Bab 9

Azam mengernyit heran dengan penjelasanku, lalu dia menatap Hulya yang menunduk.

"Bu Hulya ada perlu denganku? Mengapa tidak mengatakan langsung saja?" tanyanya bingung.

"Sebab harus denganku pak Azam," selaku.

Guratan di dahinya semakin jelas, kurasa dia benar-benar bingung.

"Ada apa Bu Hulya?" tanyanya lembut.

Aku memilih diam memperhatikan interaksi keduanya. Setelah ini tak tau seberapa hancur hatimu Hulya. Namun kamu sendiri yang mencari penyakit, jadi nikmati saja, kecamku.

Hulya lalu menoleh padaku, aku hanya membuang muka, enggan.

Apa peduliku? Setidaknya aku sudah datang seperti pecundang di sini, jadi jangan berharap apa pun lagi padaku, gerutuku dalam hati.

"Mas Azam ..." lirih Hulya, kulihat dia menarik napas dalam, lalu membuangnya secara perlahan.

"Sejak dulu aku menyukai Mas Azam, aku ... Mencintai mas Azam," ucapnya mantap tak ada keraguan.

Azam terkesiap, matanya membulat sempurna, untung saja dia tidak melongo.

Saat Hulya mengatakan hal itu hatiku terisis ribuan pisau, sakit sekali. Aku merasa di khianati, merasa di tipu, merasa di rendahkan olehnya.

Azam tak menjawab, dia justru menatapku iba. Aku tau pasti dia akan melakukan hal itu padaku. Menyedihkan sekali bukan? Dia pasti tak menyangka bahwa aku sama sekali seperti tak memiliki harga diri di hadapan Hulya.

"Anda jangan bercanda Bu Hulya! Di sebelah Anda ada suami Anda, dengan tega Anda menyatakan perasaan Anda pada saya?" cecar Azam yang justru terlihat murka.

Hulya menangis, bahkan tak sedikit pun hatiku tergerak untuk menghiburnya.

"Anda seorang wanita dan juga seorang pengajar, beginikah kelakuan Anda!" sambung Azam berapi-api.

Hulya mengusap air matanya, dengan terisak dia menjawab ucapan Azam yang justru mengoloknya.

"Apa saya salah jika mencintai Anda Pak Azam? Saya memendamnya sudah lama, saat kita sekolah bersama, apa saya salah jika perasaan ini tak bisa hilang meski saya sudah menikah! Jawab saya! Apa salah saya!" pekiknya tak terima di salahkan.

Beberapa pasang mata menatap ke arah kami, lagi-lagi aku membuang muka tak peduli.

Astaga, seumur-umur aku tak pernah memperebutkan wanita. Sekarang seolah aku dan Azam tengah merebutkan Hulya.

"Tenangkan diri Anda Bu Hulya. Aku rasa Anda sudah tau jawaban saya. Tentu saja salah. Anda sudah menikah, harusnya mengubur perasaan Anda dalam-dalam—"

"Aku juga ingin melupakan kamu mas Azam! Ingin, ingin sekali! Tapi tak bisa!" isakannya makin kencang.

"Bisa kah kamu memelankan suaramu Hulya! Ini memalukan!" selaku akhirnya karena melihat beberapa pasang mata seolah mencibir kami.

Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisannya semakin kencang, tapi tak ada satu pun dari aku atau pun Azam berusaha menenangkannya.

Jika Azam mungkin terlihat tak peduli, berbeda denganku. Harusnya itu adalah tugasku. Namun aku sendiri tengah menahan rasa sakit akibat perbuatannya.

"Terima kasih atas perasaan Anda Bu Hulya. Seperti yang Bu Hulya tau, aku akan menikah. Setelah ini saya harap ibu bisa menghargai mas Ragil. Dia pria yang baik, jangan perlakukan dia seperti ini, jangan sampai Anda menyesal di kemudian hari," sarannya lalu bangkit berdiri.

Aku pun ikut bangkit demi menghormatinya. Namun saat Azam hendak pergi, Hulya mendongakkan wajahnya. Menatap Azam penuh harap.

Wajahnya sudah memerah. Mungkin dia menahan marah dan malu, entah kalau dia masih punya malu.

"Apa benar-benar tak ada sedikit pun rasa untukku mas Azam?" ibanya benar-benar membuatku malu.

Dia kah Hulya? Wanita yang kuanggap Soleha berani merajuk mengemis cinta pada lelaki yang haram untuknya.

