Beberapa hari ini kami menjalani kehidupan seperti orang asing. Layaknya dua orang yang tinggal dalam indekos, begitulah kami.
Lucunya Hulya acap kali masih memasak untukku, meski terkadang dengan tegas kutolak tawarannya.
Dia tak tersinggung, justru terlihat masa bodo. Terserah saja.
Siang ini aku di kejutkan dengan kedatangan Sarah di toko. Seingatku tinggal beberapa hari dia akan melangsungkan pernikahan dengan Azam.
Ada apa gerangan.
"Mbak Sarah?" sapaku.
Dia tersenyum sebelum membalas sapaanku. "Syukurlah aku ngga salah, Mas Ragil sedang sibuk?" tanyanya.
"Enggak Mbak, sudah lumayan senggang, ada perlu apa?" tawarku sesopan mungkin, lalu memberikan kursi untuk dia duduk.
"Bisa kita bicara di luar? Ini penting!" pintanya.
"Ada apa ya Mbak?" tanyaku sebelum menyetujui ajakannya.
Jujur perasaanku mendadak tidak enak, jangan sampai kedatangan Sarah berkaitan dengan Hulya.
"Ini tentang Hulya!" ucapnya datar.
Kuhela napas resah, baru saja aku memikirkan dia, kini sudah terbukti jika istriku pasti melakukan sesuatu yang pasti menyinggung Sarah.
"Baiklah, mau ke mana?" tanyaku.
"Di depan saja ngga papa, aku takut justru nanti mengganggu Mas Ragil," sahutnya.
Aku pamitan pada Hendi. Dia pasti penasaran siapa wanita yang tiba-tiba datang mencariku.
“Siapa?” bisiknya saat aku hendak beranjak.
“Nantilah aku jelasin. Aku pergi dulu,” segera kususul Sarah
Kami pun lantas berjalan beriringan menyeberang jalan mendekati kafe yang menjadi tujuan kami berbincang.
Semoga saja tidak terlalu serius, paling tidak aku berharap Hulya tak melakukan apa yang selama ini aku takutkan.
Setelah kami menemukan tempat duduk yang cukup jauh dari para pengunjung. Sarah segera memesan minuman begitu pun denganku.
"Apa hubungan Mas Ragil dan Bu Hulya baik-baik aja?" tanyanya membuka pembicaraan.
Apa aku harus jujur padanya? Kurasa itu sesuatu yang tak perlu dia tau. Namun aku merasa jika Sarah seperti ingin memastikan sesuatu.
"Ada apa sebenarnya Mbak Sarah?" paksaku mengalihkan pertanyaannya.
Dia mendengus lalu meletakan ponselnya di meja. Kuambil ponsel miliknya, yang menunjukkan sebuah pesan di sana.
Tertera nama Hulya dan Sarah yang saling mengirim pesan, di mana Hulya terang-terangan meminta Sarah untuk membatalkan pernikahannya.
"Ya Allah Hulya," lirihku.
Sungguh aku benar-benar malu akan sikap istriku itu. Mengapa dia sangat gegabah seperti ini. Apa dia tidak malu jika berita ini sampai terdengar di keluarganya?
"Saya bertemu dengan dia kemarin Mas Ragil, awalnya saya tidak tau apa tujuan dia ingin bertemu denganku. Dan ya, dia menyatakan perasannya terhadap suamiku, aku benar-benar ngga habis pikir dengan istri mas Ragil. Dia itu psiko apa gimana?" sindirnya.
"Aku minta maaf Mbak Sarah, atas nama Hulya."
"Bukan Mas Ragil yang harus minta maaf, saya ngga tau apa tujuannya! Kalian itu masih dalam hubungan pernikahan, mengapa dia dengan tak tau malunya menyatakan cinta pada lelaki lain! Apa dia ngga punya harga diri!" pekiknya kesal.
Aku sungguh paham maksud ucapannya. Sarah mengatakan hal itu dengan berapi-api yang aku yakin dia memendam amarah yang cukup besar saat ini.
"Maaf Mas, bukan maksud aku mengadukan sikap istri mas, terserah mas Ragil mau percaya apa engga—"
Segera kupotong ucapannya. Mungkin dia bermaksud mengadu padaku, tapi ada sedikit rasa waswas takut aku tak percaya.
"Saya tau Mbak. Bahkan saya yang menemani Hulya menyatakan perasaannya pada Pak Azam," jelasku.
Dia mengernyit heran, mungkin dia juga sama seperti yang lain menganggapku dungu atau sejenisnya.
"Anda benar-benar sehat kan pak?" cibirnya.
"Bagaimana mungkin seorang suami membiarkan istrinya menyatakan cinta pada lelaki lain!"
Kekesalan tak terelakkan dari nada suaranya. Aku tau aku juga ikut andil dalam kemarahannya.
