Kami datang ke sebuah restoran yang kutahu itu adalah favorit Hulya.
Karena suasana hatinya yang sedang kacau, kulihat dia tak begitu antusias datang ke restoran ini.
Tak lama hujan pun turun, aku mengajak Hulya duduk di tempat yang sedikit ke belakang, sebab setelah makan malam, aku berencana bicara serius dengannya.
"Kamu ngga papa Dek?" tanyaku khawatir, sebab sejak tadi dia masih diam saja.
Ah sejak dulu pun dia tak banyak bicara padaku. Apa lagi sekarang. Memang apa yang kuharapkan.
Apa aku harus menghibur istriku yang sedang patah hati? Menyedihkan sekali rasanya.
Tak lama seseorang datang masuk ke dalam restoran ini. Dia bersama seorang wanita yang penampilannya cukup modis.
Itu Azam dan entah dengan siapa, mungkin calon istrinya.
"Bukankah itu pak Azam?" tanyaku pada Hulya.
Benar saja, saat menyebut nama Azam, istriku terlihat sangat antusias. Namun tak lama dia kembali berbalik saat tau jika lelaki pujaannya tak datang seorang diri.
Aku tersenyum miris dalam hati, kenapa dia tak merasa bersalah padaku karena terlihat sekali dia mengharapkan laki-laki lain.
Lalu apa fungsinya pernikahan kami ini Tuhan, lirihku.
"Apa kamu tak mau menyapanya Dek?" tawarku.
Dia tersenyum kaku ke arahku, "ngga usah Mas, takut ganggu," tolaknya.
Aku tau di kecewa, mungkin dia pikir Azam datang seorang diri. Aku jadi penasaran apa mereka berdua pernah datang ke restoran ini, jika benar berarti mungkin saja selera makan mereka sama.
Saat kami masih diam dengan pikiran kami masing-masing, tiba-tiba sosok Azam mendekati meja kami.
Sepertinya dia tahu keberadaan kami.
"Mas Ragil, Bu Hulya?" sapanya.
Aku bangkit berdiri untuk menyambutnya, semoga dia mengajak kami bergabung. Meski terlihat kejam, aku hanya ingin istriku membuka matanya jika lelaki yang dia puja akan menjadi milik orang lain.
"Kebetulan sekali. Boleh kami bergabung? Saya membawa calon istri saya," ucapnya semangat.
Kulihat mata Hulya berembun, sepertinya dia menahan air matanya. Aku bimbang, hendak menolak atau menerima.
Namun akan terasa aneh jika aku tak menerima permintaannya, alasannya apa?
"Boleh Pak Azam, kebetulan biar makin ramai," jawabku seadanya.
Dia lalu kembali ke meja yang ada calon istrinya itu.
Penampilan wanita itu jauh berbeda dengan Hulya, jika Hulya memakai pakaian yang benar-benar menutup auratnya dengan sempurna, justru calon istri Azam berpakaian tertutup tapi terlihat lebih modis.
Gaun panjang berwarna Moca dengan paduan hijab panjang yang di lilitkan di lehernya dengan warna senada sangat pas di tubuhnya.
Bukan aku mengagumi sosoknya, hanya mungkin seperti itulah selera Azam.
"Assalamualaikum, saya Sarah," ujar wanita itu mengenalkan dirinya.
Aku hanya mencakupkan tangan di dada sambil mengenalkan diri dan juga Hulya sebagai istriku. Kulihat Hulya pun seakan enggan membalas jabatan tangan Sarah.
Terlihat dari caranya membalas hanya dengan seujung telapaknya saja, lalu buru-buru melepaskannya.
Kulihat Hulya memperhatikan penampilan Sarah. Mungkin dia sedang menilai calon istri lelaki idamannya itu.
"Mbaknya kerja di mana?" tiba-tiba Hulya melontarkan pertanyaan pada Sarah.
Sarah tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Hulya. Terdengar sedikit ketus nada suara istriku.
"Saya kerja di perkantoran Mbak Hulya," jawab Sarah lembut.
"Oh pantas, cara berpakaiannya ..." Hulya tak melanjutkan ucapannya.
Sungguh aku tak mengerti mengapa Hulya yang aku pikir lembut bisa mencela seseorang seperti ini.
"Maksudnya?" tanya Sarah yang kulihat juga sudah agak terpancing.
"Dek!" tegurku lalu menggenggam tangannya.
Aku benar-benar terkejut dengan sikap Hulya. Apa mungkin kecemburuan membuatnya bisa berkata seperti itu?
