Mas Zhafran bergegas bangkit hendak melihat kondisi di dapur.
Aku hanya menoleh ke belakang, sedangkan Hulya kulihat dia juga beranjak dari duduknya.
"Kamu duduk saja Ya!" perintah Abi.
Hulya mengikuti perintah Abinya lalu kembali duduk di sebelahku.
Kulihat Mas Zhafran berjalan kembali ke arah kami dengan sebuah nampan di tangannya.
"Ngga papa, gelasnya ngga kuat panas, lalu pecah," jelas mas Zhafran sebelum ada yang bertanya.
Mbak Zahra dan Umi mengikuti dari belakang. Terlihat mbak Zahra begitu cekatan menata gelas dan piring di meja tamu.
Kini semua telah berkumpul. Abi dan Umi duduk di kursi panjang depan kami bersama dengan Bang Zhafran, sedangkan Mbak Zahra duduk di sofa tunggal.
"Kenapa kalian ingin berpisah?" tanya Abi Hulya tajam.
"Saya rasa hanya Hulya yang bisa menjawabnya Bi," tukasku.
Bukan ingin menyudutkan Hulya, tapi aku bingung alasan apa yang pas untuk menceritakan masalah kami.
Tiba-tiba berkata kalau Hulya mencintai lelaki lain? Lebih baik dia saja yang bicara dengan orang tuanya.
Hulya mendongak menatapku sekilas lalu kembali menatap Abinya.
"Ka-kami ... Merasa sudah tidak cocok Bi," jelasnya.
Hah! Tidak cocok? Alasan apa itu Hulya, mengapa dia seakan takut berbicara pada orang tuanya.
Kulihat Abi dan Mas Zhafran tersenyum remeh mendengar jawaban Hulya.
"Abi yakin kamu tau alasan Hulya Gil. Bicaralah tak apa, kami tak akan menghakimimu," pinta Abi padaku.
Kuhembuskan napas secara perlahan, sesak sekali mengatakan masalah kami pada orang tuanya. Jujur sebenarnya aku malu, karena tak bisa membuat istriku jatuh cinta padaku.
"Hulya jujur pada Ragil kalau selama ini dia tidak bisa mencintai Ragil Bi dan merasa tersiksa dengan pernikahan ini," jelasku seadanya.
Kulihat Abi menarik napas panjang, masalah perjodohan memang terlalu rumit. Ada yang ikhlas menerima lalu berakhir langgeng, ada pula yang terpaksa hingga berakhir penuh kesakitan, seperti aku dan Hulya misalnya.
"Abi tau ngga mudah untuk kalian memupuk rasa. Namun ini baru tiga bulan dan kalian menyerah?" ucapnya sedikit menyindir bagiku.
Bukan karena perasaan kami, bagaimana kalau orang yang kau harapkan bersama justru sudah terpatri nama lain? Hulya tidak ingin melupakan perasaannya, itulah yang membuat langkah kami berat.
Ujung lidahku ingin berkata seperti itu, tapi lagi-lagi aku memilih diam, mencoba mencari kata agar tak hanya memojokkan istriku.
"Harusnya kamu lebih berusaha menaklukkan hati Hulya Gil!" sela Umi datar.
"Maafkan saya Umi, mungkin memang saya yang kurang usaha. Meski saya merasa selalu berusaha menggapai hati Hulya, tapi ..." elakku.
Mengapa jadi ibu mertuaku yang menyudutkanku, padahal jelas jika dia sangat tahu bagaimana perasaan putrinya pada laki-laki lain. Dia yang dulu meminta Hulya melupakan Azam, berarti dia paham betul bagaimana perasaan Hulya padaku.
"Saya bukanlah lelaki yang di idamkan Hulya. Saya ngga menyalahkannya Umi, dari dulu bahkan saya selalu minder bisa memperistri wanita seperti Hulya ini," sambungku.
Hulya menunduk semakin dalam, entah ada sedikit rasa penyesalan atau apa, karena aku tak pernah menyudutkannya dalam pembicaraan ini.
"Jadi Hulya, benarkah yang di bilang suamimu?" sambar Abi yang kini beralih menatap Hulya.
Hulya memilin ujung hijabnya, sibuk mungkin mencari penjelasan yang tepat.
"Maafkan Hulya Abi. Kami cuma lagi berusaha membenah diri aja, banyak hal yang kami rasa tidak sejalan belakangan ini," jawabnya.
Cih, ucapannya terlalu berbelit-belit. Dia justru membuat hubungan kami makin terjerat dan tak bisa lepas, kalau menjawab seperti itu.
"Kalian masih muda, cara membenahi diri bukan justru menjauh seperti ini. Kalian justru harus saling mendekat agar bisa semakin mengenal satu sama lain. Kamu apa sudah menjatuhkan talak pada Hulya Gil?" tanya Abi setelah menasihati kami.
"Belum Bi, saya ngga mau gegabah menceraikan istri, meski kami memilih untuk pisah ranjang," jelasku.
Kulihat kedua mertua dan kakak iparku bernapas lega. Begitu berharapkah mereka pada pernikahan kami? Sejujurnya aku pun sama, tapi jika awak kapalmu memilih menceburkan diri ke laut kau bisa apa?
"Syukurlah. Abi minta setelah ini kalian menjalin komunikasi yang lebih baik lagi. Introspeksi diri, kamu juga jangan menyerah pada sikap Hulya Gil!" pinta ayah mertuaku.
Sejujurnya aku masih penasaran tentang ucapan kakak iparku, Mas Zhafran yang dia pikir semua ada hubungannya dengan Azam, ingin bertanya tapi aku bingung bagaimana mengawalinya.
Entah mengapa mertuaku juga seakan lupa dengan ucapan kakak iparku yang tadi menyebutkan nama Azam.
Mertuaku meminta kami tidur kembali bersama. Terpaksa aku menyetujuinya, karena mereka memutuskan untuk menginap.
Mas Zhafran memilih pulang setelahnya tanpa menjelaskan apa-apa pada kami. Sepertinya, melihat rumah tangga adiknya bisa di selamatkan dia memilih tak mengatakan apa pun.
Tiba di kamar, Hulya memilih duduk di tepi ranjang. Karena lelah aku memilih merebahkan diri di bawah ranjang menggunakan selimut tebal sebagai alasnya.
"Aku tetap ngga bisa kembali sama kamu Mas," ujarnya kemudian.
Aku memilih menutup mataku meski aku mendengar dia berbicara.
"Harusnya kamu bilang sama Abi, kenapa tadi diam? Kamu sendiri yang memperumitnya! Kalau kamu jujur tentu semua akan berakhir sesuai keinginanmu!" tandasku.
Dia terisak, hanya itu yang bisa dia lakukan menangis, memaki, menyalahkan dan berlaku kasar.
Tak ada yang bisa dia selesaikan, entah kenapa dia takut sekali mengambil keputusan.
Jika dia berpikir bahwa semua demi diriku, harusnya dia tak perlu melakukan hal itu, memang apa untungnya bagi dia.
"Aku bingung Mas, tolong bantu aku!" pintanya.
Kesal karena suara tangisannya, aku pun bangkit duduk di sebelahnya. Bukan bersebelahan, posisi kami masih sama dia duduk di tepi ranjang aku berada di bawahnya.
"Memang apa yang bisa kubantu? Membantu kamu menggagalkan pernikahan Azam?" cibirku.
Dia kemudian terdiam, sungguh aneh istriku ini, mau minta tolong seperti apa memangnya dia.
"Bukankah tadi harusnya kamu jujur Ya, jadi kamu ngga merasa kebingungan seperti ini!"
"Kalau aku jujur, Abi pasti pecat dia Mas. Aku ngga mau mas Azam di berhentikan secara tidak hormat seperti itu!" tandasnya.
"Lalu kamu maunya apa? Dengan kamu berharap pada Azam, udah pasti kan kamu tau risikonya. Kamu minta bantuanku apa? Udah pasti aku ngga bisa bantu kamu!" jawabku kesal.
Tiba-tiba dia meluruh turun di sebelahku. Tentu saja aku berjengit menghindarinya, karena terkejut.
Tatapannya penuh harap, aku merasa merinding lagi saat melihat Hulya seperti ini.
"Mas bisa bantu aku, aku yakin Abi tak akan menyalahkanku atau mas Azam. Meski aku tau ini ngga adil buatmu mas. Anggap aja ini balas budimu pada keluargaku, bagaimana?" ujarnya penuh harap.
"Hei! Apa maksudmu? Aku ngga mau hidup dalam kebohongan. Aku ngga akan menyalahkanmu, bukannya kamu tau sejak tadi aku bahkan ngga memojokkanmu, jangan serakah Hulya! Hadapi keluargamu sendiri!" elakku.
"Aku mohon mas," rengeknya.
Aku menghela napas kesal, "aku akan bantu kamu ngomong sama Abi dan Umi agar mereka tak memarahimu. Hanya sebatas itu, ngga lebih!" jawabku. Saat hendak membaringkan diri lagi, dia menahan tanganku.
"Aku bisa membuat Saeba jadi janda kalau kamu ngga mau membantuku mas!" ancamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Suriatik
lama kelamaan muak jg dgn sikap Ragil, ngk tegas dgn istri, terlalu banyak pertimbangan
2025-01-16
0