"Saya punya tujuan tersendiri melakukan hal itu Mbak Sarah. Saya pun sama terlukanya dengan Mbak Sarah, mungkin jauh lebih terluka. Jika Mbak Sarah masih bisa tenang karena Anda dan pak Azam saling mencintai sedangkan saya?"
Bukan bermaksud membela diri. Tiba-tiba aku merasa harus meluruskan sesuatu padanya, jangan sampai Sarah juga ikut-ikutan merendahkanku.
"Lalu apa tujuan Mas Ragil berhasil. Istri mas berencana menghancurkan pernikahan saya! Saya ngga terima Mas Azam," jawabnya kesal.
"Saya pikir Mas Azam ngga tau kelakuan istrinya. Ternyata perkiraan saya salah. Justru Mas lah yang menjerumuskan istri mas pada kehidupan orang lain!" sarkasnya.
Apa seperti itu pikiran orang tentang sikapku kemarin? Aku tak menyangka akan serumit ini.
"Maafkan saya Mbak Sarah. Tapi hubungan kalian masih baik-baik aja kan?"
Semoga saja mereka mampu melewati cobaan ini. Jangan sampai dua insan yang ingin bersatu menjadi berantakan karena ulah Hulya.
"Mas Azam juga mengatakan jika dia muak pada Hulya, tapi tentu aja aku khawatir mas Ragil. Kucing di sodorin ikan, siapa yang ngga tergiur. Apa lagi mereka selalu bersama. Aku takut kalau suatu saat nanti Mas Azam goyah dan terbujuk rayuan Hulya," jelasnya lemah.
Aku paham akan ketakutannya. Dulu pun aku berpikir seperti itu. Namun apa yang bisa kulakukan, meminta Hulya berhenti mengajar? Bahkan abinya sendiri saja di lawannya, apa lagi aku yang jelas-jelas tak disukainya.
"Mungkin Mbak Sarah bisa meminta Pak Azam pindah tempat mengajar? Jujur jika urusan Hulya saya ngga bisa, karena sekolah itu juga milik orang tuanya," jelasku.
Dia menghela napas, "aku pernah bilang begitu Mas, tapi justru Mas Azam yang menolak. Dia merasa yakin tak akan terjerumus oleh sikap Hulya. Karena hanya di sekolah itulah Mas Azam di bayar dengan layak, begitu alasannya," jawab Sarah sendu.
Jika sudah seperti itu, lalu apa yang bisa kami lakukan? Aku sendiri sudah pasrah dan sudah mengambil keputusan berpisah dengan Hulya.
Untuk urusan Sarah dan Azam, sudah jelas bukan urusanku.
"Apa yang bisa menghentikan tingkah gilanya mas Ragil? Aku yakin ada yang ngga beres dengan Hulya. Aku merasa dia terobsesi dengan mas Azam," terangnya.
Aku bahkan baru menyadari sikap Hulya dari perbincangan kami. Sungguh aku tak pernah berpikiran sampai ke sana.
Namun jika kejadiannya seperti ini benar kata Sarah, kalau Hulya sepertinya terobsesi pada Azam.
"Sebaiknya aku mengatakan pada orang tuanya," kecamnya kemudian.
Aku terkejut, tak menyalahkan niatnya, hanya saja semua akan berakhir buruk jika Sarah tiba-tiba memberitahu Mas Zhafran dan Abinya Hulya.
"Tunggu Mbak! Maaf, bukannya tak setuju dengan rencana mbak Sarah. Aku harap kita bersikap tenang, jangan sampai ini menjadi bumerang buat kita sendiri," selaku.
"Maksudnya? aku tadinya berpikir bisa mengadukan sikap Hulya pada suaminya. Nyatanya Mas Ragil lah yang memulai semuanya. Anda saja mas Ragil tak menuruti keinginan gila istrinya, tentu ngga akan seperti ini akhirnya!"
Setelah di salahkan Hulya, kini giliran aku di salahkan oleh Sarah. Posisiku benar-benar sulit saat ini, bisa di bilang aku tak bisa membela diri.
"Jadi jalan satu-satunya untuk menghentikan tingkah gila Hulya mungkin adalah dengan mengadukan pada orang tuanya!" ucapnya yakin.
"Lalu membuat Azam di pecat?" balasku.
Dia terkesiap, lalu membuang muka, sepertinya dia tak memikirkan hingga ke sana.
Sarah lupa kalau Azam sangat senang mengajar di sekolah milik mertuaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Vi
makasih kk, jangan hilaf ka, tarik napas ya, masih panjang ini ceritanya🤭
2023-03-06
0
elvi yusfijar
makin ke sini makin penasaran thor,,,
emang si huhul ini ya bikin org pengen khilaf aja
2023-03-06
1