Bab 11

Kuhela napas, "apa kamu ngga lelah harus terus berpura-pura?"

"Tenang aja, aku bukan minta kita untuk kembali bersama. Jika memang harus berpisah, bagaimana cara mengatakannya pada orang tua kita?" jelasku.

Dia membelalakkan matanya, aku bingung dengan reaksinya. Kupikir dia akan menunduk lalu menjawabku, itu adalah cara dia setuju denganku. Begitulah aku membaca sikap Hulya padaku selama ini.

"Kamu ingin kita berpisah mas?" tanyanya.

Aku bingung, mengapa jadi rumit sekali pikirannya. Lalu apa tujuan kami kalau pisah ranjang seperti ini jika bukan karena ujung dari segala permasalahan kami adalah perpisahan.

Aku justru bingung memikirkan alasan apa yang harus kukatakan pada orang tua kami. Jujur aku tak sanggup. Apa lagi kalau semua masalah bersumber darinya, tapi aku tak tega menyalahkan dia.

Bagaimana pun aku berharap bisa menutupi aibnya pada orang tua kami.

"Memang apa yang kamu harapkan?"

"Maafkan aku. Maaf jika mas bosan mendengar permintaan maafku, tapi ngga ada yang bisa aku lakukan mas," lirihnya.

Ada! Benar-benar ada kalau kamu mau berpikir dengan benar. Berusaha melupakan Azam dan membuka lembaran baru padaku. Ingin aku meneriakinya seperti itu.

Ingin lihat bagaimana usahanya yang justru kulihat ingin mempertahankan pernikahan hambar ini.

"Lalu apa yang kamu inginkan Hulya? Aku benar-benar bingung denganmu," cercaku.

Dia tampak gelisah, seperti ada sesuatu yang berusaha dia sembunyikan dariku.

Ada apa denganmu Hulya? Mempertahankan menyakitkan melepaskan juga tak mau.

"Jujurlah, aku harap mulai saat ini kita belajar saling terbuka. Siapa tau aku bisa membantumu!" pintaku tulus.

Dia membuang wajah lalu mendesah, "aku tau rumah tangga kita memang sudah tak sehat. Seperti yang kamu tau mas, aku juga bingung alasan apa yang akan kita katakan pada mereka jika kita berpisah."

Lalu dia menatapku, "Bisakah ... Kita hidup masing-masing, tapi tetap dalam satu atap?" pintanya yang membuatku terkesiap.

Apa maksudnya? Dia mau berpisah denganku, tapi kita tetap tinggal satu atap demi membohongi orang tua kami? Aku rasa otaknya sudah benar-benar bergeser.

"Aku tau mas tau maksudku."

"Kamu ingin membohongi orang tua kita? Sampai kapan?" ucapku tajam, kemarahan sudah sampai di ubun-ubunku ingin meledak.

Astaga Hulya, sebenarnya apa yang dia pikirkan saat ini.

"Aku ngga tau mas, aku hanya minta mas bersabar. Aku juga ngga papa kalau mas tak memberikan nafkah padaku. Toh aku juga tak bisa memberikan hak mas lagi," jelasnya.

Kupejamkan mata mendengar penjelasannya. Secara pernikahan kami masih sah suami istri, lalu dia dengan mudahnya mengatakan hak dan kewajiban yang tak perlu kami lakukan.

"Sebaiknya kita bercerai saja kalau begitu, jadi tak ada dosa yang akan kita dapatkan," jawabku.

Aku kembali sibuk membereskan barang-barangku. Melupakan apa yang Hulya katakan tadi.

Benar-benar tak menyangka jika akhirnya seperti ini. Aku memang berpikir ingin melepaskannya, tapi saat mendengar dia juga memiliki niat sepertiku rasanya begitu sakit.

Apa mungkin aku mencintainya? Tidak, aku mengelak perasaan itu, aku pikir karena Hulya menginjak harga diriku yang membuatku sakit.

"Bercerai secara Agama?" tantangnya.

Astaga Hulya, tak bisa kah dia bersabar dulu. Ini semua terlalu mengejutkan bagiku, tapi sepertinya dia memang tidak sabar. Mungkin ada sesuatu yang akan dia lakukan di kemudian hari.

Tiba-tiba terlintas pikiran burukku tentangnya.

"Jangan bilang kamu meminta cerai padaku, lalu berharap akan memaksakan kehendakmu pada Azam!" cecarku.

Kuhentikan lagi acara beres-beresnya demi mengetahui apa sebenarnya yang dia inginkan.

"Aku rasa apa pun tujuanku bukan urusanmu mas. Aku mau kita berpisah, tapi untuk sah secara negara aku harap jangan sekarang—"

"Apa bedanya? Toh kita tetap berpisah!" selaku.

Dia menghembuskan napas, lalu bangkit berdiri. Berjalan melewatiku menuju jendela kamar kami.

"Aku belum siap mengecewakan orang tuaku mas. Setidaknya berterima kasihlah sedikit pada keluargaku yang sudah banyak membantumu," jelasnya.

Lagi-lagi aku bingung dengan ucapannya. Apa maksudnya aku harus berterima kasih padanya. Seolah kehidupanku adalah hasil dari kebaikan keluarganya.

"Ngga usah muter-muter Ya, jelaskan saja apa maksudmu, jadi aku bisa menentukan langkah selanjutnya!" pintaku.

"Mungkin bukan kamu mas, tapi orang tuamu, keluargamu. Orang tuaku lah yang selama ini menyokong kehidupan keluargamu," jelasnya.

Aku membelalak mendengar penjelasannya. Apa maksudnya? Selama ini aku menghidupi orang tuaku. Bahkan saat aku masih sekolah pun aku mencari kerja paruh waktu untuk membiayai kehidupan keluargaku.

Dia lalu berbalik sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Ayahmu yang pemalas itu apa kamu yakin bisa menghidupi keluarganya dan bisa menghasilkan uang? Apa kamu pernah tanya berapa kali usaha yang di rintis oleh ayahmu itu tumbang? Dan ayahmu selalu meminta bantuan abi?" cibirnya.

Aku masih terima jika dia menghinaku, tapi tidak dengan orang tuaku. Sungguh aku tak menyangka Hulya bisa berkata kasar seperti ini.

Meski aku tak menyangkal karena sifat ayahku juga yang mungkin di cap pemalas. Namun aku rasa, ayah bukanlah seorang pemalas, mungkin karena dia tidak pernah cocok dengan tempat kerjanya saja.

Entahlah apa yang selalu ayahku harapkan di tempat kerjanya. Aku tau sedari dulu ibu yang lebih sering mencukupi kebutuhan kami dengan berjualan kue.

Akan tetapi ibu selalu memberi tahu pada kami kalau ayah di pecat dan ibu selalu menjelaskan jika perusahaan tempat ayah bekerja sedang krisis lalu dilakukan pengurangan.

Jika seperti itu, aku dan Saeba di minta untuk menghemat, bahkan tak segan ibu memintaku untuk mencari pekerjaan paruh waktu, aku tak pernah mempermasalahkannya, sebagai satu keluarga, kami semua bekerja sama, begitulah pikirku.

Lalu kemudian ayah memulai usaha lagi, seperti yang kuingat, pasti hanya sebentar setelah itu gagal entah karena apa. Namun tetap saja aku tak terima jika Hulya berkata jika ayahku pemalas, dia adalah orang luar yang tak tau tentang keluargaku!

"Jaga ucapanmu Hulya! Kenapa kau jadi kasar seperti ini? Dia adalah mertuamu! Kenapa kamu menghinanya!" jawabku murka.

Dia tersenyum sinis, "begitulah ayahmu. Kamu saja yang tidak tau bagaimana kelakuan ayahmu. Entah tak tau atau kamu memang menutup mata. Bukalah matamu yang lebar, engkau jadi bisa tau bagaimana keluargamu!" ejeknya.

Dia berlalu hendak meninggalkanku, tapi segera kucegah dengan menyekal tangannya.

"Katakan apa maksudmu! Dan apa maumu sebenarnya Hulya! Tak perlu lagi berpura-pura!" tandasku.

Dia lalu melepaskan cekalan tanganku, "aku ngga keberatan kita berpisah, tapi tolong rahasiakan dulu semuanya. Kalau sampai orang tua kita tau, bukan apa, aku hanya kasihan padamu."

"Yang pasti, kulakukan semua ini demi menyelamatkanmu. Bisa juga kamu menganggap sebagai ungkapan maaf dariku," dalihnya.

Tidak! Dia benar-benar gila! Apa dia bilang? Sebagai ungkapan maafnya?

Terpopuler

Comments

Wawan Setiawan

Wawan Setiawan

ini cerita nya yg tolol siapa s pemeran nya apa athor yg goblok yg bikin cerita nya

2025-03-12

0

Dini Mariani s

Dini Mariani s

gak nyangka hulya yg paham ilmu agama tp rendah akhlak nya

2025-01-16

0

N Wage

N Wage

ya ampun...gak menyangka orang yg sptnya taat dan banyak ilmu agama
spt hulya akhlaknya serendah itu.

2023-09-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!