantin baru.

Terpopuler

Comments

Ratna Dadank

Ratna Dadank

sabar ya mas Ragil

2023-03-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!