Kuhembuskan napas kasar, "setidaknya kamu ceritalah sama Abang, siapa tau Abang bisa membantumu?" tawarku.
Dia membuang wajahnya ke samping, menatap jendela kaca besar yang menjadi pembatas ke arah depan.
"Aku lelah dengan segala tuntutan Saeba Bang," jawabnya.
"Dia selalu menuntutku memenuhi segala kebutuhannya, Abang bayangkan saja, gajiku lima belas juta, tujuh juta kuberikan pada Saeba, tiga juta kuberikan pada ibu. Sisanya untuk bensinku sendiri dan orang tuaku! Tapi semua seakan tak pernah cukup baginya!" jelas Faisal berapi-api.
Aku terkejut tentu saja, Saeba berkata jika dia hanya di berikan dua juta saja bahkan itu pun harus berbagi dengan ibu.
Lalu sekarang Faisal berkata jika dia memberikan hampir seluruh gajinya pada Saeba.
Siapa di antara mereka yang berbohong denganku?
Bukan masalah uang yang aku berikan pada Saeba, tapi aku tak suka di bohongi seperti ini.
"Kamu yakin memberi nafkah segitu pada Saeba Sal?" tanyaku tajam.
Dia tersenyum sinis, "bukankah tadi aku udah bilang sama Abang, apa kalau aku cerita Abang akan percaya padaku? Rasanya percuma menjelaskan pada Abang, toh aku sudah menebak jalan pikiran Abang!"
Dia lalu bangkit hendak meninggalkanku. Segera aku mencegahnya. Aku belum puas mengetahui banyak hal tentang keluargaku.
"Tunggu Sal, maafkan Abang. Tak ada apa pun yang bisa kamu buktikan pada Abang tentang ucapanmu, makanya Abang sedikit ragu. Duduk lah dulu, kita bicara dari hati ke hati," pintaku.
Untungnya Faisal mau kembali duduk. "Kalau Abang mau bukti, aku punya ide," sarannya.
"Apa?"
"Abang bisa datang ke rumah besok untuk memastikan bagaimana sifat Hulya! Besok ada acara pengajian yang selalu di hadirinya. Aku yakin dia besok akan berbelanja!" jelasnya.
"Kalau hanya sekedar berbelanja, itu masih masuk akal Sal, sebab Abang baru saja memberikan dia uang," jelasku.
Dia mengernyit heran, lalu mendengus lagi. "Ya aku tak bisa memberikan bukti apa-apalagi. Kalau Abang enggak percaya aku bisa apa?"
Ya memang untuk membuktikan ucapan keduanya siapa yang benar dan salah agak sulit menurutku.
Namun aku lupa akan sesuatu yang begitu mengganjal tentang ceritanya yang lain.
"Maaf Sal, anggaplah Abang percaya padamu. Lalu kenapa kamu bisa berpikir jika Abang bukan kakak dari Saeba?" tanyaku kemudian.
"Abang menguping pembicaraan kami?" tuduhnya.
Aku tergelak sebelum menjawabnya, menyembunyikan perasaanku yang campur aduk.
"Abang ngga menguping, hanya saja saat kamu mengatakan hal itu pada keluargamu, Abang berada di belakang kalian," jelasku sedikit berdusta.
"Untuk masalah itu, aku tak tau pasti Bang," jawabnya.
"Jelaskan aja yang kamu dengar, Abang mohon," pintaku memaksa.
"Waktu itu ayah dan ibu bertengkar, lalu tanpa sengaja mereka berkata kalau udah selayaknya Abang membalas budi pada mereka yang sudah membesarkan Abang, tapi aku enggak tau kelanjutannya karena tiba-tiba Saeba memergokiku," jelasnya.
"Maafkan aku Bang, sebaiknya Abang cari tahu sendiri tentang kebenaran itu," lanjutnya iba.
Aku pun berterima kasih padanya, karena memang tak ada yang bisa ia lakukan untukku saat ini, entah mungkin nanti.
Benarkah aku bukan anak ayah dan ibu? Lalu aku anak siapa? Apa mereka mengadopsiku?
Terlintas bayangan-bayangan masa lalu kehidupanku. Di mana mereka memang membedakan aku dan Saeba.
Waktu itu aku pikir wajar, sebab aku anak laki-laki sedangkan Saeba anak perempuan.
Ayah selalu berkata bahuku harus selalu tegak sebagai anak lelaki sekaligus anak sulung.
Ayah dan Ibu selalu menasihatiku untuk selalu mengalah pada Saeba dan selalu harus bisa menjaga sekaligus menolongnya jika dia kesusahan.
Aku tak pernah berpikiran macam-macam, sebab aku merasa hal itu wajar di katakan oleh orang tua kepada anak lelakinya.
"Bang, maaf, aku harus kembali ke keluargaku," sela Faisal di tengah lamunanku.
"Ah, iya, maafkan Abang Sal. Abang harap kamu mau bersabar dengan Saeba dan bisa mendidiknya," nasihatku.
"Susah Bang, kalau ayah dan ibu selalu ikut campur. Rasa-rasanya aku ingin menyerah," lirihnya.
Aku terkejut, jangan sampai rumah tangga Saeba pun hancur seperti rumah tanggaku. Meski tak terlalu mengenal Faisal, aku berpikir dia lelaki yang baik dan bertanggung jawab.
Jangan sampai Saeba melepaskan lelaki sebaik Faisal.
Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya orang tua kami, jika tau rumah tangga anak-anaknya hancur semua.
"Jangan bicara kaya gitu Sal. Ceritalah sama Abang, siapa tau Abang bisa bantu nanti," tawarku.
"Bolehkah aku bersikap sedikit keras pada Saeba Bang?" tanyanya penuh harap.
"Dengan cara?" aku tak mau jika dia harus menggunakan kekerasan dalam mendidik Saeba.
"Tolong jangan bantu Saeba masalah uang setelah ini. Dan untuk masalah Abang, coba saja tes DNA, setelah dapat jawabannya, Abang bisa menanyakan siapa abang pada ayah dan ibu," ujarnya.
Aku hanya bisa mengangguk. Lalu berterima kasih atas saran yang dia berikan padaku.
Namun apakah aku berani melakukan tes DNA itu? Kalau benar aku buka anak mereka, lalu apa selanjutnya? Toh mereka selama ini sudah baik padaku.
Dering ponsel membuatku kembali ke dunia nyata setelah tadi sempat terhanyut dengan berbagai pikiran.
"Iya Hen?" tanyaku linglung.
"Masih lama?" tanyanya balik. Lalu aku bangkit hendak keluar menemuinya.
"Lagi jalan," tukasku lantas mematikan panggilan kami.
Di dalam mobil, kulihat Hendi tengah sibuk mengecek semua perbelanjaan kami.
"Harga-harga pada naik Gil! Astaga, bensin naik ngga seberapa imbasnya ke mana-mana yak!" keluhnya.
"Cih! Kaya emak-emak kamu Hen, protes mulu," balasku sambil tertawa.
"Dih, jelaslah, udah pasti nih semua pada ikut naik, nanti uang sewa ruko pasti juga naik dodol!" semburnya.
Tak kuhiraukan gerutuannya. Mau bagaimana lagi, kalau memang naik, ya aku juga pasti akan menaikkan harga jualnya, semoga saja para pelanggan mau mengerti, itu saja pikirku saat ini.
Setelah sampai, kusibukkan diri mengerjakan keperluan toko untuk mengalihkanku dari berbagai pikiran yang saat ini silih berganti muncul dalam benak.
Tak terasa sudah waktunya tutup toko. Rasanya malas sekali pulang ke rumah. Di samping hubunganku dengan Hulya yang terasa aneh, aku juga sedang banyak pikiran.
Hendi sempat menawariku tinggal di rumahnya, tapi aku tolak, aku malu pada mamahnya yang pasti akan menanyaiku macam-macam.
Sesampainya di rumah, ternyata bersamaan dengan datangnya mobil seseorang yang berhenti di depan rumahku.
Aku menunggu pengemudinya turun, sebab penasaran siapa gerangan yang bertamu sore hari seperti ini.
Dua pintu mobil terbuka, salah satunya ada Hulya yang turun dengan penampilan yang membuatku tercengang.
Dia sangat acak-acakan, hijab panjangnya bahkan robek, terlintas pikiran jika dia habis terkena musibah.
"Mas keluarganya perempuan ini?" sapa seorang wanita berambut panjang.
Aku mengangguk lalu mengenalkan diriku, "Aku Ragil suaminya Hulya, ada apa ya Mbak? Lalu mobil istri saya di mana?" tanyaku bertubi-tubi.
Gadis itu berwajah datar dan dingin, dia melipat kedua tangannya di dada sebelum menjelaskan masalah Hulya padaku.
"Istri mas ini membuat kerusuhan di kantor saya! Tolong nasihati dia! Benar-benar memalukan!" desisnya.
Astaga Hulya apa lagi yang kamu perbuat sekarang!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
elvi yusfijar
makin tak terkendali kayaknya si huhul ini,,,,
2023-03-09
0
Ratna Dadank
Hulya..apa lagi yg di lakukan nya..
kasihan Ragil,
aq yakin cerita nya Faisal dia tidak mengarang, keluarga nya Ragil yg selalu manfaat kan Ragil dan mertua nya...
2023-03-08
0