Bab 17

"Ada apa ini Ragil?" tanya Abi Hulya tajam.

"Duduk dulu Bi, biar kami jelaskan duduk permasalahannya," pintaku lembut.

Hulya menatapku tajam, dia sepertinya berharap aku tak buka suara sekarang.

Namun bagaimana? Mertuaku sudah terlanjur curiga.

"Abi, Hulya ngga papa! Tadi ada masalah di jalan, mobil Hulya mogok makanya, Hulya acak-acakan begini," selanya gugup.

Abi Hulya memicingkan mata mendengar penjelasan putrinya.

"Mogok di mana? Biar Abi suruh orang mengambil mobilmu!" titah ayah mertuaku.

"Ya ampun Ya! Kamu bikin Umi khawatir aja! Umi pikir kalian kenapa tadi, abisnya suara kalian kencang sekali!" cerca ibu mertuaku.

Kini mereka ikut duduk bersama dengan raut wajah yang tampak melega.

Hanya aku yang masih gusar, karena tak ingin terjebak dengan permainan Hulya.

"Sudah mau Maghrib, sana mandi, nanti kita jamaah di rumah," titah ayah mertuaku.

Menuruti keinginan beliau, aku dan Hulya pun bangkit, menuju kamar masing-masing.

"Kalian pisah kamar?!" suara abi kembali memekik.

Aku dan Hulya kompak mematung lupa akan kebiasaan kami yang memang sudah pisah ranjang.

"Bersihkan diri kalian, lalu jelaskan nanti sama kami," pintanya.

Dalam kamar aku bersikap tenang, sebaiknya aku harus menyiapkan diri mengatakan yang sejujurnya pada ayah mertuaku.

Baru saja aku menyiapkan pakaian yang akan aku bawa ke kamar mandi, tiba-tiba ponselku berdering, tertera nama Hulya di sana.

"Mau apa dia? Jangan bilang dia ingin agar aku tutup mulut!"

Maaf Hulya, semakin kita berbohong maka semakin kita harus menyiapkan tumbal kebohongan-kebohongan lainnya.

Aku rasa orang tuanya harus tau permasalahan kami. Jika memang pernikahan ini menyakitkan, maka lebih baik di akhiri saja.

Kuabaikan ponsel yang menjerit ingin segera di angkat itu, aku yakin Hulya sedang cemas saat ini.

Tak peduli dengan panggilan Hulya aku melangkah membersihkan diri dan bersiap melakukan kewajibanku sebagai seorang hamba.

"Gil, panggil Hulya, ayo kita jamaah!" titah Abi setelah melihatku keluar dari kamar.

"Iya Bi," dengan langkah berat aku mendekati kamar Hulya dan mengetuk pintunya.

"Ya, sudah di tunggu Abi!" pekikku. Meski ada mertua, mau bagaimana lagi, kamar kami kedap suara, aku takut Hulya tak mendengar panggilanku.

Lima belas menit kemudian keluarlah Hulya yang sudah siap dengan mukenanya. Dia menatap sengit ke arahku, mungkin kesal karena aku mengabaikan panggilannya.

Setelah selesai, kami kembali berkumpul di ruang tamu.

"Kamu ngga masak Ya?" sergah Umi.

"Hulya baru pulang tadi Mi maaf. Hulya juga ngga tau kalau Abi sama Umi mau ke sini. Kita pesan makanan dari luar ngga papa kan Bi?" tanya Hulya takut-takut.

"Kalau kami bilang, sudah pasti kami ngga tau kalau keadaan rumah tangga kalian kacau seperti ini!" sergah Abi.

Hulya hanya menunduk tak berani menjawab ucapan abinya.

"Sudah Bi, sebaiknya kita makan dulu, biar bisa berpikir dengan tenang jika perut kenyang," sanggah Umi.

Hulya lalu memesan makanan melalui aplikasi. Aku pun melakukan yang sama, sebab dia pasti tak tau aku mau makan apa. Menawarkan saja tidak. Jangan-jangan dia justru memesan makanan favorit Azam lagi.

Suara bel pintu membuat aku dan Hulya bangkit bersamaan, sebab aku tak tau yang datang pesananku atau pesanan Hulya.

Saat Hulya membuka pintu ternyata pesanan miliknya, bergegas dia menerimanya lalu menuju ke dapur.

"Sudah aku bayar Mas, jadi Mas ngga perlu bayarin," begitu ujarnya saat aku berdiri di belakangnya.

Mertuaku pun mengikuti Hulya ke dapur, "Gil ayo makan!" ajak abi Hulya.