"Tak ada Bu Hulya. Dari dulu saya menganggap Anda seorang adik tak lebih dari itu. Yang saya cintai hanya Sarah," jelasnya.

Kalau aku jadi Hulya, aku akan sangat malu. Dia benar-benar di tolak mentah-mentah oleh Azam.

Tapi sayang, aku tak tau apa yang di pikirkan Hulya, dia justru bangkit berdiri dan memeluk Azam di depan mataku.

Astaga permintaanku padanya untuk menjaga batasannya benar-benar di langgar, aku tak habis pikir ke mana otak dan perasaannya.

"Bohong! Aku tau kamu bohong mas, aku tau kamu juga mencintaiku, jangan menyiksa diriku mas, tolong!" pintanya paksa.

Kulihat Azam berusaha melepaskan pelukannya, tenaga Hulya tentu saja kalah dengan Azam.

Azam berhasil melepaskan pelukan Hulya hingga istriku jatuh di lantai.

"MAS!!" pekik Hulya terkejut.

Pelayan mendekati kami karena mendengar keributan kami.

Azam hanya meminta maaf pada mereka lalu meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.

Tinggal aku dan Hulya yang masih menangis sambil terduduk di lantai.

Aku bergeming, apa yang harus kulakukan. Setelah menarik napas dan menenangkan diri, akhirnya aku menghampiri Hulya.

Tingkahnya membuat kami menjadi bahan tontonan, sangat-sangat memalukan.

"Maafkan kami ya Mas," ucapku pada pelayan yang juga tampak kesal.

"Tolong pergi ya mas, maaf, kalian mengganggu pengunjung lain," usirnya.

Aku pastikan tak akan ke kafe ini lagi, bukan karena kesal dengan pelayannya, tapi karena kejadian buruk ini akan selalu menghantuiku.

"Bangunlah, sampai kapan kamu akan menangis seperti ini? Harusnya kamu sudah menyiapkan diri dengan kemungkinan ini? Jangan lupa aku sudah memperingatkanmu tadi, tapi sepertinya kamu terlalu percaya diri," ucapku datar.

Aku lantas menarik tangannya agar segera bangkit, dia tak menolak. Kami berjalan keluar kafe dengan iringan bisik-bisik para pengunjung.

Sesampainya di depan mobilnya, aku meminta kunci mobilnya. Jelas aku harus mengantarnya, tak mungkin kubiarkan dia mengemudi dalam keadaan kacau begini.

"Mana kuncinya?" pintaku menengadahkan tangan. Inilah kali pertama aku menaiki mobil mewah istriku. Selama ini aku tak pernah meminjam mobilnya.

Dalam keadaan genting pun aku lebih memilih menggunakan ojek.

Harum, rapi dan bersih itulah penilaianku pada keadaan mobil Hulya.

Setelah dia masuk di kursi penumpang aku menghubungi Hendi untuk membawa mobilku.

Aku harus menunggu sahabatku datang untuk memberikan kunci mobilku padanya.

Di dalam mobil Hulya masih menangis dan aku tak ingin menghiburnya seperti saran Hendi.

Enak saja, jika dia hanya mengungkapkan rasa pada Azam, mungkin aku masih terima, tapi apa? Dia mengemis dan memaksa Azam menerima perasaannya, bukankah itu gila namanya!

Tak lama Hendi datang, saat kulihat dia, aku kembali keluar dari mobil Hulya dan mendekati sahabatku.

"Gimana?" tanyanya penasaran.

"Aku harus pulang, ngga mungkin aku biarkan dia menyetir sendirian. Sepertinya aku ngga balik lagi," elakku.

“Sudah kuduga,” ucapnya sambil lalu.

Hendi yang tau akan suasana hatiku hanya mengangguk tanpa melanjutkan lagi tanyanya.

Saat kembali ke dalam mobil, kurasa Hulya sudah sedikit tenang, terlihat dari wajahnya yang sudah tak dia tutupi.

Hanya tisu yang masih dia pegang untuk mengelap cairan hidungnya.

"Semua salahmu!" ucapnya tiba-tiba.

Aku menoleh, benar bukan firasatku jika dia menyalahkanku.

Aku hanya bisa tersenyum getir. Apa harus di lanjutkan di sini atau aku harus menahan gejolak amarahku dan meluapkannya nanti saat kami tiba di rumah.

Terpopuler

Comments

Wawan Setiawan

Wawan Setiawan

cerita d nopel ini lelaki sebagai suami kaya banci kg jelas .

2025-03-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!