Hari berlalu dengan begitu cepat, hubunganku dan Hulya bahkan menjadi semakin dingin.
Sikapnya masih seperti biasa, mungkin karena aku tahu semuanya hanya topeng membuat merasa lelah dengan kepura-puraan ini.
Seperti pagi ini, sekali lagi hatiku terserang sakit yang teramat perih.
Mungkin karena gugup, atau mungkin Tuhan yang ingin aku membuka mata lebih lebar, kulihat bungkusan pil kontrasepsi yang jatuh saat Hulya buru-buru pergi pagi tadi.
Setelah kepulangan kami dari rumah orang tuanya Hulya selalu memiliki alasan saat aku mengajaknya menyambangi keluarganya.
Alasannya memang sangatlah pas, saat ini dia sibuk dengan ujian anak didiknya.
Hal yang kuingat terakhir di sana adalah, saat aku tak sengaja menguping pembicaraan ayah mertuaku dan Hulya.
Di mana dia berkata kalau sudah menuruti permintaan kedua orang tuanya untuk menikah denganku dan dia ingin orang tuanya tak lagi mencampuri urusannya yang ingin terus mengajar.
Kutatap dengan getir bungkusan pil ini, begitu tidak inginnya dia mengandung anakku hingga dia memilih meminum obat penunda kehamilan ini.
Kumasukkan pil itu dalam saku celana, setelahnya aku keluar dengan perasaan rancu.
Konsentrasiku buyar, aku sering melamun di toko. Membuat Hendi berulang kali menegurku.
"Ada masalah apa sih? Abis nikah bukannya semangat malah kulihat kau sering melamun Gil!" tegurnya padaku.
Kuhela napas, rasanya ingin mengeluarkan sesuatu yang begitu sesak menyumpal dada ini.
"Makan yuk!" ajaknya.
Kulihat jam di pergelangan tangan yang memang sudah menunjukkan waktu makan siang.
Tak ada rasa lapar, tapi karena aku memiliki penyakit magh akut terpaksa aku harus mengisinya.
Hendi mengajakku ke sebuah rumah makan yang letaknya lumayan jauh dari Toko.
Langkah kakiku terhenti kala melihat istriku sedang bersama seorang pria.
"Bukannya itu Hulya?" tanya Hendi.
Tubuhku menegang, ototku tak bisa di ajak kompromi.
Aku hanya bisa memejamkan mata merasakan sesak ini, hingga tepukan di pundak menyadarkanku.
"Jangan suudzon, ternyata ada teman-temannya yang lain," ucap Hendi memberitahu.
Aku melihat ke arah mejanya dan benar saja dua orang wanita berseragam sama seperti Hulya dan lelaki tadi ikut bergabung.
Mungkin mereka sedang makan bersama, aku tak boleh berpikiran buruk tentang Hulya.
Meski hatinya masih untuk laki-laki lain, tapi aku yakin Hulya pasti menjaga marwahnya sebagai seorang istri.
"Temui, jangan jadikan ini sebuah salah paham," ujar Hendi memberi nasehat.
Kuturuti permintaannya untuk menyapa istriku dan rekan-rekannya.
"Hulya?" panggilku.
Hulya menoleh lalu matanya membulat sempurna, tapi setelah itu dia berusaha menenangkan diri.
Dua orang rekan Hulya saling menatap, mungkin tak mengenal siapa aku, sedangkan laki-laki di hadapan Hulya masih diam terpaku.
Istriku bangkit untuk menyambutku. Namun yang kurasa dia seperti enggan memperkenalkanku pada teman-temannya.
"Mas Ragil," balasnya dengan senyum kaku.
Dia lalu kembali menatap rekan-rekannya yang ikut bangkit.
"Ini suamiku, Mas Ragil," ucapnya memperkenalkanku pada teman-temannya.
"Mas ini teman-temanku, Indah, Asri dan ... Mas Azam," ucapnya lirih pada nama terakhir yang membuatku mematung.
Pada kedua wanita tadi hanya kutangkupkan tangan di dada, sedangkan pada lelaki yang namanya sama dengan pujaan istriku kujulurkan tangan untuk menjabatnya.
Satu di antara wanita yang menjadi teman Hulya aku mengingatnya. Orang yang bertemu denganku dan Hulya di sekolah waktu itu.
Lelaki berlesung pipi ini menyambut dengan tegas, tak ada rasa canggung. Membuatku bingung menebak benarkah dia? Atau hanya perasaan Hulya padanya yang belum tersampaikan?
"Maaf ya Mas, saya ngga bisa hadir di pernikahan kalian waktu itu. Lagi ngurus perpindahan tugas," jelasnya.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kulihat Hulya menunduk di sebelahku.
"Ngga papa kan kami bergabung di sini?" ucapku tak enak.
Aku dan Hendi adalah orang luar, takut justru obrolan kami timpang dan tak menyambung. Kulihat juga Hulya seperti gelisah di dekatku.
"Ngga papa mas Ragil, kebetulan kami juga belum kenal dengan suaminya Hulya. Jadi sekarang kan kita bisa saling mengenal," jawabnya lugas.
Aku jadi berpikir mungkin lelaki yang humoris seperti inilah idaman Hulya.
Azam memang mudah bergaul, bahkan denganku dan Hendi dia bisa berbincang seperti kawan lama.
"Wah mas Azam ini humoris ya, pasti istrinya senang sekali punya suami seperti mas," ucapku sengaja memancing.
Jika dia sudah memiliki istri maka aku tidak perlu khawatir, sebab mungkin tak bisa menggapainya karena lelaki itu sudah memiliki tambatan hati.
Dan yang pasti aku akan bekerja keras lagi meluluhkan hati istriku.
"Saya belum menikah mas," jawabnya sambil tersenyum.
Mendadak tubuhku kaku, Hulya terlihat tersenyum sekilas. Ya, saat mendengar jawaban Azam tadi, Hulya lah yang pertama aku perhatikan.
"Insya Allah dalam waktu dekat ini, mohon doanya ya," ucapnya pada kami.
Lagi-lagi hanya istriku yang menjadi sasaran tatapanku.
Benar saja, wajahnya terlihat sedikit murung. Sebentar, lalu berusaha tersenyum.
Pandai sekali dia menutupi perasaannya.
"Beneran pak Azam? Yah siapa sih wanita yang berhasil menaklukkan hati Pak Azam? Bisa jadi hari patah hati nasional nanti!" keluh rekan Hulya yang lain, bercanda.
Mereka mengobrol dengan riang seperti tadi, hanya Hulya yang tampak berubah, sepertinya dia tak bisa menutupi rasa kecewanya.
Kami berpisah setelah selesai bersantap. Hendi bahkan memintaku mengantar Hulya dan dia akan kembali sendiri, tapi istriku itu menolak, dia merasa tak enak dengan rekan-rekannya karena tadi mereka datang bersama.
Mungkin hanya alasan, karena nyatanya dia ingin bersama pujaannya.
Dalam perjalanan kami pun Hendi tak berkata sepatah kata pun. Namun saat aku berhasil memarkirkan mobil, tiba-tiba dia bersuara.
"Rumah tanggamu baik-baik aja Gil?"
Aku terkesiap, mungkin kah dia juga memperhatikan Hulya? Kutelan salivaku gugup.
"Baik Hen, makasih sudah memperhatikan," jawabku dengan senyum terpaksa.
"Kulihat ... Kamu harus bisa bersikap dengan istrimu Gil, sebelum semuanya terlambat," sarannya, lalu dia turun meninggalkanku seorang diri.
Aku kembali tertegun, apa Hendi juga tau kalau Hulya menyukai rekan kerjanya? Mungkin hanya cinta sebelah tangan.
Namun justru aku merasa kasihan pada Hulya, mungkin karena perjodohan kami, dia tak pernah bisa mengutarakan perasaannya pada Azam.
Kini aku yakin Azam yang di maksud olehnya adalah Azam rekan kerjanya.
Pantas saja dia marah saat di minta untuk berhenti mengajar, kini aku tahu alasan sesungguhnya.
Bukan karena dia merasa aku dan abinya mengekang cita-citanya, tapi karena dia takut tak bisa melihat pujaan hatinya.
Pikiran buruk terbesit dalam benakku, apa mungkin mereka sering bersama? Ada kalanya kulihat tatapan Azam pada Hulya juga ada ketertarikan, tapi ku rasa mereka berusaha untuk menyembunyikannya.
Lagi pula Azam berkata jika dia akan menikah, jadi mungkin inilah jawaban Tuhan agar aku kembali berusaha bukan?
Sore harinya, kulihat Hulya tengah murung di ruang keluarga.
Mungkin dia masih memikirkan ucapan Azam tadi yang berkata jika lelaki itu akan menikah.
Dia mungkin sedang patah hati. Sesak sekali dadaku, jika benar begitu.
"Dek?" sapaku.
Dia tersentak lalu tersenyum. Senyum keterpaksaan.
"Mas, udah pulang? Maaf lagi-lagi Hulya ngga denger," sergahnya.
Dia bergegas bangkit untuk mengambilkan minum untukku. Sebagai seorang istri aku tahu bagaimana usahanya untuk berbakti padaku.
"Maaf mas, Hulya belum masak, bolehkah malam ini kita pesan makanan dari luar?" pintanya.
Aku hanya mengangguk, tahu akan perasaannya saat ini yang tengah kecewa.
"Apa mau makan di luar?" tawarku.
Lagi-lagi dia balas dengan senyum keterpaksaan. Aku tak tahan, semua harus di akhiri, sebaiknya kami harus mulai terbuka saat ini, meski menyakitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Ratna Dadank
makiinn nyeessseekkk ini...
2023-03-07
0
elvi yusfijar
koq jd ikut nyesek ya
2023-03-02
1