Aku yang tadi kembali duduk di ruang tamu lantas menjawab, "Sebentar Bi," elakku.

"Mas aku udah pesankan makanan untukmu," ucap Hulya.

Benarkah? Aku penasaran makanan apa yang dia pesan.

Saat dia membuka bungkusan makanan untukku di piring, aku tersenyum remeh, benar tebakanku kalau dia pasti memesan makanan yang bukan seleraku.

"Maaf Ya, aku ngga suka makanan itu," tolakku.

Dia terbelalak, tak menyangka penolakanku. Abi dan Uminya terlihat saling berpandangan.

"M-Maaf Mas, kamu mau makan apa? Biar Hulya pesankan," sergahnya cepat.

"Ngga perlu, aku udah memesan sendiri," tukasku.

Kedua mertuaku hanya bisa bungkam, sepertinya mereka sudah bisa menebak permasalahan rumah tangga kami.

Tak lama suara bel kembali berbunyi, aku yakin kali ini pasti makanan pesananku.

Bergegas aku membuka pintu dan benar saja makanan pesananku datang bersamaan dengan Kakak iparku dan istrinya.

"Mas Zhafran, Mbak Zahra?" sapaku lalu mendekat untuk menyalami kakak iparku.

"Loh Hulya ngga masak Gil?" tanyanya.

"Baru hari ini Mas, karena kami cukup sibuk hari ini," dustaku di akhir kalimat.

Aku tak berbohong, memang baru kali ini Hulya tak memasak untukku. Biasanya meski pun aku menolak, dia selalu saja masak, meski berakhir hanya di makan olehnya sendiri.

"Benarkah? Kamu memang suami yang baik, bahkan memilih menutupi aib istrimu sendiri," jawab Mas Zhafran yang justru membuatku mengernyit heran.

Apa maksudnya? Apa Kakak lelaki Hulya tau sesuatu tentang kejadian hari ini?

Aku tercekat, keduanya lalu masuk, mbak Zahra lantas menepuk bahuku dan tersenyum iba.

"Sabar ya Gil," ujarnya.

Untungnya makanan yang aku dan Hulya pesan cukup banyak, membuat kami tak kebingungan saat menyambut tamu tambahan.

Semuanya makan dalam diam seperti biasa, tapi kulihat Hulya seperti tak berselera makan. Sepertinya dia tau akan di sidang hari ini.

Usai makan malam, kami kembali duduk di ruang tamu seperti perintah mertuaku sore tadi.

Hanya ada Umi dan Mbak Zahra di dapur yang sedang membuat suguhan untuk teman kami mengobrol.

"Jawab yang jujur, kenapa kalian memutuskan pisah ranjang tanpa memberitahukan pada Abi?" cecar Abi Hulya.

Bang Zhafran terkesiap, lalu memandang kami dan Abi bergantian.

"Kalian pisah ranjang? Jangan bilang karena si Azam!" ucapnya tajam.

Mendengar nama Azam, Hulya yang tadi menunduk lalu menatap sang kakak, mungkin dia tak menyangka jika Mas Zhafran tau tentang dia dan lelaki itu.

Harusnya tak perlu terkejut, toh aku sudah merasa bahwa keluarga Hulya memang mengetahui perasaan Hulya pada Azam dan mereka justru membantu menutupinya.

"Apa yang kamu tau Zaf?" tanya Abi pada putra sulungnya.

Mas Zhafran menghela napas, "sebaiknya kita dengarkan dulu penjelasan mereka Bi, baru nanti aku angkat bicara," tolak Mas Zhafran.

"Ya sudah. Kalau begitu jelaskan pada kami Gil," pinta Abi saat kembali menatapku.

Hulya yang kembali menunduk lalu melirikku sekilas, seperti sebuah kode permohonan, entahlah, aku menebaknya seperti itu.

Sebelum menjawab aku menarik napas, "Sebenarnya kami memutuskan untuk berpisah secara baik-baik Bi," terangku.

Terdengar suara benda pecah dari arah dapur, aku yakin entah Umi atau Mbak Zahra terkejut dengan pernyataanku.

Terpopuler

Comments

Vi

Vi

kebon apa ini😭

2023-03-10

0

elvi yusfijar

elvi yusfijar

padahal bacanya d eja tapi koq keburi abis ya,,,,,
ya ampun thor bahagianya kamu,,, pas lagi tegang2nya kegantung gini,,,,
sok lanjut thorrr lophyu sekecamatan

2023-03-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!