Dia membuatku malu pada Azam dan Sarah. Hulya seperti melempar kotoran ke wajahku dengan terang-terangan, membuatku kehilangan harga diri sebagai seorang suami.
"Maafkan istri saya Mbak Sarah," selaku akhirnya.
Kulihat Sarah menghela napas, "Ngga papa Mas Ragil," jawabnya ketus.
"Tak baik menilai penampilan seseorang hanya karena belum sempurna. Saya harap Bu Hulya mengerti ucapan saya," tegur Azam membela calon istrinya.
Hulya mengepalkan tangannya, sepertinya dia tak terima di tegur oleh Azam yang justru membela calon istrinya.
Ya Tuhan, selera makanku mendadak hilang karena ketegangan ini.
Untungnya pesanan kami datang, jadi aku tak perlu mendengar ucapan-ucapan Hulya yang seolah memancing keributan.
Saat Sarah akan meletakan tumis kangkung ke dalam piring Azam, tiba-tiba di hentikan kembali oleh Hulya.
"Mas Azam ngga suka sama kangkung Mbak Sarah, dia sukanya tumis udang buncis ini," sergahnya.
Aku tersedak mendengar ucapan Hulya, ternyata makanan yang sering dia hidangkan untukku adalah makanan favorit Azam.
Hatiku tersayat, rasanya sakit sekali.
"Minum Mas Ragil," Azam latas memberikan sebotol air mineral padaku.
"Terima kasih Pak Azam," ucapku setelah berhasil melegakan tenggorokan.
"Panggil saja Azam Mas kalau di luar," pintanya.
Kami berdua lantas tertawa demi mencairkan suasana tegang yang di ciptakan oleh istriku.
"Kamu sepertinya tau sekali makan kesukaan calon suamiku!" cecar Sarah.
Aroma permusuhan jelas sekali tercipta di antara keduanya.
"Sayang, aku juga suka kangkung kok," sela Azam yang kembali menyodorkan piringnya untuk kembali di isi oleh Sarah.
"Bukan karena hendak menyenangkan orang lain lalu menyingkirkan perasaan sendiri," sindir Hulya pelan.
Namun aku yakin kami semua mendengarnya. Merasa sikap Hulya sudah semakin keterlaluan aku akhirnya mengajak dia keluar terlebih dahulu.
Hulya terkejut karena sikapku yang sedikit kasar padanya. Namun dia tak menolak, dia diam sampai kami berada di luar restoran.
"Kamu kenapa Hulya! Kenapa sikapmu jadi aneh begini!" ucapku tajam.
Dia melengos membuang muka, kentara sekali dia tak mau menjawabku.
"Kalau kamu memang menyukai Azam, utarakan perasaanmu! Jangan menyakiti seseorang yang tidak tau apa-apa dengan perasaanmu!" kecamku lalu meninggalkannya seorang diri tak menunggu jawabannya.
Tadi kulihat dia sempat tersentak, mungkin dia kaget aku tau rahasianya.
Aku memilih kembali ke meja makan dan meminta maaf pada Azam dan Sarah. Aku yakin mereka juga tadi terkejut dengan sikapku terhadap Hulya.
"Maafkan sikap Hulya ya Pak Azam dan Mbak Sarah, maklum dia sedang halangan," dustaku.
"Ke mana Bu Hulya Mas Ragil?" tanya Azam.
Kulihat Sarah mencebik kesal karena pertanyaan Azam tentang keberadaan istriku.
"Dia tadi ngga enak badan Pak, sebaiknya kami pulang duluan. Untuk permintaan maaf kami. Biar saya yang membayar makanan ini. Sekali lagi maafkan istri saya, terutama pada Mbak Sarah," ujarku merendahkan diri.
Sungguh tak menyangka jika istriku bisa berubah seperti ini. Apa karena rasa cemburu bisa membuatnya berubah menjadi kasar.
Aku keluar menuju parkiran. Setelah berdebat dengan Azam dan Sarah yang sempat menolak tawaranku. Namunaku terus memaksa mereka karena rasa bersalahku. Sungguh aku malu menghadapi keduanya.
Bisa jadi gara-gara kelakuan Hulya mereka bertengkar, semoga saja tidak.
Kulihat Hulya masih berdiam di depan mobilku yang memang terparkir di depan restoran.
Aku sengaja tak mengajaknya bicara, sejujurnya aku memang kecewa padanya.
Dia pun sama diamnya sepertiku, bahkan tak ada sedikit pun rasa bersalahnya, atau bertanya bagaimana bisa aku tau rahasianya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments