Aku iri tentu saja, harapan ingin meneguk kebahagiaan setelah berumah tangga terasa sirna.
"Ada apa Bang?" tanya ayah. Seketika aku menoleh padanya. Wajah tuanya terlihat khawatir.
Kembali ibu menyela dengan meletakan minuman ke meja di hadapan kami.
"Kamu ngga pulang Gil? Takutnya Hulya cemas menunggumu, apa kamu memberitahunya kalau akan ke sini?" cecar ibu.
Belum juga aku menjawab pertanyaan ayah, lagi-lagi aku harus mengalah dan menuruti permintaan ibu.
"Ragil cuma mampir sebentar karena rindu kalian. Baiklah, sebaiknya Ragil pamit pulang ya Bu, Yah," ujarku lemah.
Ayah hanya mengangguk lalu memelukku sekilas, tak lagi bertanya.
Aku memilih pergi, dari sikap ibu sepertinya dia tak ingin mendengarkan keluh kesahku.
Saat sedang menenangkan hati di dalam mobil sebelum melajukan kendaraan, ketukan di kaca jendela mobil membuatku menoleh.
Ada apa ibu menyusulku?
Aku lalu membuka jendela karena ibu berada tepat di depan pintu mobilku.
"Maafkan Ibu Bang, bukan maksud Ibu enggan mendengarkan ceritamu, tapi keadaan ayahmu sedang tak cukup baik, ibu takut kalau ceritamu hanya akan membebani pikirannya, dan membuat kondisinya kembali menurun."
"Ibu harap apa pun masalahmu dengan Hulya, bisa kalian selesaikan dengan kepala dingin. Ingat pesan Ibu, bersabarlah Bang. Di sini Ibu akan mendoakan semoga rumah tanggamu selalu baik-baik saja," jelas Ibu.
Aku hanya bisa tersenyum, sekarang aku tau alasan ibu selalu menyelaku tadi, ternyata kondisi ayah yang sedang tidak sehat.
Meski kulihat sepertinya ayah baik-baik saja. Kuenyahkan pikiran itu, tak mungkin ibu membohongiku mengenai kondisi ayah.
Rasa bersalah menyelimuti hatiku. Sempat berpikiran buruk jika ibu seperti tak mau tau tentang masalahku, ternyata salah.
"Maafkan Ragil ya Bu," ucapku sendu tak bisa memeluknya karena sepertinya ibu tak mau bergeser dari depan pintu mobil, jadilah aku hanya bisa menunduk.
Ibu mengusap rambut hingga ke punggung, aku melihatnya lalu balas tersenyum, setelahnya aku memilih pamit undur diri.
Jika kupikir perasaanku akan melega, ternyata salah. Hatiku masih kacau, berbagai pikiran hinggap di benakku. Salah satunya, apa yang harus aku lakukan setelah sampai di rumah nanti.
Bersikap diam seperti pagi tadi atau kembali berbicara serius dengan Hulya?
Berhenti di depan rumah, kusiapkan diri dalam menghadapi istriku. Lucu. Kenapa aku berpikir seperti siap berperang melawan musuh, padahal di dalam sana adalah istriku sendiri.
Setelah membuka pintu dan mengucap salam, kali ini salamku di balas dengan cepat.
Namun sayang, balasan itu juga di sertai dengan isakan Hulya.
Dia menatapku dengan mata sembab, setelahnya dia usap secara kasar dan bangkit mendekatiku.
"Dari mana Mas?" tanyanya dengan nada sesenggukan.
"Kamu kenapa?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
Dia menunduk, lalu aku melirik meja. Ada sebuah kartu undangan di sana.
Meninggalkan Hulya, bergegas aku mengambil kertas itu.
Nama mempelailah yang menjadi tujuanku mencari tahu. Ternyata Azam benar-benar akan menikah dengan Sarah.
Apa undangan ini yang membuat Hulya menangis? Tidakkah dia malu padaku? Menangisi lelaki lain setelah memiliki suami?
Harga diriku terluka lagi.
"Apa karena ini kamu menangis?" ucapku sambil tersenyum mencibir.
Dia menengadah menatapku, sorot mata yang tadinya sendu, tiba-tiba berubah, sepertinya dia kesal.
"Kamu sudah tau Mas! Tak perlu memperjelasnya!" balasnya tajam.
Oh, mungkin dia malu atau apa? Rumit sekali pikiranmu Hulya.
"Lalu aku harus apa? Menghiburmu yang sedang patah hati?!" ucapku tak kalah tajam.
Aku sungguh muak, ternyata sifat aslinya seperti ini, aku sungguh terkejut tak percaya.
Hulya yang dulu selalu berkata lembut sudah tak ada, dia yang kini di hadapanku seperti orang lain, bahkan teramat asing bagiku.
Tanpa menjawab, dia ambruk di lantai, lalu kembali menangis, bahkan kini tangisannya sangat menyayat hati.
Layaknya seorang yang patah hati, seperti itulah istriku. Aku diam mematung tak tau apa yang harus kulakukan.
Memintanya diam? Memukulnya? Aku tak pernah di ajarkan berlaku kasar pada wanita. Bahkan meninggikan suaraku pun tak pernah kulakukan.
Kuusap wajahku frustrasi. Kini bahkan Hulya memukul-mukul dadanya. Mungkin dia ingin menghilangkan rasa sesak di dadanya karena rasa kecewa yang tak terkira.
Entah di mana pikirannya, memang apa yang dia harapkan? Suatu saat akan bisa bersama dengan Azam, begitu? Lalu mau di ke manakan diriku!
"Sudahlah, kalau memang kamu mencintai dia, utarakan perasanmu! Tapi kamu harus siap terluka, sebab tanpa bicara dengannya harusnya kamu sudah tau jawabannya," selaku akhirnya.
Saran dari Hendi lah yang akhirnya menjadi pilihan terakhirku.
Biarlah orang menganggapku lelaki bodoh! Karena memang tak ada yang bisa aku lakukan, memaksakan perasaannya padaku juga tak mungkin.
Mulut bisa berdusta tapi tidak dengan hati. Mungkin setelah ini dia akan sadar bahwa mereka tak mungkin bersama.
Jangan tanya bagaimana perasaanku. Bayangkan saja, saat aku sendiri tengah berlatih mencintainya, hatiku sudah di patahkan berulang kali.
Hulya bangkit berdiri dan menatapku, "maafkan aku, tapi rasa ini ..." lirihnya.
"Kamu hanya perlu memberitahunya. Aku hanya minta tetap jaga marwahmu sebagai seorang istri dan seorang wanita. Aku akan menemanimu, tak akan kubiarkan kamu bertemu dengannya sendiri," pintaku
Dia menatap tak percaya, mungkin dalam hati dia berpikir apa aku bodoh atau gila? Membiarkan istrinya mengutarakan cinta pada lelaki lain?
Biarlah dia dengan pikirannya sendiri, setidaknya inilah caraku membahagiakannya.
Aku berharap setelah ini, dia mau membuka hatinya untukku.
Hulya lalu memelukku erat, lagi-lagi tangisnya pecah di dadaku.
Aku balas memeluknya, meski hatiku sendiri remuk tak karuan karena ulahnya.
Kuusap bahunya agar dia tenang, sebisa mungkin kutahan air mata ini.
Melihat istri yang menangisi lelaki lain, membuatku seperti seorang pecundang.
"Terima kasih mas, maafkan aku. Aku tau ini menyakitimu, tapi ... Aku sungguh-sungguh minta maaf," potongnya.
"Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat. Kabari Azam besok untuk bertemu," pintaku datar.
Dia tersenyum lalu mengangguk semangat.
Ah, pikiran buruk terlintas dalam benakku. Melihat betapa bahagianya dia tadi, aku berpikir apa Hulya memiliki rencana lain?
Mungkin dia pikir bisa menghentikan pernikahan Azam, misalnya. Entahlah, pusing aku memikirkan apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Seperti kemarin, aku memilih tidur di ruang tamu meski tidak nyaman. Namun mau bagaimana lagi, aku ingin menghindari kontak fisik dengannya setelah tau dia tak nyaman jika bersamaku.
Saat aku keluar dari kamar mandi dan mengambil bantal seperti kemarin Hulya menghentikan langkahku.
"Apa kamu ngga mau tidur bersamaku Mas?" tanyanya.
Kutatap sorot matanya, aku bingung dengan dia, kadang-kadang seperti dia selalu ingin mempermainkanku.
"Kenapa?" tanyanya bingung saat aku tak segera menjawabnya.
"Tak perlu menyenangkan orang lain dan menyingkirkan perasaanmu sendiri Hulya," sindirku dengan kata-katanya kemarin.
Matanya membola, lalu dia menunduk. "Kamu marah sama aku mas?" tanyanya masih menunduk.
"Enggak. Buat apa? Aku hanya tak mau menyiksamu. Bukankah kamu tersiksa berada di dekatku?” jelasku.
Mendengar jawabanku, dia lalu mendongak, matanya kembali berkaca-kaca.
"Maaf Mas, bukan maksud aku menyakitimu. Sungguh —" dia tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Sudahlah Hulya, aku ngga papa. Sebaiknya kita menangkan diri sendiri dulu," jawabku.
Lalu aku keluar tanpa berniat kembali menenangkannya.
Kurebahkan tubuh dengan berbagai pikiran berkecamuk.
Lengan kuletakan di atas dahi. Lelah hati tak sebesar lelah fisik. Aku ingin menyerah, tapi tak mungkin, tak tega meninggalkannya seorang diri.
Apa alasanku? Karena dia mencintai lelaki lain? Toh mereka pasti memintaku bertahan lagi, sebab tau jika lelaki yang di cintai Hulya tak membalas perasaan istriku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments