Dulu, kamar Hulya aku anggap biasa. Namun kini, karena rasa penasaran aku menjelajah seisi kamar mencari suatu petunjuk tentang siapa itu Azam.
Aku tau ini tak sopan, tapi bagaimana lagi, hatiku berkecamuk tentang sosok laki-laki pemilik semua hati istriku.
Terbesit pikiran, setelah tau siapa dia, lalu apa yang akan aku lakukan selanjutnya?
Aku gamang, setidaknya aku harus tau terlebih dulu lelaki itu, baru melangkah merencanakan yang lain.
Lemari besar milik Hulya menjadi tujuan utamaku. Seingatku ada sebuah laci kecil di dalamnya.
Setelah kubuka tak ada apa pun di sana, hanya beberapa buku mata pelajaran yang sengaja dia tinggalkan.
Aku lalu beralih pada meja belajar istriku. Banyak laci di sana, satu persatu kubuka dan melihat berbagai buku yang tersusun rapi di dalamnya.
Namun tak ada petunjuk apa pun, kepalaku yang sejak tadi kuforsir untuk bekerja keras akhirnya menyerah.
Pening rasanya dengan rasa penasaran yang menyesakkan ini.
Aku memilih melihat ke jendela. Pemandangan di depan kamar Hulya adalah taman. Bentuk jendela kamar Hulya juga merangkap sebagai pintu dengan kaca besar.
Kugeser pintu untuk mendatangi taman. Sayup-sayup aku mendengar perbincangan para wanita di dapur.
Taman ini juga dekat dapur di ujungnya, penasaran aku mendekati mereka.
Pembicaraan mereka bukanlah candaan tapi seperti obrolan serius, bahkan tadi sempat aku mendengar nama Azam di sebut.
"Jaga tingkahmu Hulya! Bagaimana pun Ragil adalah suamimu, jangan sampai dia terluka," kecam umi.
Kenapa Umi memperingati Hulya, apa mereka semua tau perasaan istriku?
"Aku juga ingin bisa mencintai mas Ragil Mi, sungguh, tapi ngga bisa," ujawab Hulya lirih.
Hatiku seketika membeku, sakit sekali, meski belum ada cinta tapi ternyata mengetahui kenyataan istri yang kita nikahi tak pernah mencintai kita rasanya sesak sekali.
Kakiku diam terpaku, bodoh, kenapa aku tak bisa bergerak, oh ayolah jangan diam seperti orang idiot di sini Gil, batinku.
"Bagaimana kamu bisa mencintai suamimu kalau kamu masih bertemu dengannya!" sentak umi.
Suara gemuruh seakan memekakkan telingaku. Apa benar yang kudengar tadi? Jika istriku masih bertemu dengannya?
Benarkah lelaki yang di sebutkan teman sesama pengajar di sekolah istriku adalah orang yang sama?
"Kamu lagi apa Gil?" tegur kakak iparku membuat tubuhku yang tadi kaku mendadak bisa bergerak.
"Ah ngga Mas, kangen lihat ikan-ikan ini," dustaku.
Tak lama kedua netraku bersitatap dengan Hulya yang berada di dapur. Wajahnya pias, mungkin dia takut jika aku mendengar pembicaraan mereka.
Dia buru-buru mendekat, kulihat tangannya saling memilin, kegugupan jelas terlihat dari tingkahnya.
"Mas udah lama di sini?" tanyanya lembut.
Kuakui Hulya pandai mengatur mimik wajahnya. Sepersekian detik dia sudah bersikap tenang.
"Ah baru aja ya Mas," elakku sambil menatap mas Zhafran.
Mas Zhafran sempat mengernyit, tapi setelah itu mengangguk setuju denganku.
Maafkan aku mas, bukan maksud melibatkanmu dalam kebohonganku.
Akhirnya aku memilih berbincang kembali dengan mas Zhafran, sedangkan Hulya kembali ke dapur.
Saat waktunya makan malam, kami semua makan dalam diam. Hening, hanya suara sendok dan piring saling beradu.
Usai makan, kami pasti di minta abi untuk berbincang di ruang keluarga.
Rumah mertuaku sangat luas, berbeda sekali dengan rumah orang tuaku.
Terkadang ada rasa minder dalam diri keluargaku berbesan dengan mertuaku ini.
"Gimana usaha kamu Gil? Lancar?" ujar Abi.
"Alhamdulillah Bi," jawabku.
Mau jawab apa lagi kalau bukan kalimat syukur kan?
"Syukurlah, kapan kamu akan ajak Hulya bulan madu? Kalian harus sering mendekatkan diri, agar kami cepat menimang cucu dari Hulya," pinta abi membuatku malu.
Jujur saja selama tiga bulan pernikahan, aku baru beberapa kali menyentuh istriku, bahkan sepuluh jari pun tak ada.
Bukan tak berhasrat atau Hulya menolak, tapi hubungan kami memang terasa hambar, seperti ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya.
Kini aku tau penyebabnya, yaitu karena keterpaksaan.
Membayangkan Hulya tersiksa saat memberikan hakku, membuatku resah.
Atau mungkin dia membayangkan Azam saat aku mencumbunya?
Gegas kuhilangkan pikiran yang menyesakkan dada itu. Namun mendengar sendiri dia mengatakan kalau dia tak bisa mencintaiku membuatku sadar, mengapa dia tak pernah bermanja-manja denganku, karena dia takut jika nantinya kami berakhir dengan ‘bercinta’.
Hulya sendiri sering kelelahan dengan pekerjaanya sebagai pengajar. Sebagai seorang suami aku pun tak bisa tegas padanya untuk mengatur waktu kerjanya.
Sekarang aku tahu alasannya, mungkin itulah cara Hulya menghindariku dari kewajibannya.
Hulya hanya menunduk, tak ada raut semangat seperti pengantin baru pada umumnya dengan rencana bulan madu.
"Sepertinya harus di tunda Bi, bukankah para siswa akan menghadapi ujian tengah semester?" dalihku, membelanya.
Betul saja, wajah Hulya tampak ceria, sekarang aku bisa membaca semua raut wajahnya.
Setelahnya dia kembali menampilkan wajah sendu.
"Maaf ya Bi, Hulya benar-benar akan sibuk, kasihan kalau guru lain yang menggantikan tugas Hulya," ujarnya dengan nada sendu.
Astaga, Hulya pandai sekali berakting, aku baru tahu sisi dirinya yang lain. Dengan suara sendu tapi mata yang berbinar, benar-benar dia layak di nobatkan sebagai seorang aktris.
Abi tampak menghela napas, "sebaiknya kamu fokus saja sama keluargamu, toh Ragil mampu mencukupi kebutuhanmu," ujar Abi tiba-tiba.
"Ngga bisa gitu dong Bi! Abi tau cita-cita Hulya adalah menjadi seorang guru, Mas Ragil juga ngga keberatan!" tolak Hulya dengan nada menggebu-gebu.
Baru aku lihat Hulya mengeluarkan protesnya sekeras ini, terlebih pada orang tuanya sendiri.
"HULYA!" bentak mas Zhafran.
"Ma-maf Bi, bukan maksud Hulya menentang abi. Hulya mohon hanya ini permintaan Hulya," rengek Hulya sambil terisak.
Aku hanya bisa mematung menyaksikan drama yang tengah di mainkan istriku.
Mungkin benar Azam adalah orang yang sama yang di terangkan teman Hulya.
Terlihat dari murkanya ia saat abi secara tidak langsung memintanya berhenti.
"Abi pasrah jika memang suamimu ikhlas. Toh kamu adalah tanggung jawabnya," sergah abi lantas menatapku.
Bukan hanya abi bahkan Hulya menatapku dengan sorot yang sangat memohon.
Aku menghela napas, ingin sekali aku menolak, tapi apa alasannya? Jika saat ini saja dia belum mencintaiku, bisa jadi nanti dia malah akan membenciku.
Lemah sekali kau Gil! Rutukku pada diri sendiri.
"Untuk sekarang, aku membiarkan Hulya mengajar Bi, mungkin nanti jika dia sudah mengandung aku akan memikirkannya lagi," jawabku akhirnya.
Seperti yang kuduga, raut wajah Hulya kembali bahagia.
Karena hari yang sudah semakin larut, kuputuskan untuk mengajak Hulya tidur. Karena esok kami sudah harus kembali.
Tak ada penolakan, kami berbaring di kasur yang sama tapi dengan perasaan berbeda. Jika dulu dadaku akan berdegup kencang melihat paras cantik Hulya di dekatku, tapi kini berganti rasa penasaran tentang apa yang ia sembunyikan dariku.
"Ada apa mas? Apa ..." kulihat kepanikan dari sorot matanya. Mungkin dia kira aku akan meminta hakku.
Sekali lagi hatiku terkoyak, karena kini aku menyadari ada ketakutan dalam dirinya saat menjalani kewajibannya padaku.
Aku tersenyum miris, menahan gejolak hati ya ingin menyentuhnya, hanya sekedar membelai pun kuurungkan.
"Enggak, kamu tidurlah," pintaku dengan memejamkan mata.
Tuhan apa yang harus kulakukan? Berjuang sendiri terasa sangat berat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Ratna Dadank
nyeeesss kali hati ku...
2023-03-07
1